KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuntut Jawaban
“Penembakan?” Rio mengerutkan dahinya bingung.
Kedua alis pria paruh baya itu menukik tajam saat mendengar satu kata tersebut.
“Apa maksud kamu tentang penembakan?” Rio kembali bertanya karena Keshi tidak kunjung menjawab.
Keshi berdeham dan membasahi bibir bawahnya sebelum menjawab, “Tadi siang aku pergi ke kampus untuk meninjau gedung di sana. Lalu….saat aku pulang, ada mobil asing dan seseorang yang menembakkan peluru pada mobilku.”
Rio masih mengerutkan dahinya, ia mencengkeram secangkir kopi di tangannya. Tidak ada yang melapor padanya tentang hal ini, atau mungkin belum melapor karena Rio sendiri pun baru pulang dari bekerja. Tetapi seharusnya ada satu orang yang melapor kepadanya. Setelah percakapan ini selesai, Rio akan mendatangi Luca dan Bowen untuk menuntut sebuah jawaban.
“Apa kamu baik-baik saja, sayang?” Rio melembutkan tatapan matanya kearah Keshi.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, “Aku baik-baik saja, Luca penjaga yang kuat dan dia bisa mengalahkan si penembak itu.”
Rio mengembuskan napas panjang. “Baiklah, nanti aku akan bertanya dengan Luca dan Bowen tentang penembakan itu. Sekarang bisakah kita bicarakan tentang jurusan kuliahmu?” pria itu mengalihkan pembicaraan.
Keshi menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. “Bolehkah aku mengambil jurusan jurnalistik?”
“Hm? Kenapa kamu ingin memgambil jurusan itu?” Rio bertanya.
“Kupikir hanya itu saja jurusan yang terlintas di pikiranku. Nina juga akan masuk ke dalam jurusan tersebut.”
”Kamu mengikuti jurusan temanmu itu?”
Keshi memainkan sehelai rambutnya, memilin-milin sembari menjawab pertanyaan ayahnya. “Lagi pula ayah melarangku untuk mengambil jurusan hukum.”
Rio menghela napasnya. Merasa sedikit bersalah karena tidak mendukung cita-cita dan keinginan putrinya.
“Maafkan ayah karena membunuh mimpi dan cita-citamu, Keshi.” pada akhirnya Rio dapat mengatakan permintaan maaf itu. Ia benar-benar merasa bersalah.
Gadis itu memanyunkan bibirnya berusaha menahan tangis. Tangannya naik untuk menyentuh bawah matanya supaya tidak menintikkan air mata. “Tidak apa-apa. Jadi bagaimana, apa ayah mengizinkanku untuk mengambil jurusan itu?” tanya Keshi.
Rio menatap lekat wajah anaknya yang sudah semakin dewasa, ada banyak rasa bangga karena berhasil membesarkan putrinya seorang diri.
“Ya, tentu saja kamu boleh mengambil jurusan itu.”
Keshi menarik senyum lebar, ia bangkit berdiri dan memeluk ayahnya. “Terima kasih banyak, ayah! Aku sangat menyayangimu!”
Tak di sangka-sangka sang ayah malah menintikkan air matanya, terharu dan senang mendapati putri membanggakan seperti Keshi Sanchez.
“Ayah juga sangat menyayangimu.”
...\~\~\~...
Rio Sanchez, pria paruh baya itu sudah berusia 48 tahun. Beberapa uban sudah menghiasi rambut hitamnya dan sekarang ia sudah memiliki beberapa bulu halus di antara bibir dan hidungnya.
Walaupun ia sudah berusia kepala empat, tubuhnya tetap tegap dan tinggi. Rio bahkan masih sangat sanggup untuk berlari jauh selama beberapa menit, dia mempunyai kaki jenjang yang tinggi.
“Aku ingin tahu mengapa salah satu dari kalian tidak ada yang melapor padaku tentang penembakan di siang hari.” Rio berucap dengan nada datar, matanya menatap bergantian pada wajah Luca dan Bowen yang berdiri tegap di hadapannya.
Kedua pria itu menautkan kedua tangannya di belakang tubuh dengan kepala sedikit agak menunduk.
“Tidak ada yang ingin menjawab?” Rio bertanya lagi.
Bowen mengangkat kepalanya dan menelan salivanya takut. “Boss, kami tidak punya akses untuk datang ketempat kerja Anda dan melaporkan kejadian kemarin siang.”
Rio mengangkat satu alisnya. “Ada banyak cara supaya kamu bisa melapor padaku. Seperti mengatakannya pada penjaga senior yang menjadi anak buahku, yang tentunya pasti kamu sudah tahu siapa orangnya, Bowen.”
Bowen kembali menelan salivanya kasar-kasar, ia menjawab lagi. “Tidak ada satupun dari mereka yang sedang berjaga di mansion. Jadi kami tidak bisa melapor selain menunggu Anda pulang.”
Rio memandang lamat pada wajah tegang Bowen, alasan itu masih bisa di masuk akal. Tetapi sedikit bingung saat mendengar Bowen bilang tidak ada satupun anak buahnya yang berada di mansion? Rio akan bertanya nanti dengan anak buahnya.
Karena memang seharusnya ada lima ataupun delapan anak buahnya yang berada di mansion untuk menjaga tempat itu tetap aman. Dan Bowen berkata bahwa mereka tidak ada di mansion kemarin siang? Ini patut di pertanyakan.
“Baiklah, kuterima alasanmu itu.” Rio kini mengalihkan pandangannya kearah Luca yang masih saja diam. “Kamu memang penjaga yang hebat, Luca. Terima kasih karena berhasil mengalahkan musuh dan menjaga putriku.” Rio lalu menatap kembali pada Bowen. “Terima kasih juga atas kerja kerasmu.”
Bowen mengangguk kaku.
Pria paruh baya itu membalik tubuh dan berjalan keluar dari parkiran yang berada di belakang mansion. Parkiran besar dan juga gudang besar untuk memarkirkan mobil-mobilnya yang lain.
Sepeninggalan pria paruh baya itu, Bowen mengembuskan napas lega dengan kedua mata terpejam. “Gila, dia memang memiliki aura yang menyeramkan.”
Luca mendongak, ia menatap kepergian Rio dengan tatapan datar. Pria itu bahkan tidak menanggapi perkataan Bowen sehingga rekan kerjanya itu menjadi kesal.
“Kenapa tadi kamu hanya diam saja, Luc? Sial, padahal seharusnya kamu membantuku menjelaskan perihal kejadian kemarin!” Bowen berceletuk kesal.
Luca mengalihkan tatapan matanya dari punggung tegap Rio ke arah rekannya. “Kamu ‘kan sudah menjelaskan semuanya.”
Bowen mendelik. “Kalau tadi aku diam saja, kamu pasti juga akan diam saja.”
Luca mengedikkan bahunya tak acuh, ia bersiap akan berjalan melewati Bowen untuk melakukan pekerjaannya yang lain, tetapi Bowen menahan bahunya.
“Apa?” tanya Luca dengan tatapan datar.
Bowen semakin kuat menahan bahu rekannya. “Kemarin aku melihat Nona Keshi memasuki rumah para penjaga dan berdiri di depan kamarmu. Apa yang sudah kamu lakukan, Luc?”
Luca mengangkat alisnya. “Apa yang aku lakukan? Tidak ada.”
“Bohong!”
“Nona Keshi hanya mengembalikan jas hitam milikku.” balas Luca.
Bowen terperangah, ia terdiam untuk beberapa detik sampai Luca menghempas tangannya dari bahu pria itu dengan kuat.
“Benarkah?” Bowen memastikan.
“Ya.” hanya satu kata saja yang Luca ucapkan, setelahnya ia segera berjalan melewati Bowen yang kini terpaku diam.
Bowen sedikit merasa bersalah karena dia sempat ingin menuduh yang tidak-tidak pada rekan kerjanya itu. Ia mengelus tengkuknya merasa bodoh karena melakukan hal barusan.
...\~\~\~...
Luca berjalan pelan menyusuri halaman belakang mansion di malam hari. Satu tangannya berada di saku celana jeansnya, sedangkan satu tangannya yang lain sedang memutar-mutar sebatang rokok yang belum menyala.
Pria itu memang bukan seorang pecandu rokok, tetapi ada hari-hari di mana ia merasa lelah bekerja dan pelariannya adalah merokok.
Satu tangan Luca yang tadinya terselip di saku celana kini sedang menarik keluar pematik besi bergambar naga dari saku tersebut. Luca menyalakan sebatang rokoknya dengan pematik lalu menaruhnya di antara bibir atas dan bibir bawahnya.
Merokok di tengah hawa dingin malam adalah kenikmatan yang jarang bisa Luca dapatkan. Pria itu mengerang lega karena akhirnya ia bisa merokok lagi untuk waktu yang cukup lama.
Srreak!
Luca menoleh cepat saat mendengar suara berisik dari belakang tubuhnya, matanya sedikit melebar mendapatkan sosok seorang gadis yang ia kenal tengah berdiri di belakangnya.
“Nona Keshi?”