Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kutukan
Di sebuah tempat dengan pintu yang begitu megah. Seorang berpenampilan seperti pelayan mengetuk pintu dan masuk.
Saat pintu itu terbuka, terdapat seorang wanita dengan rambut merah bergelombangnya yang begitu indah, dengan mata violet dapat menambah kharismanya.
Ia menyilangkan kakinya di atas kursi sembari menatap pelayan tersebut.
"Selir pertama, saya sudah menaruh racunnya di cangkir permaisuri. Racun itu terbukti tidak berbau, dan siapapun yang mengkonsumsinya akan mati dalam seketika," jelas pelayan itu dengan wajah penuh kebanggaan.
Sang selir menyeringai seperti ular yang begitu beracun. "Apa ada yang melihatmu melakukannya?" tanya selir itu dengan nada tenangnya.
"Saya melakukannya secara bersih tanpa saksi mata. Anda tidak akan kecewa dengan kerja keras—"
Belum sempat pelayan itu menyelesaikan sanjungan untuk dirinya. Perintah sang selir lebih dulu menghantarkan nyawanya kepelukan tuhan.
"Bereskan kekacauan ini, Lyra. Aku ingin mandi sebelum kaisar datang kesini," ucapnya dengan senyum lembut. Ia berjalan melewati mayat yang telah bersimpuh darah di atas karpet mahal. Sedangkan pelayan bernama Lyra hanya mengangguk dengan patuh dan mengerjakan tugasnya dengan sempurna.
Kembalinya sang selir, ia memakai jubah mandi dan langsung duduk di kursi. "Lyra, siapkan teh untukku," perintahnya.
Tanpa berbicara berlebih, Lyra langsung melaksanakan perintah majikannya itu lalu keluar dari kamar.
Kamar yang kacau dengan bercak darah dimana-mana telah bersih tanpa noda dan bau sama sekali. Kerjanya sungguh bagus~
Bersenandung sembari menikmati langit sore yang telah menguning, tiba-tiba sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamar.
Belum sempat sang selir mengizinkan seseorang itu masuk, pintu telah terbuka dan menampakkan sosok laki-laki bertubuh kekar dengan perawakan begitu berwibawa.
Mata sang selir langsung berbinar dan mendatanginya dengan suara bahagianya. "Yang mulia, apa yang anda lakukan disini?" tanyanya dengan begitu riang.
"Aku hanya ingin mengunjungi selir Viona." Jawaban kaisar begitu datar namun, itu membuat hati Viona melambung ke atas.
"Saya senang anda mengunjungi saya disini! Apa anda ingin minum teh bersama saya?" Viona mengajak sang kaisar duduk balkon sembari di sinari matahari terbenam.
Lalu, sebuah ketukan kembali terdengar dibarengi dengan izin dari Lyra. Pintu terbuka dan terlihat sudah tertata perlengkapan teh di atas troli.
Lyra yang menyadari kedatangan sang kaisar hanya bisa menyapa dengan menundukkan kepala lalu, ia langsung menata perlengkapan teh itu di atas meja.
"Yang mulia, apa malam ini anda sibuk?" tanya Viona tanpa mengurangi senyumnya.
"Sebenernya masih ada beberapa dokumen wilayah yang perlu diperiksa." Mendengar hal itu, Viona mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan kaisar dengan sensual.
Ia mencoba menggoda sang kaisar dengan suaranya. "Apa anda akan meninggalkan saya lagi malam ini?"
Sang kaisar menatapnya sejenak lalu sepersekian detik guratan senyum sinisnya muncul. Ia mengulurkan jarinya untuk mengelus pipi sang selir dan berkata, "Sepertinya selirku ingin bermain bersama malam ini."
Perilaku kaisar yang seperti itu membuat jantung Viona berdegup begitu keras hingga membuat wajahnya memerah bukan kepalang. Namun, hal itu harus hancur dengan beberapa bisikan dari Lyra mengenai informasi pangeran pertama.
"Nyonya, kami mendapatkan informasi kalau pangeran pertama tengah dekat dengan seorang anak laki-laki disana," bisik Lyra dengan perasaan gelisah.
Benar saja, perasaan Viona langsung berubah secara drastis. Ia menatap pelayannya itu dengan tajam lalu membalasnya, "Bereskan saja! Kamu harusnya tidak mengganggu sekarang!" bisiknya dengan suara begitu kesal.
"Maafkan saya, nyonya. Kalau begitu, nikmatilah waktu kalian." Setelah mengatakan itu, Lyra bergegas pergi dari sana.
"Ada apa?" tanya kaisar dengan sedikit kecurigaan. Hal itu membuat Viona langsung mengalihkan topik pembicaraan.
"Haha... Pelayanku hanya ingin meminta izin untuk keluar karena ibunya tiba-tiba sakit. Jadi, aku menyuruhnya bergegas pergi dan tidak perlu memikirkanku," jelasnya yang tentu saja semuanya hanya kebohongan belaka.
"Selir pertama memiliki hati yang begitu mulia. Pada pelayan yang rendah saya kamu sangat baik hati," puji kaisar.
Setelah kamar benar-benar sepi dan hanya tinggal mereka berdua. Viona berdiri dan mendekati sang kaisar. Ia mengalungkan lengannya di leher sang kaisar lalu, mendekatkan wajahnya di leher sang kaisar.
"Saya kesepian, Yang mulia. Apa anda bisa menemani saya malam ini?" pintanya dengan nada begitu manja sembari mengecup leher sang kaisar, meninggalkan bekas merah lipstiknya.
...★----------------★...
Matahari telah terbenam dan bulan telah menampakkan wujudnya. Malam ini, bulan terasa begitu penuh menyinari dunia.
Di sebuah ruangan tanpa penerangan dan hanya mengandalkan penerangan bulan penuh yang masuk melalui kaca balkon.
Seorang anak laki-laki tegah terbaring di atas kasur dengan wajah begitu kesakitan. Keringat bercucuran dan napas tidak beraturan. Ia meremas seprai dengan begitu erat seakan ingin menghancurkannya.
Tidak ada siapapun yang datang untuk menolong anak laki-laki itu. Ia hanya bisa berjuang melewati malam dengan kesendirian.
Di setiap detik dan menitnya, ia terus memanggil ibunya di dalam benak. Rasa sakit seakan ditusuk oleh ribuan pedang sangat memberatkan tubuhnya. Bulan penuh.
Manik birunya melirik dengan begitu susah payah ke arah penerangan satu-satunya. Anak itu mencoba bergerak ke meja kecil di samping kasurnya, mencoba meraih obat-obatannya. Namun, ia tidak dapat menemukan obatnya, yang ada hanyalah salep yang di berikan Elena.
Ia menatapnya dengan mata yang sudah berkunang-kunang. Pada akhirnya ia hanya memeluk salep itu dalam tidurnya yang begitu buruk.
El... Sakit....
Dia adalah pangeran pertama kekaisaran Hilderic, Altheon de Hilderic. Namun, karena lahir tanpa ciri khas kekaisaran yaitu bermata merah ataupun merah muda, ia dikucilkan di istana. Hanya permaisuri atau ibunya saja yang menjadi teman bicaranya sejak kecil.
Namun, tidak cukup dengan takdir berbeda dari yang lain. Altheon diberkati dengan sebuah kutukan yang akan menyerang tubuhnya di malam hari, terutama di malam bulan penuh.
Permaisuri meminta pertolongan sang kaisar dengan berlinang air mata untuk menyelamatkan putranya. Namun, yang ia dapatkan hanya tatapan hina dari kaisar.
Sang kaisar merasa tidak perlu repot-repot untuk menyingkirkan pangeran pertama dengan tangannya. Ia hanya tinggal menunggu kutukan itu membunuh pangeran pertama.
Karena hal itulah sang permaisuri merasa begitu putus asa. Melihat anaknya terbaring lemah sembari menahan sakit di atas kasur.
Lalu, sang permaisuri menyadari sebuah tanda di dada sang anak. Ia akhirnya mengerti harus seperti apa.
Pada suatu malam, ia keluar dari istana secara diam-diam dan menemui seorang penyihir di gang belakang.
Ketika ia pulang, ia meminumkan sebuah obat kepada anaknya lalu, wajah sang anak perlahan membaik.
Ia tersenyum lega karena usahanya telah membuahkan hasil.
"UHUK! UHUK!!" Batuk permaisuri akhirnya membuat anak kecil itu terbangun dan memanggilnya.
"Ibu?"
"Tidak apa sayang. Tidurlah lagi, ibu akan melindungimu disini." Ia mengelus kepala anaknya dengan begitu pelan.
Namun, sejak hari itu kesehatan permaisuri mulai memburuk, dan karena hasutan selir pertama ia berakhir dikirim ke pelosok kota ini.
Biasanya rasa sakitnya tidak begitu parah. Tapi, mengapa malam ini begitu menyakitkan seperti saat pertama kalinya ia terkena kutukan.
Altheon hanya bisa meringkuk dan terus menahannya sekuat mungkin hingga, ia jatuh pingsan karena sakit yang begitu berlebihan.
...★----------------★...
Di tempat lain seorang anak sedang berjuang menahan rasa sakitnya. Sedangkan, disisi lain anak perempuan itu menemukan ibunya tergeletak di atas lantai dengan semangkuk sup kentang yang telah jatuh di atas lantai.
"Ibu...?"
To Be Continued