Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Namanya Bumi
*📝** Diary Mentari – Bab 19**
"Cinta yang paling dalam adalah yang tak pernah terucap. Ia hanya tumbuh diam-diam, hidup dalam puisi-puisi yang tak pernah dibaca.”***
...****************...
Sejak semalam rumah terasa sedikit lebih hidup dari biasanya. Suara tawa Kak Raka terdengar lebih nyaring, Ayah tampak sedikit lebih santai, dan bahkan Nenek memasak lebih banyak dari biasanya. Aku tahu pasti ada yang datang. Tapi aku tidak menyangka—itu adalah Bumi.
Bumi. Namanya saja sudah membuat dada ini terasa sesak. Sepupu jauh, anak dari kakak perempuan Ayahku, yang tinggal di Denpasar. Kami jarang bertemu, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam setahun, saat liburan panjang atau ada upacara keluarga di kampung. Tapi dari semua saudara jauh yang pernah datang dan pergi di rumah ini, hanya dia yang membekas dalam ingatan dan diam-diam menempati ruang kecil di hatiku.
Dulu saat aku masih SD, aku bisa bercanda dengannya, menertawakan hal-hal sepele, bermain petak umpet di halaman rumah, atau ikut lomba lari karung di acara tujuh belasan. Tapi entah sejak kapan semua itu berubah. Mungkin sejak aku SMP. Mungkin sejak aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri Bumi yang membuatku gugup.
Dia tinggi. Kulitnya sawo matang. Senyumnya lebar dan tulus. Tapi bukan itu yang membuatku gugup. Dia bisa membuat semua orang nyaman di sekitarnya. Bahkan Ayah yang biasanya pendiam, bisa tertawa terbahak-bahak saat ngobrol dengannya. Bumi membawa suasana, seperti matahari pagi yang muncul setelah malam panjang.
Sejak saat itu, aku tak bisa lagi tertawa lepas di hadapannya. Bahkan menyapanya pun aku ragu. Setiap kali dia datang, aku menjadi lebih banyak diam. Lebih banyak bersembunyi di dapur atau pura-pura mencuci piring. Tapi mataku selalu mencarinya. Hatiku selalu menanti langkah-langkahnya mendekat.
Dan setiap kali dia pulang, aku akan menuliskannya dalam puisiku.
⸻
Puisi 1 - Tersirat di Langit Petang
Aku tak pandai menyapa, tak pula bisa memanggil namamu keras-keras
Tapi aku mendengar tawa itu, seperti ombak yang menabrak pantai hatiku
Aku melihat senyum itu, seperti senja yang tak pernah lelah menanti malam
Dan aku diam, menyimpanmu dalam sajak-sajak sunyi
⸻
Hari ini dia datang lagi. Dan aku, gadis SMA dengan seragam abu-abu bekas dan sepatu yang mulai mengelupas, masih seperti dulu. Masih tak bisa berkata apa-apa di hadapannya. Tapi jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sore ini ia duduk di teras bersama Kak Raka, tertawa dengan cerita-cerita lucunya tentang hidup di Denpasar. Sementara aku sibuk menyapu halaman, menunduk agar tak harus bertatapan mata.
“Tan, kamu masih inget aku nggak?” tanyanya tiba-tiba, membuatku nyaris menjatuhkan sapu.
Aku mengangguk gugup. “Masih…” jawabku lirih.
Dia tertawa pelan. “Dulu kita sering main bareng, kamu masih kecil banget. Aku ngajak kamu nyari buah mangga di kebun kakek. Kamu nangis karena direbutin nyamuk.
Aku tersenyum kaku. Aku bahkan ingat lebih dari itu. Aku ingat ketika dia menangkap belalang dan memberikannya padaku dalam kotak korek api. Aku ingat ketika dia memanggilku ‘Tari kecil’ karena aku selalu menari di depan radio waktu kecil. Tapi semua itu kini hanya tinggal kenangan di hatiku. Tak berani kusampaikan, apalagi kuungkapkan.
⸻
Puisi 2 - Bumi
Kau datang dari jauh, membawa cerita kota besar
Sedang aku, gadis kampung yang bahkan tak tahu caramu menyebut cinta
Tapi aku tahu, setiap senyummu adalah hujan
Membasahi hatiku yang retak karena waktu
⸻
Malam itu ia menginap. Tidur di ruang tengah bersama Kak Raka dan Ayah. Seperti biasa, aku mencuri-curi pandang dari balik pintu dapur. Ia bercerita tentang kuliahnya, tentang proyek magangnya di radio lokal, tentang acara komunitas buku yang dia ikuti. Dan aku hanya bisa diam, iri dan kagum dalam waktu yang bersamaan.
Aku ingin sepertinya. Aku ingin bisa bicara lantang, tertawa bebas, dan tetap rendah hati seperti dia.
Tengah malam, ketika semua sudah tertidur, aku duduk di bawah cahaya redup lampu dapur dan menulis puisi lain tentangnya. Ini sudah menjadi kebiasaanku setiap kali Bumi datang. Menulis adalah satu-satunya cara untuk menyentuhnya tanpa benar-benar menyentuh.
⸻
Puisi 3 - Untuk Bumi yang Tak Pernah Tahu
Aku mencintaimu dalam diam
Seperti bintang yang jatuh tapi tak pernah menyentuh tanah
Aku menulismu dalam bait-bait rahasia
Karena hanya puisi yang cukup berani menampung rinduku
⸻
Pagi harinya, aku melihat Bumi sedang duduk di bale-bale kayu, membaca buku. Entah kenapa aku memberanikan diri mendekat. Mungkin karena puisi semalam memberiku kekuatan. Mungkin karena aku tahu sebentar lagi dia akan pergi.
“Apa yang kamu baca?” tanyaku.
Dia menoleh dan tersenyum. “Novel sastra. Tapi aku lebih suka puisi sekarang.”
Jantungku hampir meledak. “Puisi?”
“Iya,” katanya. “Aku suka puisi yang jujur. Yang sederhana tapi dalam. Kayak… rasa yang nggak bisa dijelaskan tapi kita tahu dia ada.”
Aku menunduk. Tanganku gemetar. Apa dia tahu? Tidak mungkin. Tidak mungkin Bumi membaca hatiku hanya dari obrolan singkat. Tapi entah kenapa, kalimatnya seperti ditujukan padaku.
Sebelum ia pamit pulang, ia memberiku sebuah buku kecil. “Coba baca ini. Siapa tahu kamu suka. Dan kalau kamu nulis puisi, kasih tahu aku ya. Aku pengen baca puisi dari gadis kampung Karet yang katanya pemalu tapi punya banyak rahasia.”
Aku tertawa. Untuk pertama kalinya aku tertawa lepas di hadapannya.
Dan ketika dia pergi, aku membuka buku itu. Di halaman pertama, ia menuliskan:
Untuk Adikku Mentari
Langit kampungmu mungkin tak secerah kota
Tapi kamu adalah matahari paling hangat yang pernah kulihat
⸻
“Kadang cinta tidak datang dalam bentuk gempita. Ia hanya berbisik lewat bait-bait yang ditulis larut malam, dan tertinggal diam dalam buku lusuh seorang gadis pemalu.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.