Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Ziva yang berkuasa
Calvin menatap Raline dengan sorot mata penuh rindu. Setelah semua kekacauan yang mereka hadapi belakangan ini, momen tenang seperti ini terasa langka dan begitu berharga.
"Aku kangen banget sama kamu, Raline sayang," bisiknya pelan di dekat telinga gadis itu, sembari memeluk tubuhnya erat. Bibirnya menyusuri pipi Raline, turun ke leher, lalu ke bahu, membuat gadis itu tersenyum malu-malu.
"Aku juga, Dad," jawab Raline manja sambil melingkarkan kedua lengannya ke leher pria dewasa itu. "Hari ini... cuma milik kita, ya? Jangan pergi ke mana-mana lagi..."
"Aku nggak akan ke mana-mana. Hari ini, aku mau habisin waktuku cuma buat kamu." Calvin menciumi pipi dan pelipis Raline, lalu menariknya ke dalam pelukan yang lebih erat.
Tangan Raline mulai bermain-main di dada Calvin, mengelusnya pelan sambil membisikkan kata-kata rayuan yang hanya bisa dimengerti mereka berdua. Senyum nakal muncul di wajah gadis itu saat ia menarik Calvin menuju ranjang. Tawa kecil terdengar ketika mereka saling menyentuh, bercanda, dan menjatuhkan diri ke atas kasur empuk itu.
Suasana di dalam ruangan semakin panas, penuh dengan keintiman dan tawa ringan. Mereka tak menyadari bahwa di luar sana, sebuah badai baru sedang mengancam untuk merobek semua kebahagiaan singkat yang mereka nikmati.
Tepat di depan unit 19B, seorang pria bertubuh tegap berdiri dengan tenang namun penuh kewaspadaan. Ia adalah Danu, orang bayaran yang ditugaskan Ziva untuk membuntuti Calvin ke mana pun pria itu pergi. Tangannya mengepal, menunggu perintah selanjutnya.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan muncullah sosok anggun namun dingin: Ziva. Wajah cantiknya dipenuhi kemarahan yang terkontrol, menyembunyikan emosi yang sedang meluap di dalam dada. Di sampingnya, Hana sang asisten setia mengikuti dengan langkah cepat.
Ziva menatap Danu tajam. "Apa dia di dalam?"
Danu menunduk sedikit dan menjawab dengan suara pelan. "Ya, Bu. Saya yakin sekali. Baru beberapa menit lalu dia masuk ke sini. Unit ini tercatat atas nama Raline... seorang mahasiswi muda."
Wajah Ziva berubah. Nama itu tidak asing di telinganya. Gadis yang bertunangan dengan putranya beberapa waktu lalu, juga memiliki nama seperti itu. Apakah mereka orang yang sama?
"Tunggu," bisik Ziva, mencoba menenangkan diri. "Raline... itu bukan nama yang pasaran. Jangan-jangan…"
Tapi ia tak mau hanya berandai-andai. Ziva mencoba membuka pintu, namun tentu saja terkunci. Ia menoleh ke Danu dengan tatapan menuntut.
Tanpa berkata apa-apa, Danu mengeluarkan sebuah kunci duplikat dari saku jasnya. "Ini dari pihak pengelola apartemen. Mereka percaya saya utusan pemilik."
Ziva mengangguk. "Bagus. Cepat buka!"
Danu menyelipkan kunci itu ke lubang kunci, memutarnya pelan, dan… klik, pintu terbuka. Dengan hati-hati, Ziva melangkah masuk ke dalam apartemen, diikuti oleh Hana dan Danu.
Begitu langkah pertama mereka memasuki unit itu, suara yang terdengar langsung menghantam pendengaran mereka—desahan pelan, suara kasur yang berderit, dan tawa kecil yang tak asing di telinga Ziva. Wajah wanita itu langsung menegang, amarahnya meluap, namun masih ia kendalikan.
Perlahan, Ziva mengeluarkan ponselnya, mengaktifkan kamera, dan mulai merekam sembari melangkah lebih dalam menuju sumber suara.
Beberapa langkah lagi… dan rahasia besar yang selama ini berusaha ditutupi Calvin akan terungkap dalam satu hentakan napas.
Hana yang berdiri di belakang Ziva tampak cemas, ia menatap Danu yang hanya mengangguk tipis, seolah berkata semuanya akan segera terbongkar.
Dan benar saja.
Ketika Ziva mendorong pintu kamar dengan pelan, tubuhnya menegang melihat pemandangan yang muncul di hadapannya: suaminya sendiri—Calvin, tengah berbaring di atas tubuh seorang gadis muda… yang tak lain adalah tunangan anaknya.
Matanya membelalak, tangannya gemetar, namun kamera di ponsel tetap merekam. Ziva tahu, ini bukan hanya pengkhianatan… ini adalah senjata yang bisa menghancurkan semuanya. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan itu.
÷÷÷
"Mas Calvin!" Suara Ziva menggema keras di seluruh unit apartemen, menghentak udara seperti petir yang menyambar di siang bolong.
Suara itu membuat Calvin sontak membeku, begitu juga Raline yang tadinya berada dalam pelukannya. Desahan yang tadi memenuhi kamar seketika lenyap, tergantikan oleh hening yang mencekam dan detak jantung yang berdentum cepat.
Calvin menoleh dengan syok, matanya membelalak saat melihat istrinya berdiri di ambang pintu kamar, memegang ponsel dengan kamera aktif yang merekam ke arah mereka. Wajah Ziva basah oleh air mata, tetapi sorot matanya menyala penuh emosi dan luka yang mendalam.
"Z-Ziva... Kamu ngapain di sini?" tanya Calvin terbata-bata, buru-buru turun dari atas tubuh Raline dan menarik celana yang tadi terlepas.
Raline pun panik, wajahnya pucat pasi. Ia segera menarik selimut dan menutupi tubuhnya, tak berani sedikit pun menatap wanita yang saat ini memandangi mereka dengan pandangan terluka. Napasnya bergetar. Dunia seperti runtuh seketika.
Ziva tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam ke arah keduanya, lalu maju beberapa langkah sambil masih merekam dengan ponselnya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Calvin.
"Kamu tega! Kamu khianatin aku—di belakang, di tempat yang bahkan bukan rumah kita sendiri—dengan tunangan anak kita sendiri, Mas?! Kamu bener-bener laki-laki paling menjijikkan yang pernah aku kenal!” isaknya sambil menunjuk wajah suaminya sendiri. "Selama ini aku bertahan, diam, dan percaya sama kamu... tapi ternyata kamu malah mempermainkan aku seperti ini!"
Calvin menggenggam lengan Ziva, berusaha mengambil ponsel dari tangannya. "Hapus video itu, Ziva. Kumohon, kita bisa bicara baik-baik, ini semua salah—"
Namun, sebelum Calvin sempat menyelesaikan kalimatnya, Danu yang berdiri di belakang Ziva langsung maju, menahan tubuh Calvin dengan cepat, melipat kedua tangannya ke belakang agar tak bisa bergerak.
"Jangan sentuh istri Anda, Pak. Sekarang bukan giliran Anda untuk bicara," ujar Danu dingin.
Ziva mengangkat dagunya dengan angkuh, air matanya masih mengalir tapi kini berubah menjadi kekuatan. "Kamu pikir aku akan diam saja, Mas Calvin? Setelah semua yang kamu lakukan padaku? Aku akan sebar video ini ke media. Biar semua orang tahu siapa Calvin Hartanto sebenarnya. Biar satu negara ini tahu wajah asli dosen teladan yang katanya penuh integritas ini."
Calvin terbelalak. "Ziva, jangan. Kumohon. Ini akan menghancurkan semuanya. Karierku, reputasiku... Raline juga..."
"Justru itu," ucap Ziva lirih namun menusuk. "Raline juga akan dikeluarkan dari kampus. Dicoret dari semua jaringan dunia kerja. Siapa yang mau menerima mahasiswa yang tidur dengan ayah tunangannya sendiri, hah?"
Raline menunduk makin dalam, tubuhnya gemetar hebat di balik selimut. Ia ingin bicara, ingin membela diri, tapi tak satu pun suara keluar dari mulutnya. Tenggorokannya tercekat, napasnya tersendat-sendat.
Calvin menatap Ziva dengan mata memohon. "Kita bisa bicarakan ini... Aku tahu aku salah, aku menyesal... Tapi, jangan buat keputusan yang akan menghancurkan kita semua…"
Ziva menggeleng pelan, matanya sudah tak menunjukkan keraguan. "Sudah terlambat. Aku akan kirimkan surat gugatan cerai ke rumah. Dan semua aset yang pernah kuberikan padamu, akan aku tarik. Rumah, mobil, rekening... semuanya. Kamu keluar dari hidupku, Mas Calvin. Dan pastikan kamu juga keluar dari hidup anak kita."
Ucapan itu seperti cambuk yang mencabik dada Calvin. Ia ingin menjerit, ingin memohon lebih keras, tapi genggaman Danu tak membiarkannya bergerak sedikit pun.
Ziva menatapnya untuk terakhir kali, lalu berbalik dengan angkuh.
"Hana, kita pergi!" ucapnya tegas. "Biarkan dia menelan kebusukannya sendiri di tempat ini."
Dengan langkah tegap dan air mata yang tak lagi tertahan, Ziva keluar dari unit 19B bersama Hana. Danu melepaskan cengkeramannya pada Calvin dan segera menyusul.
Tinggallah Calvin yang terduduk lemas di lantai, dan Raline yang menangis dalam diam, menyadari bahwa hidup mereka berdua tidak akan pernah sama lagi.
serem, tegang, tp buat penisirin. ikut kepoinlah ya thor....
lanjutlah thor. semabgat ya...