Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lumo mengikuti arus
Pagi menyapa Benua Zhou dengan embun yang masih menggantung di pucuk daun, seolah menolak pergi dari keheningan subuh. Di Sekte Qingyun, kabut tipis menari di antara bangunan batu putih yang berdiri berlapis seperti awan di lereng gunung. Dari dalam salah satu rumah kayu sederhana milik Jian Wuji, sosok berpakaian putih keluar perlahan.
Lumo terbangun setelah meditasi sepanjang malam. Cahaya lembut mentari pagi memantul di mata hitamnya yang jernih, seakan dua samudra dingin tengah menyerap setiap rahasia langit. Ia berdiri, membenarkan lipatan pakainya, lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Udara pagi di Sekte Qingyun terasa murni, berisi wangi pinus dan aroma teh yang samar dari lembah di bawah. Ia menarik napas panjang, menghirup udara segar yang menusuk paru-paru seperti arus spiritual yang bersih.
Ia menatap langit yang mulai biru muda. Hatinya tenang, tetapi pikirannya bekerja tajam seperti bilah pedang yang disembunyikan di balik sarung. Kolam petir... gumamnya dalam hati. Suatu tempat tersembunyi di Negara Gizo yang bahkan para tetua sendiri hanya menyebutnya dalam bisik-bisik.
Lumo menatap telapak tangannya. Api spiritual berwarna biru muncul lembut di permukaannya. Api itu berdenyut perlahan seperti makhluk hidup. Kini, tubuhnya telah mengandung elemen api yang istimewa, lahir dari pengalaman dan penderitaan dua kehidupan. Tetapi jika elemen petir itu bisa ia murnikan, maka kekuatan yang akan lahir bukan lagi sekadar kekuatan kultivator kuat. Ia akan melangkah di atas jalan yang bahkan dewa sekalipun enggan memandangnya secara langsung.
“Petir dan api,” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketetapan hati. “Dua kekuatan penghancur yang bila menyatu... akan menjadi hukum kehancuran dan penciptaan itu sendiri.”
Ia tersenyum tipis. Pagi yang damai kini seolah bergetar di bawah niatnya. Dengan satu gerakan ringan, ia melesat dari halaman rumah. Langkahnya seperti bayangan yang menembus udara. Dalam sekejap, tubuhnya sudah menghilang dari pelataran Sekte Qingyun.
Sebelum meninggalkan sekte, malam sebelumnya ia telah berdiskusi panjang dengan Jian Wuji dan pemimpin sekte, Fengyuan. Ia meminta beberapa bahan spiritual, kertas jimat, serta izin untuk keluar-masuk sekte tanpa batas waktu tertentu. Sebagai balasan, ia berjanji akan memberikan satu atau dua panduan kultivasi dalam waktu mendatang. Keduanya menyetujui tanpa banyak tanya.
Kini, di langit biru yang terbentang, Lumo meluncur cepat di atas pedang perak. Angin menampar wajahnya, membawa aroma tanah dan debu spiritual. Ia menekan auranya, menurunkan tekanan kultivasi hingga tingkat Pendirian Fondasi tahap awal. Itu bukan karena ia lemah, melainkan strategi untuk menarik perhatian orang-orang serakah. Dunia ini penuh dengan mereka yang membunuh hanya demi satu pil, apalagi demi artefak yang belum mereka kenal.
Dua jam berlalu. Di kejauhan, barisan batu karang menjulang, membentuk lembah sunyi yang tampak seperti rahang monster purba yang menganga ke langit. Qi langit dan bumi di sana terasa lebih padat dibanding wilayah Gizo lainnya. Lumo menurunkan kecepatan, hendak mendarat. Namun baru saja ia hendak turun, kilatan serangan spiritual melesat ke arahnya dari sisi kiri langit.
Tanpa berpikir, Lumo menurunkan tubuhnya seolah gravitasi menggandakan bebannya. Serangan itu meleset, meninggalkan jejak energi yang menggema di udara seperti auman naga kecil. Ia mendarat di tanah berbatu tanpa suara. Batu di bawah kakinya retak halus, tapi tubuhnya tetap stabil seolah ia baru saja berjalan biasa.
Dari atas, lima sosok melayang turun dengan pedang terbang. Tiga pria dan dua wanita, mengenakan jubah kultivator dengan lambang tak dikenal. Aura mereka menunjukkan kekuatan di tahap Pendirian Fondasi akhir. Tatapan mereka tajam, tapi penuh kesembronoan khas pemburu harta yang terlalu sering mencium bau darah.
Salah satu pria tertawa, suaranya keras dan bergetar di lembah. “Bocah, tidak buruk! Kau bisa menghindari serangan teman kami dengan reaksi secepat itu. Pantas saja Qi-mu terasa berbeda.”
Lumo menatap mereka tanpa bicara. Ia hanya menyapu pandangan datar, lalu menurunkan tangan yang sebelumnya siaga.
Pria lain melangkah maju, dan menyeringai. “Kau tampak kuat, tapi sayang, sendirian di tempat berbahaya seperti ini, akan mengantarkan mu untuk mati lebih cepat. Karena kami akan menjelajah Hutan Tangisan. Akan lebih baik jika kau ikut bersama kami. Anggap saja ini kesempatan langka.”
Sebelum Lumo menjawab, salah satu wanita maju. Ia mendekat tanpa malu, jarinya menyentuh dada Lumo ringan, seolah menguji denyut jantungnya. “Jika kau ikut kami, teman muda, mungkin kau akan menemukan sesuatu yang membuatmu... tidak ingin kembali lagi,” katanya sambil mencondongkan tubuh, suaranya lembut dan menggoda.
Lumo tersenyum kecil. Dalam matanya, ada bayangan dingin yang tak seorang pun lihat.
“Kalau begitu,” katanya datar, “aku ikut.”
Kelima orang itu saling bertukar pandang lalu tertawa puas. Wanita tadi berbisik di telinganya, nafasnya hangat. “Kau pasti akan menyukainya.”
Lumo hanya mengangguk, pura-pura antusias.
Tak lama kemudian, keenamnya melesat ke langit. Pedang-pedang spiritual mereka meninggalkan jejak cahaya berkilau di udara. Lumo berada paling belakang, matanya menatap punggung kelima orang itu. Senyum tipisnya perlahan lenyap. Menjebakku? Baik. Mari kita lihat siapa yang akan berteriak lebih dulu. gumamnya.
Setelah beberapa jam melintasi lembah dan perbukitan, mereka tiba di sebuah hutan luas yang dijuluki Hutan Tangisan. Dari atas, pepohonan raksasa menjulang bagai tombak hijau tua yang menusuk kabut. Saat mereka mendarat, suara angin terdengar seperti rintihan. Itulah sebabnya hutan ini dinamai demikian.
Sekilas, tempat ini tampak tenang, tapi Lumo dapat merasakan aura samar yang mengalir di udara, gelap, melingkar, dan tidak bersahabat. Bukan Qi iblis, bukan pula energi roh. Sesuatu yang lebih purba dari itu, seperti amarah bumi yang terkubur dalam diam.
Salah satu pria yang berperan sebagai pemimpin menepuk bahu Lumo. “Kau yang paling lemah di antara kami. Untuk keselamatan bersama, kau berjalan di depan. Jika ada bahaya, kami bisa segera melindungimu.”
Salah satu wanita lain tertawa manis. “Ya, benar sekali. Di belakang terlalu ramai, lebih baik kau di depan. Anggap saja kami memberimu kehormatan memimpin jalan.”
Lumo tersenyum lembut. “Baiklah, kalau begitu aku akan memimpin.”
Kelima orang itu saling bertukar pandang. Salah satu wanita yang wajahnya paling dingin bergumam lirih, “Malang sekali bocah bodoh itu.”
Mereka mulai berjalan. Hutan itu dipenuhi akar besar yang menjalar seperti ular batu, dan daun-daun raksasa yang meneteskan embun hitam pekat. Burung tidak terdengar, hanya suara angin yang melolong lembut.
Lumo berhenti sejenak, lalu menoleh ke belakang. “Sebelum kita lebih jauh masuk,” katanya tenang, “aku ingin tahu... apa sebenarnya tujuan kalian datang ke sini? Apakah benar ada peluang besar di tempat ini?”
Salah satu pria tertawa, nada suaranya dibuat seolah bersahabat. “Kau tidak tahu rupanya. Menurut legenda, di kedalaman hutan ini ada kolam yang diselimuti petir berwarna merah kehitaman. Petir itu bukan sembarang petir, melainkan energi surgawi yang menolak manusia. Siapa pun yang mampu menahannya akan menembus batas tubuh fana.”
Wanita di sampingnya menambahkan dengan semangat tinggi, “Cerita itu terkenal di seluruh sembilan negara. Tapi Negara Gizo selalu menyembunyikan keberadaannya. Kami menemukan petunjuk baru beberapa hari lalu. Dan jika keberuntungan berpihak, mungkin hari ini kami akan menyentuh legenda itu.”
Pria lainnya menyeringai. “Tenang saja, kami tidak akan tamak. Semua kesempatan akan dibagi rata.”
Lumo mengangguk perlahan, wajahnya tersenyum polos dan antusias, seolah terpesona oleh cerita mereka. “Begitu ya... kalau begitu aku jadi semakin bersemangat.”
Kelima orang itu tersenyum puas. Mereka terus berjalan, langkah-langkah mereka meninggalkan jejak samar di tanah yang lembab. Namun di balik wajah tenang Lumo, pikirannya berputar cepat. Ia sudah tahu. Tidak ada sedikit pun jejak energi petir di hutan ini. Tak ada aroma logam terbakar, tak ada denyut energi langit. Hanya kepalsuan yang tebal seperti kabut.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Baiklah,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Mari kita lihat permainan macam apa yang ingin kalian mainkan.”
Dan di antara pepohonan yang berbisik, bayangan keenam kultivator itu perlahan menghilang ke dalam gelapnya Hutan Tangisan.
Di tempat itu, nasib dan tipu daya mulai menenun benang merahnya, sementara di langit jauh di atas, awan kelabu bergulung, seolah petir surgawi yang sesungguhnya sedang menahan napas, menunggu waktu untuk turun.