Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Tak mau menurut lagi
Malam telah larut ketika Harry akhirnya pulang ke rumah. Langkahnya pelan namun pasti menyusuri koridor besar yang hening, hanya suara dentingan jam dinding yang menemani. Saat ia tiba di ruang keluarga, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih terjaga di sofa, memeluk bantal dengan tatapan kosong ke arah televisi yang kini sudah dimatikan.
"Ma?" Harry memanggil pelan.
Ziva menoleh perlahan. Wajahnya pucat, matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia sudah menangis cukup lama. Tapi saat melihat Harry, air matanya kembali mengalir begitu saja. Dengan tubuh lemas, ia berdiri dan langsung memeluk putranya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan.
"Harry… Mama nggak sanggup," lirih Ziva, suaranya nyaris tenggelam oleh isakan. "Mama lihat semua berita itu… tentang Papa kamu… Mas Calvin…"
Harry mengernyit, menahan napasnya sejenak sebelum akhirnya membalas pelukan itu. Hatinya terasa mencelos. Ia tak menyangka dampaknya akan secepat ini sampai ke sang ibu—terlalu cepat.
"Mama, tenang… tolong Mama tenang dulu, ya. Berita itu belum tentu benar. Bisa saja itu cuma rumor nggak berdasar," ucap Harry sambil mengusap lembut punggung ibunya.
Ziva menggeleng lemah, lalu duduk kembali di sofa, menggenggam tangan Harry dengan erat. "Mama tahu. Mama tahu cara Mas Calvin kalau berbohong. Dia pasti melakukan itu, Harry… Mama sudah suruh orang untuk selidiki. Mama nggak bisa tidur… Mama cuma mikir, kenapa bisa sekejam itu dia sama Mama…"
Harry menatap ibunya lekat-lekat, merasa bersalah. Hatinya teriris saat melihat betapa dalamnya luka yang dibuat Calvin. Di satu sisi, ia merasa puas karena pembalasannya berjalan sesuai rencana. Namun di sisi lain… Ziva tidak pantas terluka seperti ini. Ia hanya korban dari kebusukan sang ayah dan Raline.
Ia membuka mulut, berniat untuk jujur, namun belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, terdengar suara berat dari arah tangga.
"Harry."
Keduanya menoleh serempak. Calvin berdiri tegak di sana, dengan wajah tegang dan nada suara yang tidak bisa ditawar. "Ikut Papa ke balkon sekarang! Kita harus bicara."
Ziva langsung menegang, tapi Harry menepuk tangannya pelan dan berdiri. "Baik, Pa."
Tanpa banyak kata, Harry mengikuti Calvin hingga ke balkon lantai dua. Udara malam yang dingin menyapu wajah mereka, tapi ketegangan di antara keduanya justru terasa membakar.
Begitu pintu kaca ditutup, Calvin langsung berbalik dan menatap putranya tajam.
"Kamu yang sebarkan itu semua, kan?" suaranya rendah, tapi beracun. "Video, gosip, media—kamu yang atur semuanya kan."
Harry tak menyangkal. Wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit sinis. "Lalu kenapa kalau memang iya?"
Calvin menahan amarahnya, mengepalkan tangan. "Kamu pikir kamu bisa mengatur semuanya? Hancurkan reputasi ayahmu sendiri? Kamu sudah gila, Harry! Dengar, kamu hapus video itu sekarang juga! Dan pastikan semua media berhenti memberitakan ini. Kalau tidak, kamu akan menyesal."
"Menyesal?" Harry mencibir. "Seperti Mama yang menyesal menikah dengan laki-laki yang mengkhianatinya?"
Calvin melangkah maju, nyaris mendorong Harry ke pagar balkon. "Aku peringatkan kamu… jangan main api dengan orang yang mengajarkanmu cara menyalakan korek."
Namun Harry hanya tersenyum dingin. "Dan Papa lupa, kadang murid bisa membakar gurunya sendiri. Aku nggak takut, Pa. Justru aku ingin Papa tahu rasanya dikhianati."
Calvin menatap putranya dengan napas berat. Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa Harry kini bukan lagi anak kecil yang bisa dikendalikan dengan ancaman. Ia sudah menjadi lawan.
"Aku nggak akan berhenti… sampai semuanya tumbang. Papa, Raline, semuanya," bisik Harry sebelum berbalik dan meninggalkan ayahnya yang masih terpaku di sana, wajahnya dipenuhi amarah… dan kekalahan.
÷÷÷
Pagi itu, sinar matahari menyelinap hangat ke dalam rumah keluarga Hartanto. Namun, kehangatan itu tak mampu menembus ketegangan yang mulai terasa sejak pagi. Di meja makan, Ziva duduk dengan wajah datar, menatap roti panggang dan cangkir teh di depannya. Rambutnya dikuncir rapi, namun matanya menyiratkan amarah yang membara.
Langkah berat terdengar dari arah tangga. Calvin muncul dengan jubah tidur abu-abu dan wajah masam. Ia berjalan menuju meja makan tanpa menyapa, lalu duduk dengan penuh wibawa di kursinya.
"Ziva," ucapnya tegas, seperti biasa memerintah. "Buatkan aku kopi. Hitam, tanpa gula. Lalu oleskan selai kacang ke rotiku."
Ziva tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Calvin beberapa detik, sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya dan bersuara datar, "Buat saja sendiri. Tangan kamu nggak buntung, kan?"
Alis Calvin langsung menaut. Ia mengangkat kepalanya, menatap istrinya itu tajam. "Apa maksud kamu ngomong kayak gitu ke suami kamu sendiri?"
Ziva menghela napas panjang. Kali ini, bukan dengan suara lembut seperti biasanya, melainkan nada ketus penuh penekanan. "Aku capek, Mas. Aku capek jadi istri penurut yang disuruh ini-itu, sementara kamu enak-enakan jalan sama wanita lain di luar sana. Jadi mulai sekarang, kamu urus aja sendiri semuanya. Aku nggak mau lagi jadi pelayan kamu di rumah ini."
Kalimat itu seperti tamparan keras bagi Calvin. Ia langsung menggebrak meja, membuat sendok dan piring berguncang, bahkan roti yang di atas piring sampai terjatuh ke lantai.
"Jaga omongan kamu, Ziva! Kamu itu istri, jangan kurang ajar sama suami sendiri!" seru Calvin marah.
Namun Ziva tak gentar. Ia berdiri, menatap Calvin dengan sorot mata dingin. "Kalau kamu ingin dilayani, suruh aja si ‘R’ itu. Bukankah kamu lebih nyaman sama dia?"
Nama itu membuat wajah Calvin memerah, tak hanya karena terbongkarnya perselingkuhan, tapi juga karena harga dirinya sebagai kepala keluarga yang mulai dipertanyakan. Ia berdiri dengan kasar dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap melayangkan tamparan ke arah Ziva.
"Lancang sekali kamu, Ziva!" teriak Calvin penuh amarah.
Nindy, pelayan rumah tangga yang sedang membersihkan bagian dapur, menoleh dengan kaget dan buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia bahkan nyaris menjatuhkan gelas yang dibawanya.
Namun, sebelum tangan Calvin sempat mendarat di pipi Ziva, tiba-tiba sebuah tangan besar menangkapnya dari samping—erat dan menghentak.
Harry.
Ia muncul dari balik pintu ruang makan dengan mata yang menatap tajam ayahnya. Tanpa basa-basi, ia langsung mendorong Calvin ke belakang hingga pria itu tersungkur terduduk ke lantai. Suara tubuh Calvin menghantam lantai menderu keras, membuat suasana hening sesaat.
"Kamu udah gila, Pa?" suara Harry bergetar, menahan marah. "Berani-beraninya mau nyakitin Mama? Kamu pikir kamu siapa?!"
Calvin mendongak dengan wajah geram, namun belum sempat membuka suara, Ziva ikut berdiri di belakang Harry, menyandarkan tangannya di bahu putranya sebagai bentuk dukungan.
"Aku menyesal, Mas!" katanya dengan suara yang lebih lantang dari biasanya. "Aku menyesal pernah mencintai kamu. Menyesal pernah percaya kamu bisa jadi ayah dan suami yang baik. Tapi sekarang aku sadar… kamu cuma laki-laki yang haus kekuasaan dan nggak tahu terima kasih."
Ziva menghela napas, lalu menatap Calvin dengan mantap. "Kalau nanti terbukti kamu benar-benar selingkuh, aku akan tarik semua aset yang pernah aku berikan ke kamu. Dan aku akan ajukan gugatan cerai. Aku nggak mau hidup dengan laki-laki pengkhianat seperti kamu!"
Kata-kata itu menghujam jantung Calvin seperti tombak tajam. Ia masih duduk di lantai, terdiam, tak mampu membalas sepatah kata pun. Matanya memancarkan kebingungan—dan ketakutan.
Harry menatap ibunya dengan bangga, lalu kembali menoleh pada ayahnya. "Mulai sekarang, kamu jangan pernah sentuh Mama aku lagi. Kalau kamu berani, aku sendiri yang bakal kasih pelajaran buat kamu."
Ia pun meraih tangan ibunya dan menggiringnya menjauh, meninggalkan Calvin yang masih terdiam di lantai, tak percaya bahwa kekuasaannya sebagai kepala keluarga telah runtuh di hadapan istri dan anaknya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Ziva berjalan dengan tegak. Tanpa rasa takut. Tanpa beban. Ia merasa bebas.