Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Keputusan Joe Gregorius
Jakarta, dini hari.
Langit belum sepenuhnya terang, tapi Paijo sudah berdiri di balkon apartemennya, menatap kota yang tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu gedung berkedip-kedip seperti mencoba menutupi kepalsuan yang selama ini dibalutnya.
Ponselnya sudah penuh dengan pesan masuk—dari produser, manajer, Claudia, bahkan brand besar dari luar negeri yang sudah siap menjadikan dirinya sebagai bintang iklan global. Semua pesan itu terbaca tapi tak terbalas. Hari ini, Paijo akan menutup babak kehidupannya sebagai Joe Gregorius.
Dan hari ini pula, dia kembali menjadi Paijo Madindun, lelaki desa yang pernah punya impian sederhana: dicintai tanpa pura-pura.
Di meja makan, kontrak dari rumah produksi Jepang masih belum ditandatangani. Padahal jumlah uang yang ditawarkan cukup untuk membeli rumah di Menteng plus satu vila di Bali. Tapi Paijo tak tertarik lagi. Yang ia pikirkan bukan lagi proyek atau kamera—tapi sepasang mata teduh milik gadis yang dulu memanggilnya, "Mas Paijo."
Dia menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dan menelepon manajernya.
"Hallo, Mas Joe—eh sorry, Joe Gregorius maksudnya—aku baru mau ingetin, besok flight ke Tokyo ya. Jangan lupa—"
"Saya nggak berangkat, Mbak."
Hening. Lama.
"Eh? Gimana?" Mbak Dita Produser Paijo terdengar tidak mengerti.
"Saya… berhenti. Semua kontrak, batalin. Saya sudah nggak mau lanjut."
"APA?! Kamu gila, Jo! Ini karier kamu, kamu udah di puncak!"
Paijo menutup telepon sebelum sempat mendengar makian berikutnya. Dia tak perlu penjelasan. Puncak tak ada artinya kalau berdiri sendirian.
Koper kecil itu sudah siap. Hanya berisi baju biasa, jaket, dan satu foto tua yang sudah kusam—foto Paijo kecil bersama Mbok Sarni yang tersenyum sambil duduk di depan rumah papan reyot di desa. Tidak ada foto Suzy, tapi kenangan tentangnya sudah terlalu kuat untuk dilampirkan dalam bentuk gambar.
Paijo keluar dari apartemennya. Tak membawa supir, tak ada manajer yang mengantar. Cuma dia dan niat yang tak bisa ditunda lagi.
Di lobi, ia sempat tertegun saat melihat bayangannya di kaca lift. Rambutnya kini ditata rapi, wajahnya bersih terawat. Tapi jauh di balik semua itu, masih ada Paijo si anak desa—yang dulu sering lari-larian mengejar layangan, yang dulu percaya bahwa cinta adalah hal yang tulus.
Dia turun, memesan taksi online, dan pergi—bukan ke lokasi syuting, bukan ke hotel klien, tapi ke kampus UI.
Kampus sepi saat ia tiba. Mahasiswa libur. Tapi Paijo tetap masuk ke dalam kawasan kampus, berjalan menyusuri koridor-koridor yang pernah diceritakan Suzy. Di sebuah tangga batu dekat danau, dia duduk. Mengingat malam ketika Suzy dengan lembut berkata,
"Mas Paijo, kalau suatu hari kamu mau berubah… aku akan selalu dukung. Tapi kamu harus jujur, ya."
Paijo menunduk. Matanya basah. Hatinya remuk.
"Aku telat, Mbak Suzy… tapi sekarang, aku mau berubah. Beneran."
Beberapa hari berikutnya, Paijo menelusuri jejak demi jejak. Ia mendatangi toko buku tempat ia dulu bekerja, hanya untuk mendengar dari penjaga baru bahwa "ada wanita berjaket UI yang sering mampir, cuma beli buku-buku puisi." Paijo mencari nama itu, mencoba menebak lokasi apartemen Suzy yang dulu pernah ia tahu, tapi kini entah di mana.
Ia mencoba bertanya pada teman-teman Suzy yang pernah dia kenal dari media sosial, tapi semua nihil. Suzy seperti menghapus dirinya dari dunia.
Tapi Paijo tak menyerah.
Hingga suatu malam, dia mendapat pesan anonim:
"Kalau kamu benar-benar ingin berubah, buktikan. Aku tak butuh alasanmu. Tapi aku ingin tahu, apa kamu masih orang yang sama waktu pertama kali aku lihat, atau kamu sudah hilang ditelan dunia?"
– S
Pesan itu datang tanpa nomor. Tanpa jejak. Tapi cukup untuk membuat Paijo yakin: Suzy masih memperhatikannya. Dari jauh. Dari balik bayangan.
Keesokan paginya, Paijo mendatangi Claudia.
Ia tahu Claudia akan marah. Tapi ini harus diselesaikan.
Apartemen Claudia mewah dan dingin seperti biasa. Claudia membuka pintu dengan senyum licin.
“Paijo. Tumben datang sendiri. Gak bawa kamera? Atau klien rahasia?”
Paijo menatapnya tenang. “Saya mau pamit, Claudia.”
“Pamit?”
“Saya berhenti. Dari semuanya.”
Claudia tertawa. “Lucu. Kamu pikir bisa keluar gitu aja? Paijo… kamu itu ciptaan aku. Tanpa aku, kamu gak akan jadi siapa-siapa. Bahkan nama kamu sekarang itu aku yang pilih!”
“Bener. Nama itu kamu yang pilih. Tapi saya bukan nama itu. Saya bukan Alvarez. Bukan Joe Gregorius. Saya Paijo. Dan saya cuma mau jadi orang biasa yang bisa dicintai tanpa dipaksa buat pura-pura.”
Claudia menatapnya, kosong. “Karena wanita itu?”
“Karena saya sayang sama dia.”
Hening.
Claudia meletakkan gelas anggurnya. Matanya memerah.
“Kalau kamu keluar, aku akan—”
“Lakukan. Kalau itu bikin kamu senang. Tapi saya udah gak bisa terusin hidup ini.”
Paijo berbalik, berjalan pergi. Tak ada drama. Tak ada teriakan. Hanya langkah kaki yang mantap—seperti akhirnya beban ribuan malam penuh dosa terlepas dari pundaknya.
Hari-hari berikutnya, Paijo mendatangi tempat-tempat yang pernah menyimpan jejak dirinya dan Suzy. Kafe kecil di SCBD tempat mereka pertama bertemu. Trotoar di depan apartemen tempat Suzy pernah duduk menunggu. Taman Ayodya, tempat ia sering membayangkan hidup yang lebih baik.
Tapi Suzy tak pernah muncul.
Namun, saat Paijo mulai hampir putus asa, ponselnya berdering.
Nomor tak dikenal.
“Mas Joe?” suara seorang pria terdengar sopan namun kaku.
“Siapa ini?”
“Saya Rio. Asisten pribadi seseorang yang ingin memakai jasa Mas Joe.”
Paijo nyaris mematikan telepon, tapi pria itu buru-buru berkata:
“Bukan... bukan jasa sebagai aktor atau model. Jasa... pribadi.”
Paijo diam.
“Saya rasa Anda mengerti maksudnya. Majikan saya fans berat Anda. Kami sudah mengikuti Anda sejak lama. Tapi baru sekarang beliau siap untuk… menyewa Anda.”
Paijo menelan ludah. Ini seperti jembatan yang ia bakar—dan sekarang seseorang mencoba menyebrangkannya kembali.
“Maaf. Saya sudah tidak di dunia itu lagi,” jawab Paijo dengan suara rendah.
“Honor-nya... tidak biasa,” lanjut Rio. “Sangat tinggi. Dan majikan kami... sangat spesial.”
“Saya tidak melayani pria.”
Rio tertawa pelan. “Tenang saja. Majikan kami seorang wanita. Dan Mas Joe… Anda mungkin akan terkejut ketika tahu siapa dia.”
Klik.
Telepon ditutup sepihak.
Paijo terdiam di pinggir kasur. Nafasnya berat. Ia menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang sekarang: bintang film nasional, mantan gigolo kelas atas… dan seorang pria yang masih mencari cinta yang hilang.
Dan kini, telepon itu kembali menyeretnya ke masa lalu yang baru saja ingin ia tinggalkan.
“Apakah ini cobaan terakhir… atau jalan menuju kebenaran?”
Paijo tidak tahu.
Yang jelas, ia harus memutuskan.
Malam pun jatuh. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Paijo memejamkan mata bukan karena lelah syuting atau lelah melayani wanita—tapi karena pikirannya menjerit di antara dua dunia: masa lalu yang menjerat dan masa depan yang belum pasti.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
next lah bang. jgn bikin kita kita penasaran terus😑😆
Tak apa jika kebenarannya tidak terungkap skrg. Cukup kenali dirimu sndiri dan berdamai dgn diri sndiri dlu ya dan obati luka yg sepertinya masih tersayat dlm batinmu, nnti kebenarannya akan mnemukan jalannya sndiri
Mangat Jo kmu bener² berberda skrg, beda pas awal yg klo celetuk lucu😭🤌
brarti stengah lgi cintanya kemana Jo😭🏃♀️🏃♀️