"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Tersingkapnya kebenaran
Pagi itu terasa lebih berat bagi Fira. Meski langit cerah dan suasana sekolah tampak biasa saja, pikirannya terus dibebani oleh percakapan terakhirnya dengan Ezra. Ia masih memikirkan pesan misterius yang diterimanya beberapa hari lalu. Siapa yang mengirim pesan itu, dan mengapa mereka begitu ingin memperingatkannya tentang Ezra? Semua teka-teki ini membuat Fira semakin ragu, meskipun hatinya mulai merasa dekat dengan Ezra.
Hari-hari berikutnya, Fira mencoba menjaga jarak dari Ezra. Bukan karena dia tidak mempercayainya, tetapi karena ada sesuatu di dalam dirinya yang memintanya untuk berhati-hati. Setiap kali ia melihat Ezra di sekolah, ia merasakan ada yang berbeda—sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tatapan Ezra yang biasanya tenang kini tampak lebih dalam, seolah-olah dia menyimpan sesuatu yang tidak ingin dia bagi dengan siapa pun.
Suatu sore, ketika Fira sedang duduk sendirian di kantin, Dinda tiba-tiba duduk di sebelahnya. Wajahnya tampak serius.
“Fir, gue perlu ngomong sama lo,” kata Dinda tanpa basa-basi.
Fira menoleh, mendapati Dinda menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kenapa? Ada apa?”
Dinda menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Gue dapet kabar tentang Ezra lagi. Dan ini serius.”
Hati Fira berdegup lebih kencang. “Apa yang lo denger kali ini?”
“Lo inget nggak pesan misterius yang lo terima waktu itu? Gue baru tau kalau Ezra pernah terlibat masalah serius di sekolah lamanya. Gue dapet info dari anak-anak yang kenal sama dia dulu. Ezra nggak cuma pernah berantem sama guru atau murid—dia bahkan pernah hampir dikeluarkan karena masalah narkoba,” kata Dinda dengan nada tegas.
Fira terdiam. Kata-kata Dinda terasa seperti petir yang menyambar. Ini bukan hanya sekadar rumor tentang perkelahian atau ketidakadilan. Jika itu benar, maka Ezra adalah sosok yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.
“Lo serius?” Fira bertanya, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan.
“Gue serius, Fir. Ini bukan sekadar gosip. Gue tahu lo mungkin mulai suka sama dia, tapi lo harus hati-hati. Lo nggak tau siapa dia sebenarnya,” lanjut Dinda, menatap Fira dengan penuh perhatian.
Fira merasa tubuhnya menegang. Semua interaksi yang pernah ia lalui dengan Ezra tiba-tiba terasa dipertanyakan. Apakah senyum santainya hanyalah topeng? Apakah ada sisi gelap yang selama ini dia sembunyikan?
•••
Setelah percakapan dengan Dinda, Fira merasa tidak bisa hanya berdiam diri. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencari tahu kebenaran tentang Ezra. Ia merasa perlu mendengar langsung dari Ezra sendiri, meski hatinya dipenuhi keraguan. Sore itu, Fira mengirim pesan singkat kepada Ezra, mengajaknya bertemu di taman kota, tempat mereka pernah menghabiskan waktu berbicara. Ezra menyetujui dengan cepat.
Saat Fira tiba di taman, Ezra sudah menunggunya di bangku yang biasa mereka duduki. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang sulit ditebak.
Fira berjalan mendekat, duduk di sampingnya. Udara sore terasa sejuk, namun ada ketegangan yang jelas di antara mereka.
“Lo ngajak gue ketemuan karena ada sesuatu yang lo mau omongin, kan?” tanya Ezra, tanpa basa-basi. Tatapannya tajam, seolah dia sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran Fira.
Fira menarik napas dalam-dalam. Ia merasa sulit untuk memulai, tapi ia tahu bahwa ini harus dilakukan. “Ezra, gue denger sesuatu tentang lo… tentang masa lalu lo.”
Ezra tidak bereaksi. Dia hanya menunggu dengan tenang, seolah-olah dia sudah menduga arah pembicaraan ini.
“Orang-orang bilang… lo pernah terlibat masalah di sekolah lama lo. Bukan cuma soal perkelahian, tapi ada rumor tentang narkoba juga,” kata Fira, suaranya penuh dengan keraguan. “Itu bener, Ezra? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ezra terdiam beberapa saat, matanya menatap lurus ke depan. Ia tampak sedang mempertimbangkan jawabannya, seolah-olah sedang memutuskan seberapa banyak yang bisa dia ungkapkan.
“Apa lo percaya sama rumor itu?” Ezra akhirnya berbicara, suaranya rendah dan tenang.
Fira menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan balik itu. “Gue nggak tau, Ezra. Gue cuma… gue bingung. Gue nggak tau harus percaya yang mana.”
Ezra menoleh, menatap Fira dalam-dalam. “Fira, gue nggak pernah terlibat narkoba. Itu semua fitnah. Tapi, gue nggak bisa bohong kalau gue memang punya masa lalu yang nggak gampang. Gue pernah ada di posisi yang sangat buruk. Sekolah lama gue… mereka nggak peduli sama anak-anak kayak gue. Dan gue banyak ngelawan sistem di sana. Itu yang bikin gue dapet reputasi jelek.”
Fira mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Ezra. “Jadi, lo emang punya masalah di sekolah lama lo, tapi bukan karena narkoba?”
Ezra mengangguk. “Iya. Gue nggak akan bohong sama lo, Fir. Gue pernah diskors beberapa kali karena ngebela diri saat gue dibully, dan gue juga pernah dipermasalahin karena gue nggak pernah diem kalau ada ketidakadilan. Tapi masalah narkoba? Itu nggak bener.”
Fira menatap Ezra, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya, tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kejujuran. Meskipun cerita ini terdengar berat, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Fira percaya.
“Tapi kenapa orang-orang ngomongin lo kayak gitu?” tanya Fira, masih penasaran.
Ezra menarik napas panjang. “Karena gampang buat mereka ngejatuhin orang yang mereka nggak suka. Apalagi kalau lo beda. Gue nggak pernah cocok sama lingkungan sekolah lama gue, dan mereka seneng buat nyebarin cerita buruk tentang gue biar gue kelihatan makin buruk.”
Fira merasakan empati yang dalam untuk Ezra. Dia tahu betapa kejamnya lingkungan sekolah bisa menjadi. Dia sendiri pernah merasakannya ketika gosip tentang dirinya dan Rangga tersebar. Tapi di balik semua rasa empati itu, Fira masih menyimpan kekhawatiran yang sulit ia ungkapkan.
“Gue nggak tahu apa yang harus gue percaya, Ezra. Tapi gue pengen percaya sama lo,” kata Fira pelan.
Ezra tersenyum tipis, senyum yang penuh kesedihan. “Gue nggak maksa lo buat langsung percaya, Fir. Tapi gue harap lo bisa ngelihat gue sebagai diri gue yang sekarang, bukan berdasarkan cerita orang lain.”
•••
Setelah pertemuan itu, Fira kembali merasa bimbang. Ezra tampak jujur, dan ia bisa merasakan bahwa ada kebenaran dalam ceritanya. Namun, rumor dan peringatan dari teman-temannya masih bergema di pikirannya. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada lebih dari satu sisi dari setiap cerita, dan ia harus berhati-hati dalam membuat keputusan.
Selama beberapa hari berikutnya, Fira menjaga jarak lagi dari Ezra. Bukan karena dia tidak mempercayainya, tetapi karena dia butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Ia berbicara dengan Dinda, mencoba mendapatkan perspektif lain, namun tetap merasa kebingungan.
Di saat yang sama, Fira menyadari bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Hubungan yang mulai berkembang dengan Ezra berbeda dari apa yang pernah ia rasakan bersama Rangga. Jika dengan Rangga ia merasa nyaman dan aman, bersama Ezra, perasaannya lebih rumit—campuran antara ketertarikan, kekaguman, dan ketidakpastian.
Namun, satu hal yang Fira sadari adalah bahwa ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus-menerus berada di ambang keraguan. Entah ia percaya pada Ezra dan melanjutkan hubungan mereka, atau ia menjauh dan memilih untuk tidak terlibat lebih dalam.
Tapi sebelum Fira sempat membuat keputusan itu, sesuatu terjadi. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
•••
Di bab ini, Fira semakin dekat dengan kebenaran tentang masa lalu Ezra, namun masih ada keraguan yang menghalanginya. Keputusan besar menanti, namun sebelum ia bisa memutuskannya, konflik baru muncul. Bagaimana menurutmu kelanjutannya?