Selma, pewaris utama keluarga konglomerat terpandang, dikhianati di malam pengantinnya. Dengan mata kepalanya sendiri, Selma menyaksikan suami yang dia cintai malah beradu kasih di atas ranjang bersama saudari tirinya.
Hati Selma semakin pedih mengetahui ibu tiri dan kedua mertuanya juga hanya memanfaatkannya selama ini. Semua aset keluarganya direnggut sepihak.
"Kalian semua jahat, kalian tega melakukan ini..."
Di tengah laut yang disertai badai dan hujan deras, Selma dibuang oleh suami dan adik tirinya, lalu tenggelam.
Namun, sebelum air menguasai penuh paru-parunya, seorang perempuan sekecil tinkerbell bercahaya biru muncul di hadapannya dengan suara mekanis yang bergema di kepala Selma.
[Ding! Sistem Waktu Eri Aktif. Apakah Anda ingin menerima kontrak kembali ke masa lalu dan membalas dendam?]
IYA!
Begitu Selma membuka mata, dia terbangun di tubuhnya saat berusia 16 tahun. Di kesempatan keduanya ini, Selma berjanji akan menghancurkan semua orang yang mengkhianatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Menabrak Sosok Misterius
Selma melingkarkan lengan di leher Julio yang menggendongnya masuk dalam kamar rawat. Begitu tiba di tepi tempat tidur, cowok itu membaringkan Selma dengan pelan dan menaruh kembali kantung infus di tempatnya.
"Kamu istirahat yah, babe," kata Julio manis, mengusap kepala Selma lembut, lalu menata posisi gadis itu supaya nyaman.
"Iya, aku emang udah ngantuk kok," ujar Selma.
Julio duduk di kursi, lalu mengusap satu tangan Selma. "Aku jagain yah, sayang."
Kening Selma mengerut, "sayang? tumben kamu manggil aku sayang, baby?"
Julio tercekat beberapa saat. Karena akhir-akhir ini selalu menyebut Debora dengan kata sayang, dia sampai keceplosan memanggil Selma seperti itu.
"Oh itu... lagi pengen aja, baby," alasan Julio dengan senyum hangatnya.
Dalam hati Selma meracau. "Bisa-bisanya aku percaya sama cowok ini dulu, padahal dari awal tanda red flagnya udah keliatan tapi aku malah percaya kalau dia green forest. Uwwwh…"
Eri yang mengambang di dekat pundak Julio tertawa tengil. Meski rasa kagetnya belum hilang karena satu cahaya jiwa Selma sempat mengalami glitch singkat.
Selma menyunggingkan senyum pada Julio. "Nggak papa babe, aku cuma nanya doang kok."
"Oh iya… kamu nggak join party bareng anak basket lain? Yang diadain bareng anak dance?" tanya Selma.
"Nggak babe, aku mau sama kamu." Julio mengecil punggung tangan Selma.
"Noooouuu, baby… harusnya kamu join untuk rayain kemenangan tim basket sekolah kita dong apalagi kamu MVPnya."
"Aku kan mau nemenin kamu, baby."
"Aku mau bobok, baby, yang ada kamu boring nantinya. So… nggak papa kalau kamu join party itu."
Julio mengangkat satu alisnya bingung. Dulu, Selma tidak akan pernah mengizinkannya untuk pergi sendiri ke pesta-pesta perayaan seperti itu. Pokoknya harus ada Selma juga kalau Julio mau join. Tapi, kali ini Selma tampak beda. Kenapa dia mendadak pengertian setelah bangun dari koma?
"Kamu serius, babe?"
Selma mengangguk. "Aku udah introspeksi diri kok, kalau selama ini aku terlalu posesif sama kamu, padahal kita udah dijodohin bahkan sebelum lahir di dunia ini, harusnya aku nggak ngekang kamu dan bikin kamu nggak nyaman. Makanya sekarang aku mau belajar jadi pacar yang baik buat kamu. Apalagi, kita mau tunangan juga secara resmi."
Serius ini Selma? si cegil sombong posesif dan pembangkang tiba-tiba jadi pengertian?
Julio mengulas senyum. "Yaudah, baby, kalau kamu memang mau aku join party itu aku bakalan join, tapi kalau dalam hati kamu nggak mau bilang aja, baby, aku nggak masalah sama itu."
"Duhhh, baby, barusan aku jelasin, aku beneran nggak papa kamu join, aku juga udah mau bobok."
"Oke, babe." Julio beranjak dari kursi dan menunduk sekilas untuk mengecup dahi Selma dengan lembut. "Thanks, babe, i love you so much."
Selma melengkungkan senyum. "I love you much more, baby."
Setelah Julio menghilang dari balik pintu, Selma langsung menyeka bekas ciuman Julio di dahi dan juga tangannya, lalu lanjut mengusap badan. Uwwhhh, jijik rasanya.
"Kamu seperti ditempeli kuman saja, Selma."
"Iya, Eri, emang kayak gitu, pokoknya di dunia ini, tukang selingkuh itu tahta terendah kuman yang harus dihempaskan," kata Selma kesal.
Eri mengapung di udara dan hinggap di depan wajah Selma.
"Kenapa?" tanya Selma, dia merasa tatapan Wri penuh selidik padanya. Gadis itu bangun perlahan dan bersender.
"Apa di rooftop tadi kamu tidak merasakan apa-apa?"
"Rasain apa? Kalau maksud kamu kesel level dewa iya, karena aku harus nahan emosi di depan cowok brengsek tadi, which is bukan aku banget."
"Selma tidak sadar satu cahaya jiwanya tadi bergetar dan sempat memercikkan warna oranye." Eri bicara dalam hati, tidak bisa didengar Selma.
"Iya itu maksud Eri."
Tiba-tiba suara mekanis menggema lagi di kepala Selma. Gadis itu memegang kepalanya karena merasakan pening sekilas.
[DING]
[MISI BARU]
Selma melirik Eri. "Serius? Jam segini?"
Eri mengedikkan bahu.
Panel hologram transparan yang berkilau biru muncul di hadapan Selma. Menampilkan misinya.
[Keselahan Prioritas]
[Selamatkan pasien yang akan meninggal karena operasinya diundur oleh seorang dokter bedah]
[Durasi 2 jam]
[Sanksi kehilangan 20% salah satu cahaya jiwa]
[Sanksi hukuman khusus dari Eri]
[Hadiah kemampuan berbicara yang bisa mempengaruhi keputusan orang lain selama 45 detik]
Membaca misinya itu membuat Selma menegakkan punggung. Seseorang akan meninggal karena seorang dokter memprioritaskan yang lain.
"Pasti dokternya lebih milih pasien VIP," kata Selma.
"Sekarang kamu kelihatan semangat, Selma. Padahal beberapa detik lalu kamu sempat kesal," komentar Eri yang entah kapan dia mengganti gaunnya jadi piyama tidur.
Panel hologram berpendar dan perlahan memudar.
Selma menatap serius pada Eri. "Aku emang sombong karena cantik dan kaya raya tapi aku nggak suka ngeremehin orang lain apalagi ngasih perlakuan beda sama yang kurang mampu. Noo, apalagi misi yang sekarang menyangkut nyawa seseorang. Oh gosh! Gimana perasaan keluarganya kalau tahu pasien meninggal karena si dokter yang pilih kasih. No way, aku nggak bakalan biarin itu terjadi," papar Selma penuh tekad.
Eri mengangguk bangga. Harusnya dengan prinsip itu Selma tidak akan mudah kehilangan cahaya jiwa. Meski tadi merasa kaget, Eri sekarang nampak lebih tenang. Mungkin itu hanya kekhawatirannya saja.
Klik!
Pintu terbuka dan memunculkan Aluna dari balik sana yang memasukkan kursi roda.
"Duh, gimana nih, Kak Aluna pasti nggak bakalan tidur sebelum aku tidur duluan. Atau mungkin dia nggak bakalan tidur."
"Pakai kecerdasan kamu, Selma," kata Eri mengambang di udara dengan mode baring.
Selma menghela napas ringan lalu tersenyum ke arah Aluna.
"Kak Aluna, aku pengen makan sesuatu," kata Selma manis.
Aluna mendekat ke sisi tempat tidur Selma. "Makanan apa itu, Nona, saya akan orderkan sekarang."
Selma menggeleng. "Saya maunya makan Golden Olive Wagyu Nigiri buatan chef Renji, Kak."
"Baik, Nona," Aluna mengeluarkan hape dari saku, "saya akan segera menghubungi kepala pelayan untuk menyampaikan permintaan Nona Selma pada chef Renji."
"No, nggak usah!"
"Kenapa, Nona?"
"Kak Aluna aja yang ke rumah dan ambilin."
"Tapi saya harus stand by di sini untuk menjaga Nona."
"Nggak perlu, ada suster kok kalau aku perlu apa-apa. Lagian, aku mau take a nap for a moment, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirin di sini."
"Tapi, Nona…"
"Kak Aluna, ini perintah spesial, aku mau makanan aku dijemput langsung sama Kak Aluna."
Aluna yang mulai frustasi akhirnya mau menuruti Selma. Toh, kalau dia memaksa, nona mudanya itu pasti punya seribu satu cara untuk merealisasikan keinginannya. Dia sudah kenal Selma sejak gadis itu berusia 10 tahun.
Begitu, Aluna sudah pergi, Selma pelan-pelan turun dari kasur dan mengambil kantung infusnya, lalu duduk di kursi roda berwarna putih mutiara. Rambut panjangnya yang jatuh di bahu bergerak ketika jemarinya menyentuh panel sentuh di sandaran tangan.
Kursi roda itu bergerak pelan menuju pintu keluar. Sementara Eri mengambang mengikuti Selma, ujung topi tidur si mungil itu tuing-tuing di belakang.
"Apa rencana kamu Selma?" tanya Eri.
"Aku harus nemuin pasien yang dimaksud ... eh kamu nggak bisa bantu gitu, kasih data pasiennya kek."
"Kamu harus cari tahu sendiri Selma, pakai kemampuan yang punya," kata Eri dalam mode berbaring dengan kedua tangan sebagai bantalnya.
Selma mendengus kesal dan membuka pintu.
Begitu, kursi rodanya meluncur keluar, tiba-tiba dia menabrak seseorang.
Bruk!
Eri sampai tersentak bangun dan mengambang berdiri.
"Oh my mistake, sorry, sorry," kata Selma pada cowok yang ditabrak. Sosok itu berpakaian serba hitam dan masker berwarna senada. Dahinya tertutup poni.
Mata mereka bertemu beberapa jenak.
Selma terpaku.
Bagaimana tidak?
Tatapan cowok itu tajam dan dingin. Selma seperti terperangkap dalam musim dingin beberapa saat.
Tidak cuma itu, tanpa melihat wajah di balik masker, Selma yakin kuadraliun persen kalau cowok ini sangat tampan.
"Fine," sahut cowok itu singkat lalu pergi. Selma menoleh menatap punggung lebar itu.
"Emm… tipe gue," komentarnya. Selma berusaha mengingat kejadian ini. Ya, dulu dia memang pernah tidak sengaja menabrak seorang cowok. Bedanya, waktu itu dia mencari Julio yang tiba-tiba tidak ada di kamar rawatnya dan Selma tidak memperhatikan cowok yang ditabrak tersebut.
Eri hinggap di depan wajahnya.
"Ishhh, Eri kamu ngalangin pandangan aku aja deh," keluh Selma.
"Eri cuma mengingatkan misi kamu terus berjalan, Selma. Kamu tidak mau kena hukuman Eri kalau kamu tidak menyelesaikan misinya tepat waktu, kan?"
"Oh iya!" Selma kemudian lanjut menjalankan kursi rodanya.