Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Menaikkan Harga Diri
Ratna bisa merasakannya. Senyum penjaga toko itu seperti mengupas lapis demi lapis pakaian mereka dan menghitung berapa rupiah isi dompet mereka dari cara berjalan. Ia menunduk, meremat jemari Robin yang masih menggenggam tangannya. Tapi Robin justru semakin percaya diri. Ia mengangguk santai ke penjaga toko dan langsung menuju ke etalase tengah.
"Apa waktu dilatih kerja di sini, kalian tidak diajarkan bahwa pelanggan adalah raja?" tanyanya pelan, namun cukup untuk membuat suasana di antara mereka mendadak tegang.
Pramuniaga itu, seorang Perempuan dengan kuku panjang berhiaskan rhinestone, tertawa kecil seperti menahan geli. “Kalau mau lihat-lihat aja, ya silakan. Tapi kalau berpikir untuk membeli jam di sini, mending kalian pilih jam yang sesuai budget-nya aja ya, Pak, Buk.”
Ratna menahan napas. Tapi Robin hanya tersenyum. "Tolong ambilkan kami jam yang itu? Itu jam couple kan?" tanya Robin mencoba untuk setenang air.
Sang pramuniaga melirik benda yang ditunjuk Robin. "Ah, itu harganya lima belas juta per pasang."
Ratna tampak tersentak mendengar harga yang disebutkan sang pramuniaga itu. Ia menarik tangan Robin memberi kode dengan gelengan kepala. Robin hanya tersenyum, kali ini aura berbeda terpancar dari wajahnya.
Sejenak pramuniaga melirik pasangan tua itu dengan tatapan remehnya. "Kalau tak yakin, mending lihat yang ini aja!" Ia menunjuk jam yang berada di etalase yang paling buram.
"Dari segi harga, mungkin akan cocok dengan keuangan kalian," ucap pramuniaga tadi.
Ratna memperhatikan jam yang ditunjuk pramuniaga tadi. Beberapa waktu ia menimbang-nimbang dan akhirnya ia menganggukan kepala.
"Bang, yang ini aja," ucap Ratna mantap.
Namun, harga diri Robin yang setinggi langit, tak sudi menerima masukan dengan nada remeh begitu. "Coba yang di sana?" Robin menunjuk jam yang ada di etalase berwarna emas. Sepertinya itu berisi benda-benda istimewa.
Sang pramuniaga menyeringai sinis mengerutkan keningnya. "Ya murah itu saja Bapak tak mampu beli. Pakai tunjuk yang di sana segala? Harganya satu buah lima belas juta! Kalau satu pasang jadi dua puluh lima juta!"
Kerangka Ratna seakan layu dari posisinya. Ia menarik tangan Robin pelan-pelan, namun pria itu justru bergerak semakin maju, menghadap langsung ke pramuniaga yang kini menyilangkan tangan di depan dada, seolah-olah menunggu pasangan tua itu sadar diri.
Robin mengeluarkan sebuah dompet tipis dari saku celana, yang terbuat bukan dari kulit biasa, tapi dari bahan eksklusif yang mengkilap samar di bawah cahaya kristal. Dengan tenang, ia mengeluarkan kartu hitam berlis emas dan meletakkannya di atas etalase kaca.
“Transaksikan dengan ini,” ucapnya datar.
Ratna yang tak memahami kartu yang diserahkan Robin, hanya ingin menarik suaminya segera pergi dari toko ini. Namun, Robin merangkul pinggang Ratna dari belakang.
Sang pramuniaga mendengus. Ia menyipitkan mata, lalu tertawa mengejek. “Pak, ini kartu palsu ya? Saya sering lihat di e-commerce. Pak, di sini bukan tempat untuk bermain. Kartu beginian tidak berlaku di tempat kami.”
Ratna tampak semakin malu. Ia semakin meronta mengajak Robin pergi, tetapi suaminya tetap berdiri tegak dagu sedikit naik, sorot matanya tajam dan tenang seperti baja.
Saat pramuniaga itu hendak menyingkirkan kartu itu dengan ujung kukunya yang panjang, suara langkah kaki terdengar dari dalam.
“Ada keributan apa ini?”
Seorang pria paruh baya dengan jas biru tua muncul dari balik tirai ruang belakang. Rambutnya tersisir rapi, dan di dadanya tersemat pin logo merek toko. Dia adalah pemilik toko.
Begitu matanya menangkap sosok Robin, ia terperanjat. Langkahnya memburu, wajahnya berubah tegang lalu penuh hormat.
“Pak Robin? Pak Robin Hadinata?” serunya nyaris gugup. “Mohon maaf, Pak, kami tidak diberi tahu soal kedatangan Anda," sambutnya dengan senyum ramah.
Ratna melirik Robin dan pria berjas biru itu secara bergantian dengan heran. Namun, ia memilih menjadi pendengar.
"Istri saya ingin membelikan kado untuk kerabatnya. Namun, pegawai Anda tidak memperlakukan kami dengan semestinya," ucap Robin menatap sang pramuniaga dengan tajam.
Pria yang memakai jas biru itu menatap pegawainya dengan tajam. "Apa benar begitu?" bentaknya.
"Maaf, Pak. Soalnya mereka hanya kayak orang yang sekedar nanya-nanya aja. Apa mereka tak tahu, harga jam di sini mahal? Makanya saya tawarkan jam yang murah, tapi dianya nggak mau," terang pramuniaga itu membela diri.
"Kau berdiri di sana!" bentak pria berjas biru.
Lalu dengan cepat ia mendekat pada Robin. "Maafkan dia, Pak. Dia tidak tahu apa-apa. Bapak tadi mau yang mana?" tanya dengan nada canggung, melirik pegawainya lagi.
"Yang di sana," ucap Robin.
Sang pemilik toko mengambilkan jam pilihan Robin. Setelah itu membungkusnya dengan cepat dan menyerahkannya kepada Robin.
Robin menganggukan kepala menyerahkan kembali black card yang tadi hampir dibuang pramuniaga. Pemilik toko menolak dengan cepat.
"Saya berikan gratis buat Bapak dan Istri. Semoga keluarga kalian selalu bahagia," ucapnya lagi.
Ratna kembali tersentak dan ia tak percaya. Ia menyerahkan kembali bingkisan jam itu. "Jangan, Pak. Kami tak ingin membuat toko Anda rugi," ucap Ratna, canggung.
"Tidak apa, kami tidak akan rugi." Ia menyerahkan kembali dan Robin mengagguk.
"Terima kasih, senang berjumpa denganmu," ucap Robin menerimanya dan menarik Ratna meninggalkan tempat menuju motor butut tadi terparkir.
"Heh, kamu!" bentak pemilik toko.
Pramuniaga tadi segera mendekat dan menyatukan kedua tangan. "Maafkan saya, Pak."
"Kamu tahu, siapa orang yang kamu hina barusan?"
Pramuniaga itu menggeleng kepala dengan cepat.
"Pak Robin Hadinata adalah salah satu investor awal toko ini. Tanpa beliau, tempat ini takkan pernah punya lampu gantung kristal, apalagi etalase berlapis kaca. Kau baru saja mempermalukan pemilik sebagian nyawa tempat ini.”
Sang pramuniaga membeku dan seketika memasang wajah ketakutan. "Maaf, Pak. Saya sungguh tidak tahu."
"Lebih baik tak usah tahu dan mulai saat ini kau dipecat!"
.
.
"Bang, itu rumah mertuanya Amora," ucap Ratna menunjuk sebuah rumah yang berada di wilayah lumayan elite.
Robin menghentikan motornya di antara mobil-mobil mewah berdiri dengan gagah yang terparkir di sekitar lokasi.
"Apa cuma kita yang memakai motor di sini?" gumam Robin membuka helm Ratna. Setelah itu, ia membuka helmnya sendiri. Seperti apa yang dia katakan, tak satu pun motor yang terparkir di sana. Sepanjang mata memandang, hanya tampak jejeran mobil yang berebut tempat untuk parkir.
"Bang, tadi itu kartu apa yang kamu kasih ke orang toko?" Ratna mengangkat bingkisan yang akan diberikan kepada orang tua Dirli dengan heran.
"Oh, itu. Seperti kata karyawan toko itu. Aku pengen gaya-gayaan punya kartu semacam buat identitas palsu. Biasanya hanya dimiliki kaum elite," terang Robin merapikan kemejanya.
"Apa nggak kemahalan kita kasih ini ke mereka? Kalau kita pesta, paling cuma dapat gelas satu lusin," gumamnya lagi merasa ragu. "Ah, padahal aku sendiri belum pernah punya jam seperti ini," sesal Ratna seolah tak ikhlas.
Sejenak, Robin menatap Ratna dengan senyum penuh arti. "Hari ini kita kasih ke orang lain yang gratisan dulu, lumayan lah untuk menaikkan harga diri kita. Setelah ini, kalau ada rezeki, aku akan memberikan yang lebih dari itu," ucap Robin membelai rambut Ratna yang terhias sederhana.
"Sayang sih, beli benda begitu dengan harga selangit," kekehnya menatap Robin yang terlihat semakin tampan di matanya. "Aku masih kaum mendang mending soalnya," tambahnya lagi.
Sejenak, ia melihat tampilan tamu yang turun dari mobil, tampak elegan dan sangat cantik. "Bagaimana ini? Kenapa tiba-tiba aku jadi gugup begini?" ucap Ratna. Ada kekhawatiran tersendiri di hatinya. Ia melirik kembali pakaian yang dipakainya.
Robin menggenggam tangan Ratna, dan memberikan senyum menguatkan istrinya. "Tenang lah, Sayang. Kamu terlihat sangat menawan. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apa-apa."
Ratna pun mengangguk. Robin menggandeng istrinya melangkah memasuki halaman luas yang telah terpasang tenda yang terhias dengan megah.
"Wah, itu ada big boss?"
Robin mendengar ucapan itu seketika bersikap waspada. Banyak mata yang menyadari kehadirannya dan memang adanya banyak karyawan perusahaannya yang hadir dalam acara ini.
Robin memberi kode telunjuk di bibir sepanjang perjalanan mereka. Hingga membuat karyawan itu mengangguk dan pergi seolah tak mengenal dirinya.
Sedangkan Ratna tampak sibuk melemparkan pandangan ke segala sisi mencari sosok yang telah mengundang mereka.
Namun, tiba-tiba Ratna tersentak karena ada yang menarik tangannya.
"Loh? Kok datang juga? Kan udah aku bilang, kamu jangan datang?" Perempuan yang mengenakan gaun cantik bewarna lavender itu, menarik bingkisan yang dibawa Ratna lalu melemparnya dengan kasar.