Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pria itu terdiam di tempat, membeku dengan perasaan tak menentu. Seketika membuat aliran darahnya memanas. Sadar dan takut Ajeng memergokinya tengah lancang menikmati tubuh setengah polosnya, pria itu segera berdehem keras untuk mencuri atensi istrinya bahwa bukan cuma dirinya yang ada di tempat yang sama.
"Kamu sengaja mau menggodaku?" tuduh Abi berusaha menutupi kegugupannya.
Ajeng langsung menoleh begitu suara lelaki itu menyambangi telinganya.
"Astaghfirullah ... sedari tadi Mas di sini?" tanya Ajeng setengah gugup. Tidak menanggapi lagi lantaran malu, langsung kembali ke kamar mandi setelah menarik baju yang sialnya dress terlalu pendek.
Abi langsung keluar menenangkan diri. Sepertinya malam ini otaknya sedikit terganggu gegara penglihatan tak terduga tadi.
Usai mengganti pakaian dengan yang aman dipandang mata, Ajeng keluar walau sebenarnya ia enggan dan masih malu atas insiden tadi.
"Lain kali jangan asal masuk ke kamar orang sembarangan. Bisa kan ketuk pintu dulu," tegur Ajeng greget sendiri.
Dia bukan penggoda walaupun dengan suaminya sendiri. Hatinya sudah menyiapkan tembok pembatas yang tinggi, sadar dengan statusnya yang nantinya akan merugikan diri sendiri, jadi ia benar-benar membentengi agar tidak sakit hati.
Bukannya marah, Abi malah tidak berniat untuk mendebat istri mudanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari indera penciumannya.
"Bau kamu enak, pakai parfum apa sih, bikin tenang buat tubuhku yang lagi sensitif sama harum-haruman," ujar pria itu merasa hawa yang menenangkan saat tak sengaja Ajeng melintas di dekatnya.
"Nggak pakai parfum apa-apa, sabun mandi. Jangan deket-deket!" peringat Ajeng menjaga jarak. Perempuan itu tengah menuang bakso yang tadi sempat dibeli ke dalam mangkuk. Hujan-hujan begini, sangat cocok makanan berkuah itu disantap.
"Kapan chek up ke dokter? Biar aku meluangkan waktuku untuk ikut melihat perkembangannya."
"Lusa, biar aku sendiri saja, nanti hasilnya akan aku kirim ke kamu," tolak Ajeng yang tentu saja tidak disetujui Abi.
"Mana bisa begitu, aku harus memastikan sendiri bahwa anakku sehat di perutmu," ujarnya tak mau dibantah.
Ajeng terdiam saat hendak menyuap bakso Abi terus memperhatikannya.
"Kenapa? Mau?" tawar perempuan itu kurang nyaman.
"Nggak, aku perlu kopi untuk menghangatkan tubuhku, ada?"
"Ada, di lemari dapur, lihat saja!" ujar perempuan itu melanjutkan acara bersantap ria.
"Jeng, mana? Nggak ada!" teriak Abi membuat perempuan itu mau tidak mau beranjak dari tempat duduk ternyamannya.
"Kemarin masih kok, coba permisi," ujar Ajeng meneliti lemari di konter dapur. Sedikit berjinjit mencari kopi susu sachet yang belum lama ia beli.
"Eh, eh, ngapain? Ini 'kan bahaya!" tegur Abi tak setuju saat Ajeng beranjak mengambil kursi kecil akan digunakan untuk tumpuan kaki.
"Nggak juga, ini membuat aku sedikit lebih tinggi," jawabnya tenang seraya menyodorkan satu sachet kopi ke tangannya.
Abi tak kunjung mengambil, membuat keduanya saling menatap dalam diam. Ajeng menarik tangannya kembali lalu menyeduhnya untuk Abi layaknya istri meladeni suami.
"Hujannya deras banget, kamu tidak takut sendirian?"
"Sudah terbiasa," jawab Ajeng santai. Menghabiskan isi mangkuknya lalu beranjak ke dapur membersihkan sisa yang kotor.
"Kalau sudah selesai urusannya, kamu sebaiknya pulang. Ini sudah malam dan aku butuh istirahat."
"Besok aku akan kembali, kalau pagi sering nggak enak badan jadi mungkin agak siang saja kita ke dokter."
"Sudah aku bilang biar sendiri saja, nanti has—"
"Apa hak kamu melarangku, di sini aku yang memberi keputusan atas bayi itu!" sentak Abi cepat. Membuat Ajeng terdiam. Perempuan itu hanya tidak nyaman ketika Abi terlalu memperhatikan dirinya. Walaupun berniat untuk bayinya, tetap saja perlakuan itu melewati interaksi yang membuat perasaannya tidak nyaman.
"Jangan lupa diminum susunya, vitamin dan juga makan makanan yang sehat. Kalau butuh sesuatu bisa katakan langsung padaku. Aku akan memberikan yang terbaik untuk bayi itu," pesan pria itu sebelum akhirnya pulang.
Sampai di rumahnya, Abi menemukan Vivi di ruang tengah masih terjaga. Sepertinya istrinya sengaja menunggunya.
"Dari mana?" todong Vivi dengan muka kesal.
"Kerja lah, aku kan sudah bilang pulang terlambat, untuk tidak menungguku."
"Owh ya ... kerja kamu bilang, kata Anto kamu sudah pulang sedari sore. Kamu bohongi aku kan Mas?"
"Pulang kerja jenguk Ajeng bentar, aku merasa harus mengontrol perkembangan calon anak kita."
"Mengontrol perkembangan anak kita, atau sengaja menjenguk ibunya?" semprot Vivi jengkel.
"Kamu kenapa sih, baru pulang langsung marah-marah. Di sana juga cuma sebentar."
"Sebentar tetap saja kamu bohong. Aku nggak suka, kamu terlalu berlebihan menyikapi kehamilan Ajeng. Atau jangan-jangan kamu suka sama perempuan murahan itu."
"Maksud kamu apa, sih? Stop menjudge orang lain, walaupun kita punya ikatan yang sah, Ajeng tidak pernah menggodaku atau berniat merayuku."
"Apa kamu bilang, ikatan yang sah, maksud kamu apa, Mas?" sentak Vivi tak terima.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik