Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Dekapan Hangat
“Tidurlah, Nayla… Aku akan terus di sini. Menjagamu. Kau tak perlu khawatir lagi,” bisik Leon pelan.
Ia berkata sambil membelai rambut Nayla yang kini telah tertidur pulas. Wajah gadis itu tampak damai, meski sisa trauma masih membekas. Leon memandangi wajah Nayla dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara iba, marah, dan tekad yang membara.
Peristiwa tadi meninggalkan luka yang mendalam, bukan hanya bagi Nayla, tapi juga bagi Leon. Rasa bersalah dan amarah membuatnya bertekad, apapun yang terjadi, ia akan selalu berada di sisi Nayla, menjaga dan melindunginya, meskipun tubuhnya dalam keterbatasan.
Setelah yakin Nayla benar-benar terlelap, Leon perlahan menggeser posisi tubuhnya dan kembali ke kursi roda. Ia bergerak pelan menuju pintu. Sebelum keluar dari kamar, ia menoleh sekali lagi ke arah gadis yang sedang tidur itu, lalu dengan hati-hati menutup dan tidak lupa mengunci pintu dari luar.
Tujuannya jelas, ruang bawah tanah.
Amarah masih menggelegak dalam dadanya. Apa yang ia lakukan tadi belum cukup. Mengingat bagaimana Dika memperlakukan Nayla, dan bahkan berani merendahkannya, membuat darah Leon mendidih kembali.
Setibanya di ruang bawah tanah, Leon melihat Dika sudah tak berdaya. Pria itu duduk terikat di kursi logam, dengan wajah lebam dan tubuh penuh luka. Kaki kirinya tampak tertekuk tak wajar, hasil dari pukulan Leon sebelumnya. Keadaannya berantakan, jelas paman Juan dan anak buahnya tidak tinggal diam.
Leon menghampiri dengan tatapan tajam. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyala penuh kemarahan.
“Berani-beraninya kau menyentuh Nayla. Apa sebenarnya maksudmu, hah?” tanya Leon dengan suara berat, menahan amarah yang nyaris meledak.
Dika mendongakkan kepala perlahan, menatap Leon dengan mata merah dan penuh kebencian.
“Aku mencintainya... dan aku ingin memilikinya,” jawab Dika dengan nada yang nyaris seperti desisan.
Leon tersenyum sinis. “Cinta? Kau pikir dengan memaksa, dengan menyentuhnya seperti itu, dia akan mencintaimu?” Leon menggerakkan kursi rodanya mendekat. “Kau pikir, dengan memperkosanya, dia akan jadi milikmu?”
Dika tertawa kecil, meski terdengar lebih seperti erangan sakit. “Aku tidak peduli dia mencintaiku atau tidak... Yang penting, aku bisa memilikinya.”
Plak!
Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Dika, membuat kepala pria itu terlempar ke samping. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Dika mengerang pelan, tubuhnya gemetar karena sakit.
Leon menarik napas dalam. “Sakit, ya? Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakitnya Nayla kalau aku tidak datang tepat waktu.” Ia menatap Dika dengan sorot dingin yang mengintimidasi. “Dan aku bersumpah, mulai hari ini... kau tidak akan pernah bisa menyentuh, melihat, apalagi mendekati Nayla lagi.”
Setelah mengucapkan kata-katanya, Leon memutar kursi rodanya. Ia bersiap meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menatap anak buahnya dan berkata tenang namun tegas.
“Lakukan apa yang harus kalian lakukan.”
“Baik, Tuan,” jawab mereka serempak.
Leon kemudian meninggalkan ruang bawah tanah. Ia tak peduli apa yang akan terjadi pada Dika setelah ini. Yang penting, lelaki bejat itu tak akan pernah mengganggu Nayla lagi.
Sesampainya di atas, Leon kembali masuk ke kamar Nayla. Ia menemukan gadis itu masih tertidur lelap, tubuhnya meringkuk di balik selimut. Melihat Nayla bisa tidur setelah kejadian mengerikan tadi adalah kelegaan tersendiri bagi Leon.
Dengan hati-hati, Leon naik ke tempat tidur. Ia berbaring di sisi Nayla, memastikan tubuhnya tidak menyentuh terlalu dekat agar tidak membuat gadis itu terganggu. Baru saja ia hendak menarik selimut dan mengelus rambut Nayla, gadis itu tiba-tiba menggeliat gelisah.
“Jangan... jangan lakukan itu... aku mohon...” lirih Nayla dalam tidurnya. Suaranya gemetar dan penuh ketakutan.
Refleks, Leon langsung menarik Nayla ke dalam pelukannya. Ia mendekap tubuh mungil itu erat, tangannya mengelus lembut punggung Nayla
“Sssshhh... tenanglah, Nayla... Aku di sini. Aku akan menjagamu. Tak ada yang bisa menyakitimu lagi... Tidurlah, aku tak akan pergi ke mana-mana,” bisik Leon menenangkan.
Nayla yang tadinya gelisah perlahan mulai tenang. Napasnya kembali teratur, tubuhnya mulai rileks dalam pelukan Leon. Ia meringkuk, mencari kenyamanan dari kehangatan dada pria itu. Sementara Leon terus mengusap punggungnya perlahan, sabar, dan penuh kasih.
Malam itu, Nayla tidur dengan damai dalam dekapan pria yang berjanji akan menjaganya. Pelukan itu terasa begitu hangat, membuat rasa takut menghilang, digantikan rasa nyaman dan aman.
Dan Leon, matanya pun mulai ikut terpejam. Tangannya tetap memeluk Nayla tanpa bergerak sedikit pun. Ia akan tetap di situ, menjaga satu satunya gadis yang kini mulai mengisi ruang hatinya.
Hingga pagi menjelang, posisi mereka tak berubah. Seolah dunia terhenti hanya untuk mereka berdua.
Nayla perlahan membuka matanya. Kesadarannya kembali, tetapi tubuhnya terasa terbatas. Ia mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi. Ternyata, tubuhnya dipeluk erat oleh seseorang, dan itu membuat napasnya sedikit sesak.
Ketika kepalanya menoleh pelan, matanya langsung membulat. Sesosok pria berada begitu dekat dengannya. Tapi rasa panik itu seketika sirna saat ia menyadari bahwa itu adalah Leon. Pria itu masih terlelap, wajahnya tampak tenang, bahkan memancarkan pesona meski dalam tidur.
Nayla terdiam, mencoba menenangkan degup jantungnya. Pelukan Leon terasa begitu erat, seolah pria itu tak ingin melepaskannya sedetik pun. Ia bahkan nyaris tak bisa bergerak.
Saat itu, bayangan kejadian semalam kembali menyergap ingatannya. Lisa menyuruhnya mengambil kado di kamar, lalu tiba-tiba Dika muncul dan menyergap nya. Jantung Nayla berdegup kencang. Ketakutan itu kembali menghantui, meski tubuhnya kini dalam dekapan hangat Leon.
Nayla belum tahu bahwa Dika sudah ditangkap dan dihajar habis-habisan oleh Leon dan orang-orang kepercayaannya. Ia tidak tahu bahwa pria yang mencoba menyakitinya kini takkan bisa lagi mendekat, apalagi mengancamnya.
Perlahan, Nayla menatap wajah Leon. Pria itu masih terlelap, namun auranya begitu kuat. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Bahkan dalam tidur pun, karismanya tak bisa disangkal.
Entah kenapa, tangan Nayla terulur dengan sendirinya. Jarinya menyentuh lembut rahang kokoh pria itu, mengusapnya perlahan.
"Pria ini begitu sempurna," batin Nayla. "Kalau saja dia bisa berjalan, aku yakin pesonanya akan semakin tak terbendung. Tidak akan ada wanita yang bisa menolaknya, termasuk aku..."
Matanya memanas mengingat bagaimana Leon dengan keterbatasannya tetap datang menyelamatkan dirinya. Ia melihat sendiri bagaimana Leon jatuh dari kursi rodanya namun tetap berusaha melawan Dika. Nayla merasa sangat berhutang budi pada pria ini.
Dengan suara hampir tak terdengar, Nayla berbisik, “Terima kasih, Tuan… Berkat Tuan aku selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya aku jika Tuan tidak datang.”
Nayla masih menatap wajah Leon, tak ingin mengalihkan pandangannya. Tapi kemudian,,,
"Jangan terlalu lama memandangi wajahku. Nanti kamu tidak bisa berpaling," suara berat Leon terdengar pelan, masih dengan mata tertutup.
Nayla langsung terkejut. Tangannya reflek ditarik, wajahnya memerah seketika. “T-Tuan… saya pikir Tuan masih tidur…”
Leon hanya tersenyum kecil tanpa membuka matanya, kemudian mempererat pelukannya, membuat Nayla semakin tak bisa bergerak.
“Tidurlah lagi. Kita masih butuh istirahat,” ucap Leon dengan tenang, kembali memejamkan mata.
“Hhmmm,,, Tuan ini sudah pagi. Saatnya saya bangun,” sahut Nayla pelan, masih dengan pipi memerah.
“Kenapa buru-buru? Ini masih terlalu pagi,” jawab Leon malas. Ia mengeratkan pelukannya, menahan Nayla tetap dalam dekapan.
Nayla canggung, mencoba melepaskan diri dengan pelan. Tapi baru saja ia bergerak sedikit, Leon membuka matanya dan menatapnya serius.
“Dengarkan perintahku. Jangan bangun, dan jangan keluar dari kamar ini sebelum aku izinkan. Kita masih perlu istirahat. Nanti saja kita turun ke bawah,” ucapnya dengan suara dalam, penuh ketegasan.
Nayla menelan ludah, merasa tak kuasa membantah. “Baik, Tuan... Tapi bisa tidak kalau tidurnya tidak perlu peluk-peluk seperti ini?” tanyanya dengan suara nyaris seperti bisikan karena malu.
Leon tersenyum simpul, lalu berkata singkat, “Tidak bisa.” Dan ia kembali menutup matanya.
Nayla hanya bisa menghembuskan napas panjang, bergumam kecil tak jelas karena malu. Tapi tak bisa berbuat banyak. Ia pasrah, membiarkan dirinya tetap dalam pelukan pria yang kini memberinya rasa aman yang tak bisa dijelaskan.
Sementara itu, Leon merasa puas. Ia bisa memeluk Nayla kembali dan merasakannya tetap di sisinya. Ia tak peduli pada gumaman kecil Nayla, yang penting gadis itu masih bersama dalam dekapannya, dan itu cukup untuk membuat pagi ini menjadi sempurna.
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
lanjut bacanya
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor