Dunia ini bernama Loka Pralaya, satu dunia di antara banyak dunia lain di alam semesta ini, sebuah tempat penuh misteri. Di tempat ini, desiran anginnya adalah nafas yang memberi kehidupan bagi penghuninya. Energinya berasal dari beragam emosi dan perasaan segenap makhluk yang ada di dalamnya. Keharmonisan yang mengikat alam ini, mengabadikan keberadaanya di antara banyak dunia lain di alam semesta. Senyum ramah adalah energi yang membangun, menumbuhkan benih-benih yang di tanam di tanahnya, kebaikan kecil yang dilakukan akan memberi dampak besar bagi kelangsungan dunia ini. Pepohonannya adalah mata dan telinga bagi segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya. Batu-batu yang berserakan di pantai, menjadi penyimpan memori abadi bagi kejadian-kejadian penting yang terjadi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Penyusup
Panalung Tikan nampak puas dengan presentasi yang sudah diberikan oleh kedua anak buahnya itu – Mapasomba dan Rajo. Ia tersenyum puas kepada mereka. Namun senyum itu segera pupus menakala didengarnya suara gaduh dari teriakan beberapa orang prajurit yang berjaga di luar bangunan itu.
“Penyusup! .. penyusup!...” teriak beberapa parjurit yang berjaga
“Tangkap orang itu!” terdengar sahutan dari prajurit yang lain.
Suasana berubah gaduh, Lima Bakumbai dan lainnya segera berhamburan ke luar ruangan, terdengar bunyi seperti sirine yang berasal dari menara-menara yang berdiri tegak di setiap sudut dinding pembatas bangunan itu ditambah silaunya cahaya yang dihasilkan olehnya, cahaya merah dan putih silih berganti berputar-putar seperti lampu ambulance segera menerangi seluruh area itu.
Arya dan Sophia bergegas hendak ikut terjun dalam pengejaran terhadap sosok yang disebut penyusup oleh para penjaga tadi, namun segera Lima Bakumbai mencegahnya.
“Cukup, tak perlu dikejar,” kata Lima Bakumbai.
Mendengar perintah dari jenderalnya, Arya dan Sophia mengurungkan niatnya untuk mengejar penyusup itu.
Sementara di luar ruangan, tepatnya berada di bawah – karena posisi ruang penelitian itu berada di lantai dua, nampak beberapa prajurit tengah sibuk mengejar dua sosok bayangan hitam yang berlari dan melompat di atas dinding-dinding pembatas. Tubuh mereka nampak berkelebat cepat dengan gerakan yang sangat terlatih menghindari pengejaran para penjaga.
Sebagai seorang panglima perang, Lima Bakumbai segera dapat menebak seberapa hebat kekuatan dua sosok penyusup itu, dengan sorot mata yang tajam ia mengamati setiap gerakan dua bayangan itu. penerangan yang dihasilkan oleh sirine dan alat yang ditempatkan di atas ke empat menara itu, membuat bayangan kedua sosok penyusup itu sempat terlihat jelas.
Keduanya nampak mengenakan jubah hitam dan topeng, mereka terus melompat dan berlari menghindari pengejaran, dengan gerakan tangkas dan cepat mereka menghindari serbuan anak panah yang berusaha menerobos tubuhnya. Gerakannya begitu lincah hingga membuat serbuan anak panah itu tak satupun dapat mengenainya.
Beberapa saat kemudian, terdengar hiruk pikuk itu mulai mereda, nampaknya kedua penyusup itu berhasil lolos dari pengejaran. Lima Bakumbai dan beberapa orang yang menyertainya masih berdiri di balkon atas di luar ruang penelitian itu. Panalung Tikan nampak cemas, demikian pula dengan kedua anak buahnya. Sebelum ia sempat menanyakan siapa sebenarnya para penyusup itu, dari arah bawah terdengar suara langkah kaki para prajurit menaiki anak tangga dan berjalan cepat ke arah mereka.
“Lapor Jenderal!” salah seorang prajurit penjaga dengan sikap hormat langsung menghadap kepada Lima Bakumabai.
“Maaf Jenderal, kami tidak dapat mengejarnya,... “ lanjutnya sambil menundukkan kepalanya.
Mendengar laporan dari penjaga itu, Lima Bakumbai hanya terdiam, pandangannya masih menerobos jauh ke arah kedua banyangan itu lenyap. Dan setelah dirasa cukup, ia memalingkan wajahnya ke arah prajurit yang melapor tadi.
“Iya, tidak apa-apa,” katanya, “kalian sudah melakukan tugas kalian dengan baik, kedua orang itu memang bukan tandingan kalian...”
Prajurit penjaga itu masih berdiri di hadapan Lima Bakumbai dengan kepala tertunduk, nampaknya ia masih merasa bersalah karena tidak mampu menangkap penyusup itu, ia terdiam menunggu perintah selanjutnya.
“Aku sudah bisa menebak siapa mereka,” kata Lima Bakumbai,
“sekarang, kalian kembalilah ke pos jaga masing-masing, dan ingat ... tingkatkan kewaspadaan.” Ia terdiam sejenak,
“sebab aku rasa dua bayangan tadi bukanlah orang asing di sini, aku punya firasat lain tentang bayangan itu.”
Para prajurit segera memberikan hormat kepada Lima Bakumbai sebelum akhirnya mereka kembali menuruni anak tangga ke luar dari ruangan itu, untuk kembali melakukan tugasnya menjaga bangunan itu.
Sementara itu suara sirine yang tadi meraung keras, kini sudah sunyi kembali. Demikian juga dengan pendaran cahaya yang menyilaukan dan beputar-putar itupun sudah berhenti. Suasana kembali tenang dan sunyi seperti sebelumnya.
Namun ketegangan masih nampak jelas dari wajah-wajah mereka, Panalung Tikan dan kedua anak buahnya, maupun Lima Bakumbai dan kedua mata-matanya, semua masih waspada dan belum meninggalkan tempat itu, sesekali pandangan mereka saling beradu, seperti saling berbicara dalam diam.
Setelah memastikan bahwa bayangan penyusup itu benar-benar tidak kembali lagi, mereka segera menuju ke dalam ruangan, mereka berjalan ke arah meja dan bangku yang ada di sudut ruangan yang lain.
Kegelisahan nampak sekali ditunjukkan oleh Panalung Tikan, ia sangat cemas setelah mengetahui bahwa ada orang yang diam-diam menyelidiki tindakannya malam itu. Pikirannya segera mengarah kepada Fonda Ono, sebab selama ini orang itu senang sekali menjegal langkahnya.
Kecurigaan ini sangat beralasan, mengingat dirinya dan Fonda Ono memang memiliki kepentingan yang saling berlawanan. Sudah sejak lama, Fonda Ono menunjukkan rasa tidak sukanya, telebih saat ia pertama kali ditunjuk sebagai menteri bagian pengembangan teknologi bagi klan Gendhing, reaksi itu ia tangkap saat serah terima jabatan dari pejabat yang lama, Fonda Ono sama sekali tidak memberikan ucapan selamat ataupun menghadiri acara pelantikannya itu.
Hal kedua yang menurutnya kuat sebagai alibi adalah, karena dirinya dan Fonda Ono berasal dari dua marga yang berbeda. Fonda Ono berasal dari marga Limer, sedangkan dirinya bermarga Aarom. Dari sisi ini saja Panalung Tikan merasakan seolah darah mereka berlainan, walaupun sejatinya mereka masih satu jalur leluhur dan keturunan sebagai klan Gendhing. Namun dominasi marga Limer dalam menguasai perdagangan dan ekonomi membuat mereka bersikap angkuh dan memandang sebelah mata kepada para keturunan dan marga Aarom yang sebagian besar memang tidak begitu mencolok dalam hal kekayaan.
Lama sekali Panalung Tikan memikirkan hal itu, hingga ia dikejutkan oleh pertanyaan dari Lima Bakumabai.
“Ada apa Tuan Panalung?, nampaknya Anda begitu gelisah.” Tanya Lima Bakumbai yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik dari rekan sejawatnya itu.
“Oh ... ma... maaf tuan Lima,” Panalung Tikan tergagap sesaat, nampaknya ia belum siap menjawab pertanyaan itu. Ia menarik napasnya beberapa kali, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab pertanyaan Lima Bakumabai.
“Tuan Lima,” kata Panalung,
“saya merasakan ada firasat buruk mengenai kedua sosok penyusup tadi.”
Lima Bakumbai mengernyitkan alisnya, sepertina ia juga menangkap maksud dari ucapan rekannya itu.
“Hmm.... sepertinya kita punya pemikiran yang sama, Panalung.” Jawabnya singkat.
Mata mereka beradu, dan dalam keheningan itu mereka seperti saling memahami arti di balik isyarat diamnya itu.
“Tuan Lima,” kata Panalung kemudian,
“selama ini, ada seseorang yang tidak menyukai saya,”
Panalung Tikan berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkatannya, “terutama mengenai hasil penelitian yang saya lakukan di sini bersama tim.”
Lima Bakumbai semakin penasaran, sebab ia tak menyangka bahwa Panalung Tikan akan langsung pada seseorang yang berada di belakan kedua penyusup itu. Ia tidak langsung menyetujui pemikiran rekannya itu, sebab jika prasagka itu tidak benar justru akan membuat dirinya dan Panalung didakwa atas tuduhan palsu.
“Apa kau sudah mengarah kepada seseorang, Panalung?” tanya Lima Bakumabai.
“Benar, Tuan, tapi .... “ jawab Panalung tidak meneruskan ucapannya.
Lima Bakumbai paham kenapa Panalung Tikan tidak buru-buru memberikan jawaban, sebab ia juga akan berbuat demikian jika situasi yang dihadapi seperti ini, mereka harus berhati-hati dan tidak asal tuduh.
Sementara Arya dan Sophia hanya bisa memandang kedua atasannya itu dengan pikiran yang menerawang jauh, mereka tidak paham apa yang sebenarkanya dibicarakan oleh kedua orang itu. Lain hanya dengan Mapasomba dan Rajo, nampaknya mereka berdua sudah dapat menangkap maksud dari ucapan Panalung tikan, tentang seseorang yang berada di balik penyusupan itu.