Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KONSEKUENSI
"Tak perlu terlalu serius melihatnya, ini hanya luka tusuk puluhan tahun yang lalu," desis Rhys tenang.
Ruby bergumam tanpa sadar, suaranya nyaris tak terdengar, "Sepertinya sangat dalam...hingga lukanya membekas."
"Ya, nyaris mengenai jantungku."
"Rasanya... pasti sangat menyakitkan, hingga lukanya tak bisa hilang sampai saat ini. Apakah milikmu juga terkadang masih terasa nyeri?"
"Luka yang sudah menjadi bekas, tak akan terasa lagi," kata Rhys yakin. "Tapi, sampai kapan kau harus memegang lenganku? Lepaskan sekarang."
"Le—lepaskan? Lepaskan apa?"
"Kau memegang lenganku."
Sadar apa yang telah dilakukannya, dengan cepat Ruby menyentak tangan itu. Dan saking terkejutnya, ia sampai menutup mulut dengan telapak tangan.
Rhys menatap Ruby dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum tipis nan kosong terpatri di wajahnya, senyum yang tak sampai ke mata. "Kau menggenggam tanganku dengan lancang, dan itu adalah sebuah kesalahan. Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang padamu, Ruby?" bisiknya, rendah dan memberat.
"Tuan, aku benar-benar tidak sadar menggenggam tanganmu! Aku... aku sangat menyesal sekarang, maafkan aku."
"Aku yakin itu sebuah kesengajaan."
"Bukan... bukan sebuah kesengajaan, bahkan aku tidak sadar menggenggam tangan anda." Meskipun terlihat sepele, tindakan Ruby melanggar hierarki yang jelas antara majikan dan koki. Jadi, tak salah Rhys akan tersinggung, dan Ruby paham akan itu.
"Ingatlah kembali posisimu sekarang, jagalah batasanmu. Bukan hanya padaku saja, tapi pada semua orang di mansion ini." Rhys menjeda. "Kau paham maksudku?"
Ruby mengangguk bimbang. Baru saja mulutnya akan terbuka, suara Rhys lebih dulu menyela.
"Bagus. Jika sudah selesai, supir yang akan mengantarmu ke bistro." Rhys memalingkan wajah. Memperhatikan asal, bukan pada Ruby.
"Para pelayan dan pekerja juga diantar jika memiliki pekerjaan di luar, jadi bersiaplah." Kemudian berbalik, bergontai menjauhi dapur.
Ruby masih terpaku pada punggung Rhys yang menjauh. Bukan ucapan, melainkan wajah pria saat berbicara, masih terukir jelas di pikirannya sekarang. Kelopak matanya yang berlipat berkedut, memejam sebentar, mencoba untuk mengusir tentang Rhys. Tak berhasil, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menepuknya pelan.
Sebuah tangan menyentuh bahu. "Ruby... kau kenapa?"
Tangan Ruby berhenti. Matanya terbuka untuk melihat si pemilik suara. Tak lain adalah Eden, dengan wajah heran dan khawatir. "Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya, suaranya lembut.
"Ah, tidak. Aku hanya... sedikit lelah dan mengantuk," jawab Ruby. Ia menghindar, membelakangi Eden, meniru posisinya saat tadi melihat Rhys datang.
Eden mengerutkan dahi, namun tak mendesak. "Baiklah. Oh, ya! Sebelum kau pergi, tolong buatkan bekal untuk Nona Celeste, dia menginginkan hidangan yang mirip dengan Sushi. Aku lupa dengan namanya."
"Bibimbap?" Setelah Ruby memutar tubuhnya.
"Ya, benar! Be—bebembap, ah apalah itu. Tapi, kau bisa membuatnya, kan?"
Ruby mengangguk. "Setelah ini aku akan buatkan."
"Bagus! Setidaknya aku tak perlu repot." Senyum Eden terukir lebar, saking senangnya, ia tak sengaja menyenggol botol minum yang tadinya milik Rhys.
"Wah, pas sekali tenggorokanku membutuhkan air dingin."
Ruby hanya memperhatikan Eden saat membuka botol dan meminumnya langsung dari lubang botol. Seolah sadar akan sesuatu, mata Ruby melebar kuat.
"Eden! Air yang kau minum milik Tuan Rhys." Ruby melambatkan kata terakhir, seperti suara tertahan.
"Lalu apa masalahnya?"
Seperkian detik, Eden mencerna perkataan Ruby. Dia melebarkan matanya pula ketika baru menyadari, ditatapi botol itu dengan kosong.
"Kenapa kau tak mengatakannya dari tadi... ap—apakah ini bisa disebut dengan ciuman secara tak langsung?" Sedikit senang dan menyesal.
"Sepertinya tidak, karena Tuan meminumnya tidak langsung dari lubang botol ke mulut."
Eden mendesah kecewa, ia meletakkan botol itu dengan lemah. "Padahal hampir saja aku merasakan bibir Tuan, walaupun tak langsung."
"Aku tak menyangka kau sampai berfikir seperti itu."
.......
"Terima kasih atas tumpangannya, paman."
Ruby mulai mundur perlahan, senyumnya menghilang ketika mobil yang mengantarkannya mulai pergi. Jalan pusat pagi ini sangat padat dengan kendaraan berlalu lalang, jadi ia datang ke bistro sedikit terlambat dari biasanya.
Baru ingin membalikkan tubuhnya, sebuah tangan menarik Ruby hingga terseret kebelakang. Menahan kakinya agar tak tumbang, bersama wajah si pelaku dengan sendirinya muncul tepat di depan wajah Ruby.
"Bibi..." kata Ruby, ekpresinya tidak setegang tadi.
"Kau dari mana saja, hah?! Menginap bersama seorang pria berhidung belang? Aku mencarimu seperti orang gila semalam."
Ruby cukup terkejut dengan reaksi Clarissa, jarang sekali wanita itu bertindak aneh seperti ini. Sebelumnya, Jika Ruby tidak terlihat di mata Clarissa beberapa hari saja, setidaknya mencari, bahkan sekedar cemas pun tidak.
"Terlalu malam untuk pulang, jadi majikanku meminta untuk menginap saja. Maaf, tak mengabarimu sebelumnya."
Clarissa mengusap wajahnya frustasi, bibir merahnya bergetar ingin berbicara. "Pamanmu, orang bodoh itu, sekarang mendekap dipenjara. Dia... dia membunuh jalang yang disewanya."
Sulit bagi Ruby untuk memahami semuanya. Pikirannya seolah kosong, namun jantungnya berpacu dan sesak. Ia tatapi bibinya yang menunjukkan wajah kesal dan tersirat rasa takut. "Apa aku tidak salah dengar?" Suaranya bergetar.
"Salah dengar? Kau kira aku sedang bercanda?!" Suara Clarissa terus meninggi, tanpa mempedulikan orang-orang yang melewatinya, dan memperhatikannya jauh dari jalanan yang sibuk.
"Lakukan sesuatu. Aku... aku takut keluarga jalang itu akan ikut menuntutku. Bagaimana jika... Ah, mengapa sibodoh itu senang sekali membuatku menjadi gila!"
Clarissa melampiaskan rasa marahnya dengan mengguncang tubuh Ruby. Ruby yang tak tahu harus bersikap bagaimana, hanya bisa mematung dengan mata yang memanas.
"Bibi... aku tidak tahu harus bagaimana. Aku, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang."
"Jangan buat bibimu menjadi gila detik ini juga..."
"Kantor polisi? Ayo kita ke kantor polisi bibi. Aku akan berbicara pada Marie lebih dulu untuk izin sebentar, lalu kita ke sana." Ruby bertegas, tapi Clarissa bukan semakin tenang justru wajahnya semakin tegang.
"Kau, kau saja. Aku akan menunggu di rumah."
"Polisi tidak akan menangkap seseorang yang tak bersalah. Jika bibi tidak melakukan kesalahan apapun, nama bibi tidak akan ikut terseret." Ruby tahu ketakutan Clarissa, dan mencoba menangkan batin wanita itu.
"Aku akan berbicara lebih dulu pada Kim. Jangan pergi sebelum aku kembali pada bibi."
Ruby pergi setelah Clarissa mengangguk. Sepanjang langkahnya memasuki bistro pikirannya terus berkecamuk, memikirkan masalah pamannya yang entah harus diapakan. Tapi untuk saat ini, ia harus cepat bertemu dengan Marie, mengatakan masalah pamannya dan meminta izin sebentar pada wanita itu.
.............
"Korban memiliki seorang putra. Sayangnya, kami tidak dapat menemukan satupun anggota keluarga korban di sini. Jadi, kami menempatkan sementara putra korban dalam lembaga perlindungan anak, selagi tim kami berupaya menyelidiki keberadaan keluarganya."
"Apa aku bisa bertemu dengan putranya?" tanya Ruby, suaranya penuh harap.
"Tentu. Aku akan berikan alamatnya untukmu."
Selama menunggu polisi penyelidik mencatat alamat dari komputer, Ruby melirik Clarissa yang sedari tadi diam duduk di kursi sampingnya. Tampak jelas wajah wanita itu sangat kaku; bahkan, bibirnya yang selalu terpoles lipstik merah kini memucat.
"Terima kasih." Jemari Ruby menyentuh secarik kertas itu dengan hati-hati. Alamat yang tertulis di sana, tercetak dengan tinta biru malis, alamat yang cukup asing bagi Ruby.
"Aku akan berbicara dengan pihak Lembaga Perlindungan Anak agar nantinya anda mudah dipertemukan dengan putra korban. Tapi, sebelumnya ada beberapa persyaratan yang harus anda penuhi. Tak perlu aku jelaskan, mereka yang akan menuntunmu dengan baik di sana."
"Aku mengerti." Pandangan Ruby menyapu ruangan, mencari pamannya yang tidak mungkin ditemukan di sini. Fokusnya kembali jatuh pada polisi di depannya, mulutnya tampak ragu saat ingin terbuka.
"Ayo kita kembali saja," desis Clarissa, hanya Ruby yang mampu menangkap bisikannya, namun Ruby hiraukan.
"Bisakah kami bertemu dengan paman, uh maksudku tersangka, hanya sebentar saja. Kumohon?"
"Baiklah, hanya dua menit," jawab polisi, sedikit ragu.Terlihat polisi penyelidik itu menekan tombol interkom, menyapa sopan dan berkata, "bawa tersangka Amos keruang interogasi dua."
Cukup lama menunggu kedatangan Amos, hingga sebuah ketukan dan langkah kaki membuat pintu ruangan terbuka. Tampang Amos dari jendela mata Ruby, lebih berantakan dari biasanya. Ada sayatan pisau dan luka membiru, sepertinya itu bentuk perlawanan dari si korban.
"Tersangka Amos," kata penyelidik. "Anda memiliki waktu dua menit untuk berbicara."
Dengan waktu yang singkat itu, tak membuat ketiganya mengawali percakapan. Mereka sama-sama diam, dengan mata yang saling melempar tatapan. Ruby, mengamati setiap detail wajah yang selalu mengingatkannya pada mendiang Aria, ibunya. Bibir merah alaminya terus ia gigit dalam, menahan butiran bening yang menggenang di pelupuk mata.
Clarissa berbeda. Sedari kedatangan suaminya, giginya bergelatuk, menahan kesal dan marah yang segera ingin di luapkan.
"Kenapa kau tidak mati saja bersama jalangmu?"
Amos melirik istrinya. Kedua tangan yang berada di pangkuan, terkepal kuat. "Lebih baik tinggalkan tempat ini, sebelum kau ku buat seperti jalang itu."
"Dan kau akan membusuk di penjara."
Bola mata Ruby bergerak, berganti antara Amos dan Clarissa. Nafasnya menderu sesak, ia tundukkan wajahnya, sekedar menyembunyikan tangis yang segera pecah.
"Setelah meninggalnya Ibu dan ayah, paman selalu memperlakukanku seperti binatang. Bekas luka di tubuh ini menjadi bukti, bahwa paman hampir membunuh nyawaku. Uang yang aku cari hampir bertahun-tahun, sekarang bahkan sudah tak tersisa sepeser pun, itupun karena paman. Aku hanya bisa diam dan selalu menerimanya. Tapi akhirnya, sekarang perlakuan paman tak bisa dimaafkan. Paman tak hanya mengecewakan bibi, ibu, tapi juga harapan seorang anak kecil yang ibunya telah paman habisi." Ruby tertawa miris, ia mengusap air mata yang mengalir di pipi.
"Bagaimana paman bisa setega itu membunuhnya?"
"Jalang itu pantas menerimanya. Dia telah menginjak harga diriku dengan mengatakan aku pria murahan, miskin, bau, yang hanya bisa mengemis lubang wanita.Tak hanya itu, bahkan dia meludahiku—"
"Bukankah jalang itu sudah benar. Kau memang pria miskin yang tak tahu diri. Kaparat sialan yang hanya bisa membuat orang di sekitarmu mati perlahan. Aku jadi menyesali, mengapa bukan kau saja yang mati, justru wanita itu." Clarissa memotong dengan mulut tajamnya. Namun, ia puas akan itu. Apalagi melihat reaksi Amos yang tampak sekali menahan amarah.
"Kau...." pria itu mengerang. Ia membanting meja, dan dengan gerakan cepat, berdiri. Guna mencekik leher istrinya yang tak sempat menghindar.