“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
“Selamat malam, Tuan Azelio,” sapa seorang wanita tua dengan rambut perak yang terawat, Nenek Rita, yang duduk tegak di sofa.
Azelio hanya membalas dengan anggukan singkat, pandangannya dingin dan setajam silet. Keheningan yang mencekam segera menyelimuti ruang tamu mewah itu, hanya dipecahkan oleh suara napas tertahan Bob.
“Tak kusangka, Tuan Presdir Liu Tech benar-benar datang ke rumah kami,” batin Nenek Rita, ada sedikit rasa tak percaya bercampur bangga.
Di sebelahnya, Kakek Romo hanya diam, mengamati Azelio dengan saksama. “Apa yang sebenarnya diinginkan pimpinan besar Liu ini? Apakah ini ada hubungannya dengan dua anak itu?” pikirnya, tangannya mencengkeram erat tongkat di sisi sofa.
Ketegangan yang mencekik itu tiba-tiba pecah saat derap langkah kaki yang percaya diri dan berwibawa terdengar menuruni tangga. Devron pun menghampiri ruang tamu dengan aura dominasi yang kuat. Ia mengenakan robe santai, namun auranya seolah mengenakan jubah perang.
“Wah, wah, wah… Kejutan sekali. Siapa yang sangka, Presdir Liu akan sudi bertamu ke kediaman musuh abadi,” ucap Devron, senyum meremehkan terukir di bibirnya. Ia menyambut Azelio layaknya tamu terhormat, padahal ia tahu kunjungan ini pasti berbau masalah.
Devron melenggang santai, lalu menjatuhkan dirinya di sofa tunggal yang berhadapan langsung dengan Azelio. Menyilangkan kaki dengan angkuh. Matanya yang tajam menantang tatapan dingin Azelio.
Azelio tak membalas sapaan itu. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan, tatapannya membeku. “Aku tidak tertarik dengan basa-basi. Aku datang ke sini terus terang ingin mengambil dua anakku,” katanya dengan suara rendah yang mengandung ancaman.
Nenek Rita dan Kakek Romo sontak terperanjat, saling pandang dengan ekspresi kaget yang kentara. Mereka kini mengerti alasan di balik kedatangan mendadak Azelio.
Devron hanya menyeringai, tidak terkejut sama sekali. Ia seolah sudah menduga permintaan ini.
Azelio memberi isyarat kepada Bob dengan sebuah lambaian tangan kecil.
“Tuan Devron, dan juga Nenek serta Kakek,” Bob memulai, suaranya sedikit gemetar namun berusaha terdengar profesional. “Kedatangan kami adalah untuk membawa pulang Rhui dan Ruchia. Nona Ruchia, salah satu putri kembar Tuan Azelio, didiagnosis menderita kanker mematikan dan sangat membutuhkan perawatan medis segera. Kami sangat yakin, demi keselamatannya, mereka harus segera kembali bersama ayah kandung mereka.”
Devron tertawa kecil, tawa yang menusuk telinga. “Oh, jadi Presdir Liu baru ingat punya anak setelah salah satunya di ujung maut? Menarik sekali.”
“Jaga bicaramu, Devron,” geram Azelio, urat di pelipisnya menonjol. “Aku datang bukan untuk bertengkar denganmu. Serahkan anak-anakku, dan kita anggap tidak ada yang terjadi. Jika tidak…”
“Jika tidak, apa, Presdir Liu?” potong Devron, menyambut tantangan di mata Azelio dengan kilatan yang sama ganasnya. “Kau pikir bisa mengancamku di rumahku sendiri?”
Devron menyandarkan punggungnya ke sofa, matanya menyipit penuh perhitungan. “Aku tidak pernah berniat mengasuh anakmu, Azelio. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Anak-anak Rea telah diasuh oleh Nenek dan Kakekku. Tapi, karena kau datang sendiri, kita bisa bernegosiasi.”
“Apa maumu?” tanya Azelio tajam.
“Sederhana,” jawab Devron, senyumnya kini dingin. “Aku akan menyerahkan Rhui dan Ruchia padamu, sekarang juga. Sebagai gantinya, kau harus membawa Rea kemari, saat ini juga.”
“Aku tunggu Rea di sini. Begitu dia datang, anak-anakmu aman bersamamu,” tambah Devron, nadanya final.
Azelio memejamkan mata sebentar, membuat keputusan yang sulit. Nyawa Ruchia lebih berharga daripada dendam apa pun. Ia menoleh pada Bob.
“Bob, segera kembali ke kediaman Sayersz. Bawa Rea ke mari,” perintah Azelio tanpa berpikir panjang.
Bob terkejut. Meninggalkan bosnya di sarang musuh bukanlah hal yang mudah. “Pak, Anda serius akan tinggal di sini sementara?”
“Ya, Bob. Pergi dan bawa dia ke mari. Aku bisa jaga diri sendiri di sini,” tegas Azelio, tatapannya tidak terbantahkan.
Dengan patuh, Bob membungkuk singkat. “Baik, Pak.” Ia bergegas meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Azelio sendirian menghadapi Devron.
Nenek Rita dan Kakek Romo saling bertukar pandang penuh kekhawatiran, lalu keheningan yang tercipta tiba-tiba terpecah.
“Opa! Oma!”
Mereka menoleh saat suara cempreng itu datang. Rubi berlari masuk, tangan kecilnya menggandeng erat tangan anak laki-laki lain di sebelahnya, Rhui.
Melihat Rhui, Azelio nyaris berdiri dari sofa. Bocah itu, dengan mata yang sama persis dan ekspresi penasaran yang serupa, memiliki kemiripan yang luar biasa dengan Rexan.
“Tidak salah lagi, dia anakku!” batin Azelio, jantungnya berdebar kencang.
Devron tersenyum miris melihat ekspresi Azelio yang tidak bisa ia sembunyikan. Rubi yang polos langsung memanjat naik ke pangkuan Ayahnya.
Sementara itu, Rhui berjalan pelan, lalu duduk di tengah Nenek Rita dan Kakek Romo di sofa panjang, tatapannya mengamati Azelio dengan cermat tapi penuh kebencian.
“Rhui, kenapa kamu ada di sini?” tanya Nenek Rita.
“Eyang, usil Paman ini!” Tunjuk Rhui pada Ayahnya membuat semua orang terkejut. Devron pun tak menyangka Rhui akan berkata demikian.
Azelio menahan napas, ia berusaha mengendalikan emosinya. Tapi entah mengapa hatinya terasa perih setelah Rhui menginginkan kepergiannya. Dadanya terasa diremas kuat oleh tangan besi.
“Rhui, jangan bicara begitu, dia Ayahmu, Nak. Kau tetap harus menghormatinya,” kata Nenek Rita mencoba mencairkan suasana.
Rhui menggeleng lalu turun. “Nenek, sini temani Lui liat Luci,” rengeknya membuat Azelio langsung berdiri.
“Izinkan saya juga ikut melihat putri saya, Nyonya,” pinta Azelio dengan nada sopan pada orang tua itu.
“Tidak, Eyang! Janan! Lui nda mau Om ini liat Luci. Ental Luci tambah cakit,” mohon Rhui, yang sudah amat membenci Ayahnya.
“Rhui, tenanglah, justru Ayahmu datang ingin menyelamatkan adikmu, Nak,” ucap Kakek Romo. Meskipun ia juga benci Azelio, tetap saja nyawa Ruchia lebih penting dari itu.
“Nda muntin, Om ini patti mau buang Lui tama Luci. Suluh dia pelgi!” ujar Rhui semakin merengek disertai air matanya. Azelio melihat kehancuran Rhui, membuat rasa bersalah di hatinya menjalar ke seluruh tubuhnya. Rubi yang tak tega melihat Rhui menangis, gadis mungil itu memeluk Devron erat, ikut sedih.
Sudah 15 menit berlalu, Rhui masih memberontak, memohon semua orang mengusir Azelio. Air mata membanjiri wajahnya yang kecil. Sontak saja Rhui berhenti ketika mendengar suara yang ia rindukan lebih dari apa pun.
“Rhuii…”
Suara Rea. Suara lembut seorang ibu yang kini serak dan penuh kepedihan datang dari ambang pintu. Rea berdiri di sana. Tatapannya langsung terfokus pada putranya yang gemetar.
“Mama?”
Rhui segera berlari dengan kaki kecilnya yang terhuyung-huyung. Ia menubruk Rea, memeluknya dengan kekuatan putus asa yang luar biasa. Air mata Rhui membasahi bahu Ibunya.
“Mama… Mama dali mana? Hiks…” Isak Rhui. Suaranya teredam. “Lui nda mau Mama pelgi lagi…”
Rea mendekap putranya, membiarkan air matanya sendiri tumpah membasahi rambut Rhui. Ia baru saja dipaksa datang dari kediaman Azelio, dan kini ia melihat betapa hancurnya putranya.
Ia mendongak, matanya yang basah penuh penderitaan tertuju pada Azelio. Azelio sempat melihatnya, tetapi detik kemudian pria dingin itu menundukkan kepala. Tak sanggup menatap wanita yang selama ini ia campakkan. Wajah Azelio pucat pasi, dihantam oleh rasa bersalah yang tak terkira.
Kemudian Rhui tersentak melihat Rexan berdiri di belakang Ibunya. Matanya berkaca-kaca. Rhui dan Rexan bertatapan, dan pada akhirnya tangis mereka pecah bersamaan. Rea memeluk kedua putranya itu erat-erat.
Mamaaa…
Melihat ketiganya berkumpul, tak terasa Bob meneteskan air mata terharu.
.
Tbc
srmoga saja fia mau, wlu pyn marah dan kesal pada kelakuan papa ny
tapi ingin menyelsmat kan putri ny darimaut
maka ny dia marsh sambil ngebrak meja 😁😁😁
songong juga nech si Ron2.
henti kan kegilaan mu Rhui, utk memberi pelajaran dan menghancue kan perusahaan ayah mu
jika bukan Luna dan Celina...
Emira hafis baik, dia tdk akan mauenikah dengan mu, katena ituenyakiti jati afik ny Rea.
paham kamu..
kokblom keliatan.
jarus kuat. pergi lah sejauh mungkin, dan utup indentitas mu, agar yak afa yg bisa menemu kan mu Rea.
biar kita lihat, sampai do mana sifat angkuh nu ny si Azeluo