NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 — Jalan Panjang Menuju Akad

Pagi itu, Zahwa bangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, jantungnya berdetak lebih cepat dari hari-hari lalu. Mungkin karena hari ini ia akan bertemu Pak Arham di kantor notaris. Setelah melalui hari-hari penuh tekanan, ada secercah cahaya yang mulai membuka tirai gelap itu.

Setelah menyiapkan sarapan untuk keluarga mertuanya, Zahwa mengambil jilbab panjang warna mocca kesayangannya. Ia selalu memilih pakaian yang menenangkan hati, syar’i, rapi, dan bersih, karena dari situlah ia merasa lebih kuat untuk menghadapi dunia.

Farhan sudah berangkat lebih dulu untuk bekerja, hanya sempat mengirim pesan,

"Semangat ya, Wa. Aku percaya kamu bisa."

Zahwa tersenyum kecil membaca pesan itu.

Andai setiap hari Farhan selalu begini… pikirnya pelan.

---

Di kantor notaris, Zahwa disambut Pak Arham. Dari dekat, lelaki itu tampak berusia hampir 60 tahun. Posturnya tegap, suara berat, wajahnya seperti selalu serius, hampir terlihat seram bagi orang yang baru bertemu.

Namun ketika ia menyambut Zahwa, matanya berubah lembut.

“Silakan duduk, Bu Zahwa,” katanya.

“Terima kasih, Pak.”

Proses pun dimulai. Notaris membacakan satu per satu dokumen, sertifikat yang harus dialihkan, bukti ahli waris, dan serangkaian formulir yang tampaknya tidak ada habisnya.

Setiap berkas membutuhkan tanda tangan semua ahli waris. Dan setiap tanda tangan membutuhkan keterangan tambahan, bukti identitas, fotokopi KK, bahkan sampai surat keterangan dari polsek.

Zahwa harus bolak-balik menghubungi keluarga Farhan. Ada yang sulit dihubungi, ada yang menunda, ada pula yang merasa tidak penting hadir.

Berjam-jam ia duduk, menunggu berkas yang harus difotokopi ulang, menunggu notaris memeriksa detail kecil.

“Maaf Bu, ini ada bagian yang harus dilengkapi lagi. Kita harus ke polsek untuk surat catatan ahli waris,” kata staf notaris.

Zahwa menatap map dokumennya yang menumpuk seperti gunung kecil.

Tenggorokannya tercekat.

Pak Arham menatapnya.

“Nduk… kamu kuat ya?” katanya tiba-tiba.

Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa membuat air mata Zahwa hampir jatuh.

Ia mengangguk perlahan.

“InsyaAllah Pak… saya coba jalani.”

Pak Arham menghela napas panjang, lalu berkata pelan,

“Istri saya dulu juga begitu…beliau rahimahullah. Gigih. Kalau sudah pegang sesuatu, harus selesai. Saya lihat cara kamu menghadapi semua ini… persis seperti beliau.”

Zahwa terdiam.

Ia tidak tahu harus menjawab apa selain mengulum senyum kecil yang lembut.

---

Beberapa hari berikutnya terasa seperti maraton panjang. Zahwa pergi ke kelurahan ,lanjut ke polsek, mengurus surat keterangan ahli waris,hingga membuat berita acara perkara,melakukan verifikasi berkas, memotret dokumen, print ulang, dan bolak-balik ke notaris.

Di rumah, Bu Nina terus bertanya,

“Kapan jadi, Zahwa? Kapan kita terima uangnya?”

Abang pertama Farhan pun berkali-kali menelpon, menekan, menyuruh Zahwa mempercepat proses.

Sementara Abang kedua hanya menjadi gema, mengikuti setiap kata Abang pertamanya.

Tidak ada yang tahu betapa kaki Zahwa pegal berpindah tempat, betapa matanya sembab karena kurang tidur, atau betapa ia harus menahan air mata saat berdesakan di kendaraan umum.

Namun setiap kali ia berkecil hati, ia mengingat satu hal:

Janji Farhan bahwa mereka akan pindah rumah.

Janji yang membuatnya bertahan.

---

Sampai akhirnya, hari itu datang. Hari akad.

Zahwa duduk di ruang pertemuan kantor notaris, mengenakan gamis hitam polos dan jilbab krem lembut. Wajahnya tampak tenang walau dadanya berdebar hebat.

Notaris mulai membacakan akta jual beli. Pak Arham menandatangani lembar demi lembar, lalu menyerahkan giliran kepada Zahwa.

Tangan Zahwa sempat bergetar.

Setiap tanda tangan terasa seperti lembar yang mencabut beban dari punggungnya.

Ketika notaris mengucapkan,

“Dengan ini, proses transaksi ruko dinyatakan selesai dan sah,”

napas Zahwa seperti baru kembali ke tubuhnya.

Alhamdulillah.

“Semoga berkah ya, Nduk,” kata Pak Arham sambil menyalami Zahwa.

“Amin… terima kasih banyak, Pak,” jawab Zahwa dengan mata berkaca-kaca.

---

Sore harinya, keluarga Farhan berkumpul di ruang tamu. Di atas meja, map biru berisi print out dana masuk dan perhitungan hak waris sudah rapi disusun Zahwa.

Zahwa berdiri di tengah ruangan, menjelaskan dengan suara hati-hati:

“Berdasarkan syariat Islam… ibu mendapat bagian 1/8. Anak laki-laki dua bagian, anak perempuan satu bagian. Saya sudah hitung semuanya. Seharusnya pembagiannya seperti ini.”

Ia menunjukkan perhitungan.

Namun belum selesai ia bicara, Bu Nina mengangkat tangan.

“Tidak usah pakai-pakai syariat segala.”

Wajahnya tampak tegang, namun bukan marah, lebih seperti takut.

“Dibagi rata saja. Biar Rita juga dapat bagian yang sama.”

Zahwa terdiam.

Setelah semua yang ia lewati… setelah semua perhitungan yang ia jalankan dengan takut-takut salah… kalimat itu seperti menampar dadanya.

Ia mencoba menjelaskan dengan lembut,

“Tapi Bu… dalam Islam, ada aturannya. Tidak bisa sembarangan—”

“Zahwa…”

Bu Nina memotong, matanya berkaca-kaca,

“Rita itu… anak yang paling butuh. Saya tidak mau dia kekurangan. Biar dibagi rata saja. Ibu mohon.”

Zahwa membisu.

Abang pertama dan kedua langsung mengangguk tanda setuju tanpa memikir panjang.

“Betul, dibagi rata saja,” kata Abang pertama.

“Biar adil.”

Adil.

Kata itu menusuk lebih dalam daripada teriakan.

Namun Zahwa tahu, ini bukan saatnya melawan.

Ia hanyalah seorang menantu.

Dan ia sudah terlalu lelah untuk memperpanjang perdebatan.

“Baik, Bu…” katanya lirih.

Hatinya remuk.

Tapi wajahnya tetap teduh.

Ia membagikan uang sesuai permintaan.

Senyap memenuhi ruangan, dan entah kenapa Zahwa merasa dirinya semakin mengecil, seperti tidak ada suaranya, tidak ada perannya, meski dialah yang berjuang keras dari awal.

---

Malam itu, setelah semua orang kembali ke kamar masing-masing, Zahwa duduk sendiri di ruang tamu.

Ia menggenggam map berisi salinan akta jual beli.

Air matanya jatuh tanpa suara.

Rumah itu telah terjual.

Bukan hanya ruko yang terjual…

Tapi juga sebagian besar tenaganya.

Namun ada secercah hal yang menenangkan:

Proses sudah selesai.

Ruang bagi harapan selanjutnya telah terbuka.

Dan entah kenapa, meski hari ini menguras segalanya…

Zahwa tersenyum kecil.

“Alhamdulillah… satu langkah selesai,” bisiknya.

Entah bagaimana pembagian itu disikapi keluarganya, entah bagaimana janji Farhan nanti. Tapi Zahwa yakin, setiap usahanya tidak mungkin luput dari pandangan Allah.

Dan malam itu, ia berdoa panjang sekali, lebih panjang dari biasanya.

Doa seorang wanita yang tidak pernah menyerah, meski sering disalahpahami.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!