Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
Seminggu setelah podcast “Sekolah Rasa Penjara” meledak, suasana sekolah seperti ruang tamu setelah tamu pulang terlihat rapi, tapi menyimpan kekacauan yang belum dibereskan.
Tidak ada yang bicara terang-terangan tentang podcast itu, tapi semua mata seolah bicara. Sekelompok guru mendadak lebih tegas dari biasanya, seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa. Beberapa murid mulai menjauh, takut terasosiasi dengan “kelompok pembangkang.” Bahkan siswa yang dulu memuji diam-diam kini lebih sering berpaling.
Tapi yang paling mengejutkan bukan datang dari guru…
Melainkan dari sahabat mereka sendiri.
Semua berawal dari diamnya Dita.
Sudah dua hari dia absen dari pertemuan rutin mereka di perpustakaan. Juno mencoba menghubungi centang dua tapi tak dibalas. Nala kirim voice note, cuma didengar tanpa respon.
“Gue ngerasa kayak dia ngehindar,” ucap Nala saat sore itu mereka berdua nongkrong di warung teh langganan.
Juno mengangguk, sorot matanya gelisah. “Dita gak pernah kayak gini. Bahkan pas dia lagi stres UTS pun dia tetep sempatin ngobrol.”
“Mungkin dia capek.”
“Mungkin… dia takut.”
Diam. Lama.
“Kita ke rumahnya yuk,” usul Nala akhirnya.
Rumah Dita terletak di gang sempit di pinggir kota.
Saat mereka datang, ibunya sedang menyapu halaman.
“Oh, kalian temannya Dita?” tanyanya, suara ramah tapi tatapan sedikit tegang. “Dita lagi tidur. Kurang enak badan katanya.”
“Boleh kami tunggu sebentar?” tanya Nala sopan.
Ibu Dita menimbang, lalu mengangguk. “Sebentar ya. Tapi jangan lama-lama. Dia agak sensitif akhir-akhir ini.”
Begitu masuk ke kamar, Dita hanya melirik sekilas sebelum menarik selimut menutupi wajah.
“Dit, lo kenapa?” tanya Juno, duduk di tepi ranjang.
“Gak kenapa-kenapa,” jawabnya pendek.
“Tapi lo ngilang,” sambung Nala. “Kita khawatir.”
Dita menarik napas dalam. “Lo tahu gak, setelah podcast terakhir tayang, ayah gue dipanggil ke sekolah?”
Keduanya terdiam.
“Dia pulang marah besar. Katanya gue bikin malu keluarga. Katanya… semua ini sia-sia. Dan mulai sekarang, gue harus berhenti ikut-ikutan kalian.”
“Dita… ini bukan soal ikut-ikutan,” ujar Nala pelan. “Kita bareng dari awal. Lo juga punya keresahan lo sendiri.”
“Tapi lo tahu gak rasanya dimarahin kayak penjahat? Ayah gue bilang gue lebih baik diem daripada ngomong sok bijak kayak aktivis gadungan.”
Juno mencoba menenangkan, tapi Dita melanjutkan.
“Lo pikir semua orang sekuat lo berdua? Lo pikir semua orang bisa tahan tekanan? Gue enggak, Jun. Gue capek. Gue gak mau kehilangan lebih banyak lagi.”
“Jadi… lo nyerah?” suara Nala mulai bergetar.
Dita menatapnya. “Bukan nyerah. Gue cuma… mau jaga yang masih bisa gue jaga.”
“Dan itu bukan kita?” potong Juno.
Dita tak menjawab. Dan keheningan itu, lebih menyakitkan dari jawaban mana pun.
Esoknya di sekolah, kabar cepat menyebar.
Dita resmi mengundurkan diri dari proyek podcast. Dia juga menghapus semua unggahannya yang berhubungan dengan Generasi Gagal Paham. Beberapa siswa yang selama ini diam pun mulai “mengamankan posisi”. Mereka berhenti menyukai postingan, berhenti mengobrol terbuka.
Juno dan Nala mulai merasa seperti dua pion di papan catur yang terus digeser tanpa tahu siapa yang bermain.
Namun puncak salah paham datang saat guru Bahasa Indonesia, Bu Sri, memanggil Nala setelah kelas.
“Ada yang ingin Ibu tanyakan,” katanya, meletakkan selembar kertas hasil cetak tangkapan layar. Tertulis komentar akun anonim di media sosial podcast:
> “Podcast kalian bagus, tapi Nala itu cuma pengen cari perhatian. Sok pahlawan.”
“Ini kamu yang bikin?” tanya Bu Sri.
Nala mengerutkan dahi. “Tentu saja bukan, Bu.”
“Ada yang bilang kamu membuat akun palsu buat menjelekkan tim kamu sendiri supaya dikasihani.”
Jantung Nala berdegup keras.
“Bu… itu gak masuk akal. Kenapa saya menjatuhkan proyek yang saya sendiri bangun?”
Bu Sri mendesah. “Ibu tahu kamu anak baik. Tapi kadang, orang bisa berubah karena tekanan.”
Kalimat itu membuat Nala terdiam. Tidak ada yang bisa ia katakan untuk menyanggahnya, karena bahkan Dita pun tak membelanya lagi.
Salah paham itu menjalar seperti racun pelan-pelan. Satu demi satu orang menjauh, bukan karena benci—tapi karena takut dituduh ikut-ikutan salah.
Juno lebih tegar di luar, tapi hancur di dalam.
Ia mulai menulis di buku sketsanya bukan lagi gambar-gambar indah seperti dulu. Kali ini hanya garis-garis kasar, wajah-wajah tak jelas bentuknya, dan kata-kata putus asa:
> “Kalau kata-kata tidak bisa didengar, apakah kita harus bisu selamanya?”
Ia menyendiri di pojok taman belakang sekolah, tempat dulu mereka bertiga sering berbagi cerita.
Nala datang menghampiri suatu sore, membawa dua es teh dan roti isi.
“Lo masih mau terusin podcast-nya?” tanya Nala.
“Gue harus. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
“Gue juga ngerasa harus. Tapi sekarang kita gak tahu siapa yang bisa dipercaya.”
Juno menatap langit. “Mungkin kita gak butuh semua orang percaya. Kita cuma butuh tetap jujur sama diri sendiri.”
---
Tapi kejujuran, seringkali dibalas dengan luka.
Hari Jumat, sebuah papan pengumuman dipasang di depan ruang OSIS. Isinya daftar siswa yang mendapatkan surat peringatan dari sekolah karena "aktivitas digital yang menimbulkan citra negatif institusi."
Nama Juno dan Nala ada di situ.
Beberapa siswa langsung heboh. Ada yang tertawa kecil. Ada yang bilang “pantas aja.” Ada juga yang diam-diam bersimpati, tapi tak berani mengutarakan.
Saat mereka berjalan melewati lorong, seorang guru berbisik ke guru lain, “Itu yang kemarin viral. Kasian juga sih. Tapi ya, salah sendiri.”
Di rumah, Nala kembali diinterogasi oleh ayahnya. Kali ini lebih dingin. Bukan marah, tapi kecewa.
“Buat apa kamu lanjutkan ini semua, kalau akhirnya begini?”
Nala hanya bisa menjawab pelan, “Biar generasi setelah kita gak harus ngerasa sendirian lagi.”
---
Malam itu, Nala dan Juno memutuskan untuk bertemu di studio podcast kecil mereka di rumah Juno.
Studio itu tidak mewah. Hanya kamar bekas gudang dengan busa peredam di dinding, dua mikrofon, dan laptop tua. Tapi bagi mereka, tempat itu adalah ruang aman. Satu-satunya tempat di mana mereka bisa jujur, tanpa takut dimarahi, disalahpahami, atau dibungkam.
“Lo yakin masih mau lanjut?” tanya Juno.
Nala mengangguk. “Ini bukan cuma tentang kita lagi. Ini tentang semua orang yang pernah merasa sendirian di ruang kelas. Yang pernah mau angkat tangan tapi ditertawakan. Yang pernah punya ide tapi dibilang ‘jangan sok pintar’.”
“Kalau gitu,” kata Juno sambil memasang mikrofon, “kita harus rekam episode paling jujur yang pernah kita buat.”
---
Podcast itu tayang dua hari kemudian. Judulnya:
> “Salah Faham dalam Diam”
Isinya bukan sekadar pembelaan. Mereka menceritakan semuanya. Tentang tekanan, ancaman, kehilangan sahabat, bahkan kesalahpahaman dari guru dan keluarga.
Tapi bukan dengan nada marah.
Melainkan dengan ketulusan.
> “Kami sadar, banyak yang salah paham. Tapi salah paham bukan alasan untuk berhenti bicara. Justru karena banyak yang tidak paham, kita harus terus belajar menyampaikan.”
> “Podcast ini bukan bentuk perlawanan. Ini bentuk perasaan.”
> “Dan kami percaya, perasaan tidak bisa dilarang.”
Episode itu menjadi episode dengan pendengar terbanyak sejak awal. Tapi yang lebih mengejutkan, justru komentar yang datang.
Dari siswa sekolah lain.
Dari guru-guru muda.
Bahkan dari seorang dosen komunikasi yang menulis, “Kalian sedang mengajarkan kami sesuatu yang tidak kami pelajari saat kuliah: keberanian untuk jujur meski salah dipahami.”
---
Malam itu, di atas atap rumah Juno, mereka memandang langit.
“Gue rindu Dita,” gumam Nala.
“Gue juga,” balas Juno.
“Tapi mungkin ini jalan kita. Bukan jalan semua orang. Dan kita harus nerima itu.”
Juno tersenyum tipis. “Tapi satu hal yang gue yakin… suara kita belum selesai.”