Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEMPAT TINGGAL BARU ASHA
Asha beringsut turun dari mobil, begitu pintunya dibuka dan menapak perlahan ke halaman rumah Adit.
Rumah itu cukup besar, tampak megah namun tetap hangat. Cat krem dan cokelat muda berpadu dengan batu alam di fasad, sementara jendela-jendela besar memantulkan sinar matahari sore yang mulai merunduk. Halaman depan luas, ditata rapi dengan bunga-bunga kecil di tepi jalan setapak dan beberapa pohon bonsai yang terawat apik, seolah menyambut setiap tamu yang datang.
Asha menatap pintu utama dari kayu solid, dengan pegangan besi dekoratif yang menonjolkan kesan elegan. Ia menarik napas sejenak sebelum melangkah naik ke anak tangga menuju teras yang luas.
“Selamat datang di rumahku,” Ucap Adit lembut sambil membukakan pintu rumah untuk Asha. Suaranya hangat, menenangkan, dan diiringi senyum yang membuat suasana seketika terasa lebih dekat.
Asha tersenyum haru, matanya sedikit berkilat saat menatap Adit. Kini ia melihat lelaki itu bukan sekadar teman atau kekasih, tapi suami, pasangan hidup yang selama ini selalu menjadi sandaran dan penguatnya. Jantungnya berdebar, bukan karena gugup, tapi karena perasaan hangat yang merayap di dada—perasaan diterima, dicintai, dan benar-benar berada di rumah, di samping Adit.
"Gak usah lebay!" Protes Maya dibelakangnya. "Ini kan bukan kali pertama kamu ajak dia ke rumah."
"Iya!" Tambah Ratna. Langkahnya pertama masuk ke dalam rumah, lalu bergerak menghadap keduanya. "Lagipula, ini kan rumah Mama. Bukan rumah kalian berdua!"
Adit terdiam, rasanya seakan seluruh kata-kata Ratna menelan napasnya. Jantungnya berdebar, tapi bukan karena takut—melainkan karena perasaan frustrasi yang sulit diungkapkan. Ia menatap Ratna, berusaha menahan emosi, sementara Asha di sisinya menggenggam tangan Adit perlahan, seolah memberi kekuatan tanpa sepatah kata pun.
Tak lama setelah, derum suara mobil terdengar memasuki pekarangan. Suara mesin yang berat bergema di halaman depan, memecah ketegangan yang sempat menyelimuti rumah. Ratna menoleh sejenak dengan ekspresi waspada, sementara Adit menegakkan punggungnya, menatap ke arah gerbang. Dan Maya, matanya menyipit namun hatinya mulai berdesir getir.
“Mamaaaa! Omaaaa!” Seru seorang gadis kecil dengan suara ceria saat melompat keluar dari kabin mobil, diikuti oleh sang Ayah yang sigap memeganginya agar tidak terjatuh. Tawa kecilNya memecah ketegangan di teras rumah, menghadirkan kontras yang begitu mencolok dengan suasana di dalam.
Sementara itu, seorang wanita yang duduk di kursi penumpang depan tetap diam. Ia tidak segera turun, hanya menatap dari balik jendela yang setengah terbuka. Sorot matanya tajam namun terkontrol, seakan sedang menilai situasi sebelum benar-benar melangkah keluar. Napasnya naik turun pelan, seperti sedang menyimpan sesuatu—entah kekesalan, keraguan, atau sekadar kehati-hatian.
"Assalamu'alaikum, semuanya?" Kata gadis kecil berusia enak tahun itu. Bola matanya tidak hanya menatap Maya, Ibu kandungnya dan Ratna Neneknya, tetapi perlahan menyapu pandangan ke arah Adit dan Asha.
Tatapan itu polos, tapi ada rasa ingin tahu yang terang di matanya, seakan mencoba memahami setiap orang di sekelilingnya sekaligus menilai siapa yang baru saja masuk ke dalam dunianya. "Om..." Sapanya memandang Asha yang tersenyum hangat menyapa. "Ini Tante cantik yang tadi sama Om, kan?"
Ratna dan Maya saling menatap dengan dingin, ketegangan di antara keduanya masih tersisa meski suasana sedikit terpecah oleh keceriaan gadis kecil itu. Sementara itu, Adit menunduk perlahan, membungkukkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan tinggi anak itu, senyum hangat terpancar dari wajahnya.
“Ini Asha, Istri Om,” Kata Adit lembut sambil menepuk bahu gadis kecil itu perlahan. Matanya menatap Asha dengan cara yang seakan mengatakan, “Lilia boleh panggil istri Om, Tante Asha."
Asha tersenyum lembut, menunduk sedikit agar sejajar dengan gadis kecil itu. “Halo, Lilia. Aku Asha,” Sapanya hangat. Bola matanya menatap Lilia dengan tulus, lalu ditambahkan dengan nada bercanda ringan, “Kamu lebih cantik dari tante.”
Lilia terkekeh kecil, matanya berbinar, seakan bangga sekaligus geli dengan pujian itu. “Tante bisa aja,” Balasnya polos, sambil menepuk tangan Asha perlahan.
Momen itu membuat suasana sejenak mencair. Senyum mereka berdua menular, bahkan Adit, yang berdiri di samping, ikut tersenyum lembut. Sementara, Ratna dan Maya masih menatap dari dekat. Mereka hanya diam, menahan diri seakan mencoba menyembunyikan perasaan mereka dari gadis kecil itu.
Kehadiran Lilia, dengan keceriaan polosnya, seolah mampu menembus ketegangan dan, tanpa sengaja, menghibur Asha dari tatapan tajam yang masih melekat di mata Ratna dan Maya.
Dalam keheningan itu, Asha merasa sedikit lega. Senyum Lilia yang hangat seperti selimut kecil, menenangkan hatinya meski ketegangan dari kedua wanita di sekelilingnya belum sepenuhnya hilang.
"May," Kata pria yang sedari tadi berdiri di belakang mereka.
Asha ikut menoleh menatap pria yang tadi menjadi saksi atas pernikahannya. Pria itu berpenampilan rapi dan berwibawa. Tingginya di atas rata-rata, posturnya tegap, dengan rambut hitam yang rapi disisir ke samping. Matanya tajam namun hangat, menampilkan kombinasi kewaspadaan dan kelembutan yang membuatnya terlihat sebagai sosok yang dapat diandalkan.
Tak hanya Asha, seruan itu membuat Adit melangkah mendekat perlahan, senyumnya hangat, lalu menepuk pundak mantan iparnya, Faris, dengan sikap santai namun penuh rasa hormat. “Thanks ya, Mas, buat bantuannya tadi menjadi saksi nikah aku,” Ucap Adit dengan nada ringan, seolah mencoba mencairkan suasana.
Faris membalas dengan senyum tipis, menatap Asha bergantian sebelum kembali menatap Adit. “Sama-sama, Dit… Semoga pernikahan kalian bahagia dan selalu bersama selamanya."
Adit dan Asha merapalkan kata amin bersama, lirih namun penuh penekanan.
"Pesan aku..." Sambung Faris. "Kalau ada masalah apa-apa, kalian musti dibicarakan berdua. Inget, pondasi rumah tangga itu..."
"Hmmm-mmmm!" Sela Maya berdeham panjang. "Kamu tadi bukannya panggil aku?"
Faris berpaling, menatap Maya dengan anggukan kecil di kepala. Matanya yang semula hangat dan bersahabat kini kembali menajam, menyiratkan kewaspadaan dan sikap hati-hati. "Lilia kangen sama kamu. Dia minta untuk tinggal disini, aku kasih waktu dua hari."
Maya tertawa pahit. "Dua hari?" Ulangnya. "Okey. Mentang-mentang punya yang baru..." Matanya melirik wanita yang masih terduduk di kursi mobil mantan suaminya. "Kamu cuma kasih aku waktu sebentar? Itu gak masalah lagi buat aku."
Suasana sejenak membeku. Adit menatap Maya dengan campuran cemas dan waspada, sementara Asha berdiri di dekatnya, merasakan ketegangan yang seolah menjalar ke seluruh ruangan.
"Aku tahu kamu bukan Ibu yang baik buat Lilia..." Lanjut Faris. "Tapi tolong perlakukan Lilia dengan baik, May. Bagaimanapun, dia anak kandung kamu."
Maya mengepal ruas-ruas jemarinya, menahan emosi. Kalau tidak ada Adit, Asha, apalagi Lilia anaknya, mungkin sebuah tamparan sudah berhasil mendarat di pipi pria itu.
“Aku pamit!” Ungkap Faris datar, suaranya terdengar tenang namun tegas, seakan menutup babak kehadirannya untuk saat ini. Namun tatapannya segera berubah hangat saat menoleh ke arah Lilia, anaknya.
Ia menunduk sedikit, menepuk pundak Lilia dengan lembut, memberi sentuhan yang penuh kasih sayang. "Lilia sayang... Papa pulang dulu, ya."
Lilia mengangguk. "Papa hati-hati pulangnya ya sama Mama Intan."
"Pasti sayang. Papa pasti akan jaga Mama Intan."
Maya menelan ludah, sUaranya tercekat sebentar, matanya menatap Faris dengan campuran haru dan kekhawatiran. Di sisi lain, Adit dan Asha saling bertukar pandang, masing-masing merasakan ketegangan dan kehangatan yang bercampur dalam momen itu.
“Kamu jaga diri baik-baik, ya, sayang. Kalau ada apa-apa, telepon papa,” Lanjut Faris, menekankan kata-katanya dengan nada hangat sekaligus serius.
“Kamu nggak usah khawatir soal Lilia. Kamu pikir Lilia akan tinggal dengan siapa?!” Celetuk Ratna yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.
Faris menatap Ratna sebentar, kemudian memandang semuanya. Tidak pada Maya. “Aku pamit… Assalamu’alaikum,” Ujarnya dengan suara kecil tapi jelas, menyudahi momen perpisahan yang hangat namun penuh emosi itu.
****