Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Acara Launching - 1
Rian mencoba bicara hati-hati. “Pak … mungkin Shanum tahu Bapak mencarinya. Tapi dia masih merasa takut atau bingung untuk menemui Bapak.”
“Ya, gimana Shanum tidak takut sama Pak Ervan, jika raut wajahnya saja terlihat kayak lihat musuh.” Ingin sekali Rian melanjutkan kata tersebut. Namun, sayangnya tertahan hanya sampai di tenggorokannya.
“Takut?” Suara Ervan agak meninggi. “Apa yang perlu ditakutkan? Saya nggak pernah menyentuh dia! Saya bahkan memberikan kebebasan. Dia yang pergi, bukan saya!”
“Tapi bukan berarti dia baik-baik saja, Pak,” jawab Rian pelan. “Kadang perempuan menyembunyikan luka karena terlalu lelah menjelaskannya. Ya, termasuk luka karena Den Renaldi tidak jadi menikahinya. Maaf Pak bukan maksud saya ikut campur.”
Ervan menoleh cepat ke arah sopirnya itu. Mengapa ucapnya mirip dengan Ikhsan. Matanya menyorot marah, tapi tak ada kata keluar. Ia memalingkan wajah lagi ke arah rumah. Kali ini, tatapannya kosong.
Ia teringat hari saat Shanum menandatangani surat perjanjian mereka. Hanya satu permintaan darinya: “Status sebagai istri, walau tidak dianggap.” Tak ada embel-embel, tak ada air mata, tak ada permohonan aneh.
Setelah itu? Sepi. Shanum menghilang seakan tak pernah meminta apa-apa. Dan, hatinya amat marah serta kecewa.
Tiba-tiba pintu pagar rumah terbuka. Seorang pria paruh baya masuk membawa kantong belanja. Itu Aiman, ayah Shanum.
Ervan langsung menunduk dalam mobil, menghindari pandangan. Ia melihat dalam diam saat Aiman berjalan pelan membuka pintu, lalu menghilang masuk ke dalam
“Pak?” Suara Rian membuyarkan lamunannya.
Ervan menutup matanya, menyandarkan kepala ke jok.
“Sudah. Kita pulang saja.”
Mobil kembali menyusuri jalan kota yang kini mulai padat. Tapi tidak seperti sebelumnya, pikiran Ervan jauh lebih kacau. Ia merasa seperti kalah. Bukan pada Shanum, tapi pada dirinya sendiri.
Ia menatap ponselnya sekali lagi. Kali ini, bukan untuk menghubungi. Tapi untuk menatap layar kosong, berharap ada nama itu muncul.
Namun layar itu tetap diam. Sama seperti Shanum. Diam, tapi meninggalkan jejak yang mulai merayap di relung hati Ervan.
...***...
Keesokan pagi, Shanum tampak segar dan bisa tersenyum manis pagi ini. Walau semalam ia ikutan lembur sampai jam 10 malam buat pesanan kue untuk acara hari ini. Tidak merasa lelah, apalagi ia sudah tinggal di kost'an, dan kemarin sore bibi dan anaknya mengantar barang-barangnya. Padahal Shanum tidak mau merepotkan bibinya tapi bibinya bersikeras untuk mengantarkan sekaligus ingin tahu tempat kost keponakannya.
Tapi, tidak hanya barang-barang milik Shanum yang dibawanya, rupanya bibinya menyetok makanan dan bahan makanan yang mudah dimasak Shanum. Sungguh Shanum merasa beruntung memiliki bibi yang amat perhatian, setidaknya ia tidak merasa hidup sebatang kara setelah diusir kedua orang tuanya.
“Shanum, Yogi, Tia, Rista, kalian berempat yang akan mengantar dan bertugas selama acara di tempat costumer. Usahakan untuk sigap saat bekerja di sana. Ini salah satu costumer yang sering langganan pesan kue. Dan, tolong jaga sikap kalian. Acara mulai jam 10, jadi pagi ini kalian harus sudah berangkat untuk menata kue-kue ini,” jelas Bu Ririn selaku pemilik toko kue.
“Siap Bu!” seru mereka berempat.
...***...
Satu jam kemudian, Shanum dan ketiga rekannya—Yogi, Tia, dan Rista—sudah tiba di lokasi acara. Sebuah klinik kecantikan megah yang berdiri di kawasan elite Pondok Indah, dengan fasad putih mengilap dan jendela-jendela besar berbingkai emas muda yang memantulkan cahaya matahari pagi. Di depannya, deretan pot tanaman tropis tertata rapi, memberikan kesan segar dan profesional.
Mobil box yang mereka tumpangi parkir tak jauh dari pintu masuk. Seorang staf klinik berseragam putih dengan name tag bertuliskan “Ninda” menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Selamat pagi. Mbak-mbak dari toko kue milik Bu Ririn, ya?” tanya Ninda, memastikan.
“Iya, betul, Mbak. Kami datang untuk set-up kue di acara launching produk hari ini,” jawab Tia, sambil tersenyum sopan.
“Silakan masuk. Area display untuk dessert table-nya ada di dalam, dekat dengan meja makanan utama. Kalian bisa mulai atur sekarang, nanti sebelum jam sepuluh semua sudah harus siap, ya,” jelas Ninda sambil mempersilakan mereka masuk.
Begitu melewati pintu kaca otomatis, Shanum hampir lupa napas. Interior klinik itu benar-benar di luar bayangannya. Lantai marmer mengilap, dinding dihiasi lukisan minimalis berwarna pastel, dan aroma lembut lavender yang menenangkan langsung menyapa indra penciumannya. Meja resepsionis berbentuk setengah lingkaran dengan lampu gantung berbentuk kristal di atasnya membuat ruangan tampak elegan sekaligus hangat.
“Wow,” bisik Rista, menoleh ke kanan-kiri. “Kayak masuk ke hotel bintang lima, bukan klinik.”
“Bener banget,” Yogi menimpali sambil menurunkan kotak-kotak dari mobil. “Nggak heran sih, biaya perawatannya pasti juga bintang lima.”
Shanum hanya tersenyum kecil. Ia memang tak banyak komentar, tapi pandangannya tidak bisa lepas dari tiap sudut ruangan. Klinik ini bukan hanya tempat perawatan, tapi seperti dunia yang lain—berbeda dari ruang-ruang sempit dan pengap yang sering ia tinggali belakangan ini.
Mereka pun segera bekerja. Meja display sudah disiapkan, lengkap dengan taplak satin warna champagne. Shanum dengan cekatan menyusun kue-kue mini tart, eclair, dan macaron dalam susunan bertingkat. Sementara Tia dan Rista menata bunga segar dan dekorasi kecil seperti papan nama menu serta lampu-lampu kecil yang bisa menyala.
“Shanum, kamu yang paling rapi nih kalau urusan susun-susun gini,” puji Tia sambil memindahkan toples cookies.
“Bukan rapi, tapi dia itu perfeksionis,” goda Rista, membuat mereka terkekeh pelan.
Shanum hanya tersenyum malu. “Kuenya udah cantik, jadi harus ditata cantik juga. Sayang kalau nggak maksimal.”
Tak terasa waktu terus bergulir. Jam sudah menunjukkan pukul 09.30 ketika suara musik instrumental mulai terdengar dari arah speaker. Beberapa staf sibuk mondar-mandir, mengecek sound system, menata kursi, dan memastikan seluruh ruangan dalam keadaan siap. Aroma kopi dan croissant hangat dari meja makanan berat juga mulai menguar.
Satu per satu tamu undangan datang. Wanita-wanita cantik berpakaian stylish, para influencer kecantikan, hingga beberapa pria berdasi yang tampaknya adalah partner bisnis. Semuanya menyambut suasana pagi dengan senyum dan suara tawa.
Shanum berdiri di belakang meja kue, memastikan tidak ada kue yang bergeser atau miring. Ia menepikan anak rambut yang jatuh ke dahi, diam-diam menenangkan detak jantungnya yang agak cepat. Mungkin karena gugup, atau karena ia tahu ini bukan acara biasa.
Dan saat itulah, langkah berirama tenang terdengar dari ujung lorong.
Seorang wanita melangkah masuk ke ruangan utama. Ia mengenakan setelan putih elegan, rambut panjangnya disanggul rapi, dan make up-nya nyaris tak terlihat—namun hasilnya justru memukau. Aura percaya diri dan keanggunan memancar dari setiap gerakannya.
“Selamat pagi semuanya. Terima kasih sudah hadir di acara launching produk terbaru kami, Radiance Glow Serum,” ucapnya dengan suara lembut namun berkarisma.
“Dia pasti Meidina, yang punya klinik ini,” bisik Tia ke Shanum sambil menyikut pelan.
Shanum mengangguk pelan. Pandangannya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Cantik, tenang, dan menguasai suasana. Di mata Shanum, Meidina seperti simbol perempuan sukses yang tak hanya memikirkan penampilan tapi juga cerdas dan tahu apa yang dia inginkan.
Bersambung ... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬