Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Warisan dari Kedalaman (Revisi)
Dua minggu berlalu.
Bagi Murid Luar seperti Li Wei, dua minggu berarti latihan kuda-kuda sampai kaki gemetar dan menghafal mantra dasar sampai lidah kaku.
Namun bagi Ling Tian yang bekerja di Lembah Belakang, dua minggu ini terasa seperti liburan musim panas dengan fasilitas “all you can eat”.
Perubahannya mencolok.
Kulit pucatnya kini bersih dan bercahaya halus seperti porselen yang dipoles. Ototnya tidak membengkak kasar. Justru padat, lentur, dan terdefinisi rapi seperti kawat baja yang dibungkus sutra. Tubuhnya terasa ringan, namun penuh kekuatan yang siap meledak kapan saja.
Saat ini, Ling Tian sedang menyelam.
Bukan sekadar di permukaan kolam pedang, melainkan hingga dasar Danau Pencuci Pedang di kedalaman sepuluh meter, titik paling pekat racun logam dan tekanan air berada.
Di bawah sini gelap gulita, namun mata Ling Tian telah memiliki lapisan energi tipis yang membuat kegelapan tampak seperti senja.
Pedang-pedang di dasar danau berbeda dari tumpukan di permukaan. Yang tenggelam di sini adalah pedang para Senior yang telah berkarat puluhan tahun. Aura mereka kacau, ganas, dan metalnya telah bermutasi oleh waktu dan Qi.
“Kiri,” suara Tuan Kun bergema langsung ke dalam kesadaran Ling Tian.
“Bukan kiri itu, Bodoh. Kiri yang satunya lagi. Ya, di balik batu lumut.”
Ling Tian berenang mendekat. Di antara lumpur dan pedang-pedang patah, ia melihat sebuah benda yang tampak… berbeda dan terasa salah.
Sebuah batang logam berwarna hitam pekat.
Bilahnya retak-retak, gagangnya hancur, dan geriginya patah seperti gergaji tua. Tidak ada aura, tidak ada pancaran energi… namun justru benda itu terasa hening.
Jika pedang lain menyisakan amarah atau penyesalan, benda ini menyisakan…
Kesunyian.
Ling Tian meraih logam tersebut.
BRUUK!
Berat. Sangat berat. Untuk benda sepanjang satu lengan, beratnya minimal lima puluh kilogram. Ini bukan besi biasa, ini Black Iron yang terkompresi alami.
Ling Tian menjejak dasar danau, lalu melesat ke permukaan.
BYAAAR!
Ia mendarat ringan di tepi danau, tanpa ngos-ngosan meski baru menahan napas dua puluh menit.
“Benda rongsokan apa ini?” Ling Tian melempar batang itu ke tanah. “Tukang loak pun muntah melihatnya.”
Tuan Kun muncul sambil mengitari benda itu dengan mata berbinar.
“Bocah, lihat bukan dari rupanya. Rasakan ‘rasa’-nya.”
Ling Tian menaruh telapak tangannya di atas logam tersebut. Ia membuka Gerbang Energi Purbanya sedikit.
Dan dunia langsung meledak.
Memori dari Hujan Malam
Hujan deras mengguyur malam yang gelap gulita. Di tengah genangan yang berkilat oleh kilat, sepuluh tetua sekte berdiri membentuk lingkaran. Mereka mengepung satu orang, seorang pria berjubah hitam yang tidak bergerak sedetik pun.
Pria itu tidak membawa pedang dengan ukiran megah, yang ia genggam hanyalah batang besi kusam.
Tak ada liukan indah.
Tak ada seni bela diri yang memukau.
Hanya satu tusukan lurus.
Keheningan menggantung, angin-pun enggan berbisik.
Satu kilatan.
Leher seorang tetua terbelah. Darah menyembur deras.
Mayatnya bahkan belum sempat menyentuh tanah ketika dua tetua berikutnya menyusul—tumbang tanpa sempat memahami apa yang terjadi.
Semua berlangsung dalam satu detak jantung.
“Hah…!”
Ling Tian menarik tangannya sambil terengah pelan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Itu bukan sekadar memori aura.
Itu warisan teknik.
“Siapa pemiliknya?” tanya Ling Tian.
“Seorang pembunuh, mungkin,” jawab Tuan Kun, suaranya lebih serius dari biasanya. “Atau murid dari sekte sesat. Gaya ini bukan gaya sekte ortodoks. Tidak ada cahaya, tidak ada kehormatan, hanya efisiensi dan kematian.”
Ia menatap Ling Tian dalam-dalam.
“Teknik ini bukan untuk orang berhati lurus. Teknik ini untuk orang yang ingin hidup.”
Ling Tian tersenyum tipis.
“Kebetulan itu keinginanku.”
“Makanlah,” kata Tuan Kun. “Bukan besinya, tapi pemahaman-nya.”
Warisan Hantu
Ling Tian duduk bersila, meletakkan besi hitam itu di pangkuannya.
Kabut hitam tipis muncul dari tubuhnya, menyelimuti logam tersebut.
Gerbang Energi Purba berputar tenang; bukan logam yang ia makan, melainkan jejak tekad dan pembunuhan dari pemiliknya terdahulu.
Satu jam berlalu.
Dua jam.
Saat kelopak matanya terangkat, langit telah disapu warna jingga yang lembut.
Ling Tian berdiri dan mengangkat besi hitam itu dengan satu tangan. Berat lima puluh kilogram kini terasa seperti satu kilogram.
Batu besar setinggi manusia berdiri di depannya.
Tanpa pose.
Tanpa formalitas.
Napasnya merendah, bahunya mengendur.
Kemudian—ia bergerak.
Sreeet.
Hampir tanpa suara.
Satu kedipan kemudian, ia sudah berdiri di belakang batu.
KRAK.
Batu itu terbelah dua, halus seperti dipotong laser, bukan dihantam besi tumpul.
Ling Tian menatap batang besi itu… lalu tersenyum.
“Tusukan Tanpa Bayangan, hm? Karena kau jelek… aku panggil saja ini ‘Tusukan Hantu’.”
“Lancang,” komentar Tuan Kun. “Tapi tidak salah.”
Telinga Ling Tian tiba-tiba berkedut.
Langkah kaki terdengar banyak. Riuh, berlapis-lapis, bergema dari arah jalan setapak.
“HEI! Babu! Keluarlah!”
Suara itu… cempreng, sombong, dan menyebalkan.
Li Wei.
Dan ia tidak sendirian.
Ling Tian menyembunyikan besi hitam di balik tumpukan logam, mengusap lumpur ke wajahnya agar terlihat kotor dan lemah seperti dua minggu lalu.
Namun matanya, matanya kini setajam malam.
“Tampaknya,” gumam Ling Tian, “aku mendapat sasaran pertama untuk uji coba.”