"Aku nggak punya pilihan lain." ucap adel
"Jadi kamu memang sengaja menjebakku?" tanya bima dengan nada meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Pagi itu, langit tampak cerah. Matahari bersinar hangat, menyinari halaman sekolah yang mulai dipadati murid-murid. Adel berjalan melewati gerbang sekolah dengan langkah malas. Wajahnya datar, tetapi matanya sesekali melirik ponsel di tangannya, menunggu pesan yang tak kunjung datang.
Adel bukan tipe siswi yang banyak bicara. Dia tidak memiliki banyak teman, dan bukan karena dia tidak menarik atau pintar, tetapi karena dia sendiri yang menjaga jarak. Dia hanya tertarik pada satu orang saja.
Walaupun begitu, Adel ini termasuk wanita yang sangat cantik, memiliki kulit yang putih bersih, dengan rambutnya dibiarkan digerai, selain itu, ia juga mempunyai senyuman yang sangat manis, bisa memikat hati siapapun lewat senyumannya saja. Adel ini salah satu top primadona disekolah, banyak laki-laki yang mengincarnya, namun Adel selalu menolaknya dengan berbagai alasan, walaupun ia menolak laki-laki, tetap ada saja perempuan dari geng lain yang tidak suka dengannya, Mereka menggangap Adel itu saingannya.
Benar saja, saat dirinya sedang melangkah, tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggilnya.
"Delia! Delia!" Panggil seseorang laki-laki tampan dari belakang.
Adel menghela nafas berat lalu berbalik. "A-ada apa sih, Rendi! Stop manggil-manggil gue dengan sebutan Delia! Gue gak suka! Lo udah sering gue tolak, tolong jangan berharap banyak sama gue! Karena gue gak akan mencintai Lo!" Tegas Adel menyerocos sebelum Rendi mendekatinya.
"Tapi." Belum selesai Rendi berbicara, Adel langsung melonggos pergi meninggalkannya.
"Ishhh, apaan sih dia itu! Udah tau aku gak suka! Masih aja ngejar-ngejar! Kayak gak ada cewek lain aja, lagian, aku juga cuma suka sama satu orang! Dan itu..." Pipi Adel seketika memerah bak kepiting rebus.
Begitu bel masuk berbunyi, Adel masuk ke kelas tanpa semangat. Pelajaran berlangsung seperti biasa, tetapi pikirannya mengembara. Dia teringat pagi tadi, saat Bima hanya mengucapkan selamat pagi dengan nada datar sebelum pergi ke kantor. Tidak ada perhatian khusus, tidak ada tatapan hangat seperti yang ia harapkan.
Saat istirahat, Adel duduk sendirian di taman belakang sekolah, menggulir ponselnya. Dia membuka pesan terakhirnya dengan Bima semalam.
"Jangan tidur larut." Pesan bima.
Itu saja. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada perhatian lebih. Adel menggigit bibirnya kesal. Baginya, Bima harusnya lebih peduli. Dia ingin mendapatkan perhatian lebih dari pria itu bukan sebagai ayah tiri, entah apa yang dia inginkan.
Tiba-tiba, seorang teman sekelasnya, Sinta, novi datang dan duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa sih, Del? Dari tadi ngelamun terus," tanya Sinta sambil menyedot minuman dinginnya.
"Nggak kenapa-kenapa," jawab Adel singkat.
Sinta mengangkat bahu. "Oh iya, lo tahu nggak? Ada gosip kalau asisten papa Lo itu, om Bastian, katanya deket sama sekretaris barunya."
Adel langsung menoleh. "Hah? Kenapa tiba-tiba ngomongin dia?"
Sinta terkikik. "Soalnya katanya dia tuh pinter banget deketin cewek. Jangan-jangan papa Lo juga bakal dijodohin sama orang di kantornya," goda Sinta.
Adel mencengkeram roknya erat. Dia benci mendengar kemungkinan Bima tertarik pada wanita lain.
"Om bima ganteng banget, sih, gue juga mau kalo modelan kayak dia mah!" Goda Novi angkat suara.
Adel menoleh kearahnya dengan raut wajah kesal, dia tak suka dengan teman-temannya yang menyukai bima.
"CK, jangan pernah suka sama ayah gue! Dia gak akan tertarik sama kalian!" Tegas Adel bangkit dari duduknya meninggalkan mereka berdua yang saling berpandangan.
Di Kantor.
Di sebuah gedung perkantoran yang megah, Bima duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan serius. Di depannya, Bastian, asisten pribadinya sekaligus sahabat dekatnya, pria yang biasa dipanggil Yayan tersebut berdiri sambil membawa beberapa dokumen.
"Pak, ini laporan untuk meeting sore nanti," kata Bastian sambil menyerahkan berkas.
Bima menerimanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Baik. Pastikan semuanya siap. Saya tidak mau ada kesalahan." Jawab bima formal, seperti biasa jika dirinya sedang dikantor, harus profesional.
Bastian mengangguk. "Tentu, Pak. Oh iya, ada beberapa staf yang bilang kalau Pak Bima terlalu sibuk akhir-akhir ini. Mereka menyarankan Bapak untuk sedikit lebih santai."
Bima menyandarkan tubuhnya di kursi. "Santai bukan prioritas saya, Bastian. Saya harus memastikan semuanya berjalan dengan baik."
Bastian tersenyum kecil lalu berdehem ketika bima sedang santai. "Bim, Lo mikirin sesuatu gak Atau mungkin ada yang lo pikirin di luar pekerjaan?" tanyanya hati-hati.
Bima meliriknya tajam. "Maksud Lo apaan, yan?"
Bastian mengangkat bahu. "Adel, misalnya? Gue ngerasa ada yang aneh loh sama di-" ucapan Bastian terpotong saat bima berdehem.
Bima terdiam sejenak. Dia jarang membahas masalah keluarga di kantor, tetapi Bastian memang terlalu jeli dalam membaca situasi.
"Adel masih muda. Terkadang dia terlalu… emosional, yan" kata Bima akhirnya.
Bastian tersenyum tipis. "Bim seriusan nih, gua kan pernah melihat cara Adel menatap Lo tuh. Rasanya beda banget, Bim, gue gak bohong, cara dia natap Lo itu lebih dari sekadar seorang anak kepada ayah tirinya."
Bima mendesah pelan. "Itu hanya perasaan anak remaja yang labil. Bastian. Udahlah, jangan kebanyakan teori, gue lagi pusing!"
Bastian tidak menanggapi, tetapi ekspresinya mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya yakin.
Malam harinya, Di Rumah.
Saat Bima tiba di rumah, suasana terasa tenang. Dia melonggarkan dasinya sambil berjalan menuju ruang tengah. Adel sedang duduk di sofa dengan wajah masam.
"Kamu belum tidur?" tanya Bima.
Adel menoleh, ekspresinya terlihat kesal. "Ayah kemana aja sih, bisa pulang telat."
Bima duduk di seberangnya. "Banyak pekerjaan."
Adel menyilangkan tangan di dada. "Ayah lebih peduli sama kantor daripada aku."
Bima menghela napas. "Bukan begitu, Adel. Ayah bekerja juga untuk masa depanmu."
"Tapi aku butuh ayah di sini, bukan cuma buat kerja! Aku kesepian terus yah! Apakah ayah tidak peduli sama aku? Ayah tidak sayang lagi sama aku?" suaranya mulai meninggi.
Bima menatapnya dengan tatapan tegas. "Adel, jangan mulai lagi deh."
Adel berdiri dan berjalan mendekat. "Kenapa sih, ayah selalu menjaga jarak? Aku ini bukan anak kecil lagi," ucapnya pelan tetapi penuh tekanan.
Bima merasakan jarak di antara mereka semakin menipis. Mata Adel menatapnya intens, penuh perasaan yang sulit diartikan.
"Adel, cukup." Bima berdiri dan menjauh, berusaha mengendalikan situasi. "Sudah malam. Tidurlah."
Adel mengepalkan tangannya. "Kenapa sih ayah selalu lari?"
Bima menutup mata sejenak, mengatur napasnya. Dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi bisa saja lepas kendali.
Tanpa menjawab, Bima berbalik dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Adel yang masih berdiri di ruang tengah dengan tatapan kecewa.
Di balik pintu yang tertutup, Bima menghela napas berat. Ini bukan pertama kalinya. Dan dia tahu, ini bukan yang terakhir.
"Dia kenapa sih selalu aja gitu? Jadi anak manja banget! Minta deket-deketan, minta inilah, itulah! Bikin gue pusing tujuh keliling ngadepin tingkahnya!" Gerutu bima berjalan kekamar mandi, membersihkan dirinya sendiri.
Tak lama bima keluar dengan handuk yang melilit dipinggangnya, tetesan air dari rambutnya mengenai lantai, sorot matanya tertuju pada pintu yang terbuka. Gegas bima berjalan dan menutup pintunya kembali,
"Siapa yang buka pintu ya?" Tanya bima heran.
"A-aku yah, aku yang buka pintu!" Balas seseorang yang sangat ia kenali, reflek bima menoleh kesumber suara, didapati Adel yang tengah menatap tubuhnya tanpa berkedip.
"Heh! Kamu ngapain ngeliatin tubuh ayah!" Tegur bima berkacak pinggang.
"Pe-perfect!" Ucap Adel tanpa sadar, ia menelan ludahnya susah payah, pipinya seketika memanas.
Bima mengerutkan keningnya, tak paham maksud Adel,
"A-adel tutup mata! Jangan gitu ngeliat ayah! Gak sopan!" Tegur bima lagi dengan suara lembut.
"E-eh!" Adel terbelalak. "Maaf ayah!" Gugup Adel menutup kedua matanya, sela jarinya sedikit terbuka ingin terus mencuri-curi pandang menatap roti sobek yang sangat menggodanya.
Bima menghela nafas berat, ia berjalan menuju lemari, mengambil baju dan menyuruh Adel untuk keluar, namun Adel tak mau, bima yang tak ingin ribut-ribut, hanya membiarkan dan menyuruhnya untuk berbalik saja, anak gadis itu menurut, bima memakaikan bajunya, melepas handuknya yang melilit dipinggangnya.
"Arghhhh!" Teriak Adel tiba-tiba membuat bima terkejut.
"Argggghhhh!" Bima ikutan berteriak sambil menutup tongkat sakti miliknya dengan handuknya
"Ka-kamu kenapa lihat-lihat!" Gugup bima dengan wajah memerah menahan malu.
Adel tak menjawab, sorot matanya tertuju pada bima, tatapannya sangat intens, pikirannya terngiang-ngiang pada benda milik bima yang besar dan panjang, pipinya memanas salah tingkah, bagian bawah miliknya tiba-tiba berdenyut dan basah.
"Ka-kamu mikir jorok ya?" Tanya bima dengan suara tinggi yang seakan tahu isi pikiran Adel.
Tanpa sadar Adel mengganguk.
"Kamu nakal del! Siapa yang ngajarin kamu gitu? Hah?" Bima marah sangking malunya kedapatan, baru kali ini benda miliknya terlihat orang lain, padahal selama ini ia selalu menjaganya dari siapapun kecuali dirinya sendiri.
"A-"
"Apa kamu mau bilang gak sengaja gitu?? Apakah dengan ketidak sengajaan itu, ayah akan membiarkan kamu untuk terus mengulangi perbuatan itu? Tidak del! Ayah malu! Ayah malu! Ayah kecewa sama kamu!" Bima mengusap kepalanya frustasi. Harga dirinya serasa diinjak-injak.
"Ma-maaf ayah, aku bener-bener minta maaf, tolong jangan marahin Adel lagi ya, Adel janji gak akan mengulangi kesalahan yang sama!" Adel berdiri dan memeluk bima erat, pria itu tersentak, jantungnya berdebar kencang, saat kedua gundukan yang terbungkus tanktop itu menyentuh dadanya.
"I-iya, iya, ayah mau maafin kamu!" Gugup bima mendadak canggung.
Adel mengurai pelukannya. "Makasih ayah! Adel janji gak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Ayah gak butuh janji, ayah butuh bukti!" Kata bima membuang mukanya kesamping, sedikit menjauhnya.
Adel mendekat, bima mundur ketakutan melihat tatapan Adel yang sangat berbeda. Seolah....
"D-del kamu mau ngapain?" Tanya bima keringat dingin mengucur dipelipisnya.
Adel mendongakkan kepalanya, mencondongkan tubuhnya kedepan, bima memejamkan matanya kuat-kuat menahan diri.
Adel tersenyum penuh arti. "A-ayah, apa yang harus Adel lakuin buat nebusin kesalahan Adel?" Tanya Adel memiringkan kepalanya.
Bima membuka matanya perlahan dan menggeleng.
"Maksudnya?" Tanya Adel menyeringai. Bima deg-degan seraya menahan nafasnya.
"Yah!" Panggil Adel lembut seraya memainkan jemarinya didada ayahnya, bima nervous.
"A-aku sebenarnya suka sama ayah!" Ucap Adel tiba-tiba.
"Hah?" Bima tak mengerti.
"Aku suka sama ayah!" Ucap Adel lagi, bima terkekeh lucu.
"Iya lah! Kamu suka sama ayah! Karena, ayah ini kan ayah kamu del! Sebagai anak perempuan kamu harus menyukai dan mencintai ayah kamu sendiri!" Jawab bima membuat Adel menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Awas, del, ayah mau makan dulu! Ayah juga sayang sama anak ayah sendiri!" Bima menepuk-nepuk kepala Adel dan berlalu meninggalkan Adel yang menatapnya dengan perasaan kecewa.