Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bolehkah
Sesampainya di rumah, Annisa membuka pintu mobil lebih dulu. Tak menunggu Sagala turun, ia langsung melangkah cepat ke dalam rumah. Langkahnya pelan tapi tergesa.
Sagala menatap kepergian Annisa dalam diam. Sejak percakapan di kafe tadi, gadis itu lebih banyak terdiam. Tak ada lagi obrolan ringan, tak ada tawa kecil yang biasanya memenuhi perjalanan mereka.
Di sana, begitu sampai di kamar, Annisa menutup pintu dan memutar kunci. Klik. Suara kecil itu terasa seperti garis pemisah antara dirinya dan dunia luar.
Annisa bersandar di balik pintu, menatap langit-langit sejenak sebelum akhirnya menunduk. Napasnya berat, seolah menahan sesuatu yang sedari tadi menekan dada.
“Padahal aku tahu…” bisiknya lirih, suara tercekat di tenggorokan. “Dari dulu juga aku tahu ... kalau aku nggak berarti apa-apa buat Abang.”
Ia menatap kosong ke arah lantai, lalu tersenyum getir. “Tapi kenapa sekarang rasanya sakit banget…”
Satu bulir air mata jatuh, menyusul yang lain. Ia menyeka dengan punggung tangan, tapi tangisnya semakin deras.
“Kenapa sekarang kerasa nyesek banget…”
Suara Annisa semakin pelan. “Apa karena… aku mendengar sendiri dari bibir Abang? Tahu kalau aku nggak akan bisa masuk ke hati abang."
Ia menutup mulutnya, berusaha menahan isak. Tapi suara kecil itu tetap pecah, membanjiri kamar yang sepi.
Pintu kamar terketuk pelan, disusul suara Sagala.
"Nisa."
Gadis itu tersentak kecil, buru-buru menyeka air mata. Ia menarik nafas panjang, sekedar untuk menstabilkan suaranya.
Tanpa membuka pintu ia menjawab, "Kenapa Bang?"
"Baju dan laptopmu," ucap Sagala dari balik pintu.
Annisa mengambil nafas dalam lagi sebelum akhirnya memutar kenop, membuka pintu. Bibirnya tersenyum saat kedua matanya bertemu dengan tatapan Sagala.
Sagala diam sesaat. Pandangannya menelusuri wajah Annisa yang masih menyisakan jejak air mata. Ada helaan napas halus dari dada pria itu.
"Terima kasih, Bang." Annisa mengulurkan kedua tangannya untuk menerima pakaian dan laptopnya dari Sagala.
Sagala hanya mengangguk, tetap diam. Entah kenapa langkahnya tak juga beranjak, padahal pintu sudah mulai menutup rapat.
"Nisa, sepatu dan tasmu," ucapnya akhirnya.
Ucapan yang membuat Annisa segera meletakkan pakaian dan laptopnya. Ia kembali membuka pintu.
"Maaf ngerepotin abang," ucapnya pelan dan datar. Ia mengulurkan kedua tangannya untuk menerima tas dan kotak sepatu.
Sagala menatap wajah itu sesaat sebelum akhirnya berkata, "Maaf kalau kamu tersinggung sama ucapan abang."
Annisa tersenyum lembut sembari membalas tatapannya. "Ah nggak kok. Aku nggak tersinggung," jawabnya. "Justru abang benar. Aku masih muda. Harusnya fokus pada cita-cita dan membuka hatiku seluas-luasnya untuk nanti menerima perasaan cowok lain yang mungkin akan diberikan padaku." Lanjutnya tenang. Begitu tenang meskipun suaranya bergetar.
Sagala terdiam. Hanya menatap Annisa tanpa suara. Ya itu yang ia inginkan. Memberikan pilihan dan kebebasan pada Annisa untuk menentukan jalannya sendiri.
Karena gadis ini juga berhak bahagia. Berhak mencintai dan dicintai oleh seseorang yang benar-benar ia pilih… bukan oleh keadaan, bukan oleh paksaan.
“Maaf, aku ngantuk. Selamat malam, Abang.”
Ia menarik mundur kakinya, menatap Sagala sekali lagi, lalu benar-benar menutup pintu.
Hening pun turun.
Sagala masih berdiri di depan pintu beberapa detik, menatap daun pintu yang kini membatasi jarak yang tiba-tiba terasa begitu jauh, padahal hanya setebal kayu.
Di balik sana, Annisa membiarkan air matanya jatuh, satu per satu. Ia mencoba menguatkan hati.
Jika kebersamaan ini memang punya batas waktu, maka ia ingin menghabiskannya sebaik mungkin.
Dulu, setiap malam Annisa berdoa agar bisa dekat dengan abang. Tapi ia lupa… lupa berdoa agar abang juga mencintainya.
🌱🌱🌱
Fajar.
Annisa bangun pukul setengah lima. Ia mengusap wajah, lalu menguncir rambutnya asal. Tapi kemudian berhenti.
"Ah, jangan. Jangan asal-asalan kayak biasanya. Harus rapi. Jangan kayak bocah yang malas nyisir rambut."
Annisa memperbaiki ikatannya, memastikan tak ada helaian yang berantakan, lalu membuka pintu kamar pelan. Dalam hati, ia berharap bisa bangun lebih pagi dari Sagala.
Namun baru satu langkah keluar, suara itu langsung menghentikannya.
"Jangan melangkah. Diam di situ. Lantainya masih licin."
Annisa menoleh. Sagala berdiri tak jauh darinya, memegang pel dengan lengan yang sedikit menggulung. Keringat di pelipisnya memantul samar oleh cahaya lampu.
'Ya Allah, abang kalau keringetan ganteng banget. Omegat.'
Annisa cepat-cepat mengalihkan pandangan, tidak mau menatap wajah itu.
"Ini hari Minggu. Dah sana, balik tidur," ucap Sagala selanjutnya, santai.
Annisa spontan menoleh, menatapnya tak terima. "Emang kalau hari Minggu aku nggak boleh bangun pagi? Ish, abang nyebelin!"
Sagala terkekeh mendengarnya. Suara yang ia tunggu dari semalam. Tanpa kata, ia kembali membersihkan lantai.
Annisa melangkah pelan dan hati-hati. Masuk ke kamar mandi membersihkan diri dengan cepat lalu bergegas pergi ke dapur.
Dia menyiapkan perlengkapan dapur. Menata bahan-bahan. Tangannya mulai bergerak cepat, lincah memotong, mengaduk, dan menata bahan-bahan di atas meja.
Dengan penuh semangat ia memulai pagi di dapur.
"Jangan remehkan aku, Abang. Aku bukan bocah yang sering abang katakan." Gumamnya tanpa menghentikan gerakan tangannya yang lincah memotong.
Karena peralatan dapur belum lengkap, ia hanya bisa membuat omelet, tumisan sederhana, dan sarden. Tapi semangatnya tidak main-main.
"Sarden ini harus lebih enak." Katanya sambil menambahkan tumbu tambahan.
Di sisi lain, Sagala baru selesai dengan kesibukan di halaman rumah. Ia mencuci tangan.
Ketika akhirnya ia melangkah masuk ke rumah, aroma masakan langsung menyambutnya. Hangat, lezat, dan menggoda.
Keningnya berkerut tapi langkahnya tidak berhenti, bahkan sedikit lebih cepat menuju ke dapur.
Begitu sampai di ambang pintu, pandangannya tertumbuk pada Annisa di sana. Rambutnya dikuncir tinggi, beberapa helai lepas di sisi wajahnya. Apron sederhana melekat di tubuhnya, dan wajahnya tampak serius saat mencicipi masakannya sendiri.
Oh, gadis kecil abang...
Sagala melangkah lebih dekat, hati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara. Meja makan sudah tertata rapi, ada potongan buah, omelet hangat, dan sepiring tumisan yang masih mengepulkan uap.
Sagala melangkah lebih dekat, berdiri tak jauh di belakang gadis itu.
“Butuh bantuan?” tanyanya pelan.
Annisa terlonjak kecil, hampir menjatuhkan sendok di tangannya. “Abang!!” serunya refleks sambil menoleh cepat.
Sagala menahan senyum. “Masak apa?”
“Sarden,” jawab Annisa rendah. “Abang tunggu aja di meja makan. Ini sebentar lagi selesai kok.”
Namun Sagala tetap di tempat. “Kamu butuh apa? Abang bantuin.”
"Nggak ada, ini udah selesai, kok.”
Annisa segera mengambil piring dan memindahkan sarden ke dalamnya. Tanpa menatap Sagala, ia berjalan ke meja makan dan meletakkan piring itu perlahan.
“Maaf abang bikin kamu sibuk pagi ini,” ujar Sagala. Tatapannya mengikuti setiap gerak Annisa.
“Kenapa minta maaf? Abang nggak salah,” sahut Annisa tanpa menoleh, sambil membuka kulkas dan mengambil teko air dingin.
“Harusnya kamu nggak ngerjain ini,” kata Sagala lagi.
Annisa menuangkan air ke gelas, gerakannya tetap tenang. "Lalu aku harus apa?” tanyanya pelan.
“Nggak perlu melakukan apa-apa. Cukup bersenang-senang di sini," jawab Sagala.
Kali ini Annisa berhenti. Ia menoleh, menatap Sagala dengan senyum tipis yang lebih mirip luka.
“Karena abang menganggap aku cuma liburan di sini, 'kan?” katanya sembari melepas apron dari tubuhnya. “Kalau begitu, anggap aja apa pun yang kulakuin di sini… bagian dari caraku bersenang-senang saat liburan.”
Annisa duduk di kursi, di susul Sagala yang duduk berhadapan dengannya.
"Aku nggak pinter masak, tapi semoga abang suka," kata Annisa pelan.
Sagala mengangguk tipis. "Terima kasih udah membuat ini."
Setelah itu, tidak ada kata lain. Hanya diam, panjang, berat, dalam cara yang menyakitkan, dengan tatapan yang sama-sama dihindari.
Hingga sarapan selesai, tak satu pun dari mereka membuka suara. Saat mereka akhirnya berdiri hampir bersamaan, tangan keduanya terulur ke arah piring kotor di meja.
"Kamu udah capek, biar abang aja yang cuci piring." Suaranya rendah, lembut, tapi ada jarak di sana, dingin yang tidak disengaja.
Annisa terdiam. Ia menatap Sagala yang mulai membawa piring ke wastafel dan mencucinya dengan gerakan tenang, teratur, seolah sedang menenangkan diri sendiri.
Ia menatap punggung lebar itu lama-lama, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Bolehkah aku disini bersamamu sedikit lebih lama, Abang?" Batinnya.
Cil, ayookk coba rayu abang dehh, minta maaf duluan gak papa pas pulang kerja.. Abang yoook ajak ngomong bocilnya..
Hakekatnya wanita mah gak bisa di diemin, aku aja gitu kok, paling gak suka di diamkan sama suami, mending dimarahin aja aku sih 😩
pasti Annisa bakal ngerti
namanya juga bocil harus di kasih penjelasan detail gga bisa cuma gitu aja gga.
kdang kita yg dewasa aja klau bikin slah mrsa benar🤭🤭
soalnya gga enak klau marah nya abang diem. 😌.
emang laki² butuh waktu tp wanita butuh penjelasan🙃
next next... marahannya sebentr aj ya kak nas.. 🥲
itu bisa jadi masalah gede
lain kali kalo keluar sama Nada
kasih tau abang Nis
biar gak jadi salah paham
Walau Nisa menganggap teman dong lain halnya dengan zefan belum tentu