cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps # Sesampainya di rumah,
Pagi itu, aroma Teh manis yang di buat memenuhi ruang tamu. Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantulkan siluet lembut di dinding. Aku duduk di sofa, masih mengenakan pakaian longgar dan selimut di pangkuan. Sudah tiga hari sejak dokter memperbolehkanku pulang dari rumah sakit.
Mama di dapur, sibuk menyiapkan sarapan. Dari suara yang terdengar, sepertinya beliau sedang menggoreng tempe—favoritku sejak kecil.
Sementara itu, Kak Angga duduk di teras, memperbaiki pot bunga Mama yang pecah karena hujan semalam. Ia tampak tenang, seperti biasa.
Aku memperhatikannya dari jendela. Entah kenapa, sejak hari di rumah sakit itu, aku jadi lebih sering memperhatikan hal-hal kecil: cara ia menghela napas, caranya tersenyum, bahkan ketika ia diam pun terasa menenangkan.
“Cila, udah bangun sayang?” suara Mama membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh, tersenyum. “Udah, Ma.”
“Nih, makan dulu, biar tambah sehat,” ucapnya sambil meletakkan sepiring nasi hangat dan tempe goreng di meja.
“Terima kasih, Ma,” jawabku pelan.
Mama duduk di sebelahku, memperhatikan wajahku seperti sedang memastikan sesuatu. “Kamu udah kelihatan lebih segar. Tapi jangan banyak pikiran, ya?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, Ma. Cila janji.”
Beliau tersenyum lega. “Syukurlah. Mama sempat takut kamu nyimpen semuanya sendiri. Tapi untung ada Kak Angga. Anak itu sabar banget.”
Aku menunduk, pipiku terasa hangat. “Iya, Mah dia baik banget.”
Mama menepuk tanganku. “Kamu harus banyak bersyukur punya orang yang tulus kayak dia di sekitar kamu. Sekarang tugas kamu cuma satu: sembuh dan bahagia.”
Aku hanya mengangguk. Tapi di dalam hati, kata bahagia itu terasa aneh seolah aku belum benar-benar tahu caranya lagi.
Siang menjelang. Kak Angga mengetuk pintu kamarku pelan.
“Boleh masuk, Dek?”
Aku sedang menulis di buku kecil buku yang dulu sering kugunakan untuk curhat diam-diam. “Boleh, Kak. Masuk aja.”
Ia melangkah masuk dengan membawa sesuatu di tangannya dua gelas jus alpukat dan sepiring biskuit. “Kakak bawa vitamin alami buat pasien tersayang,” katanya sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa. “Pasiennya udah hampir sembuh, Kak.”
“Bagus dong. Tapi tetap harus dijaga.”
Ia duduk di kursi dekat meja belajarku, menatap buku di tanganku. “Kamu masih suka nulis?”
Aku mengangguk. “Iya. Dulu waktu sekolah, aku suka nulis puisi. Sekarang sih cuma nulis apa aja biar hati nggak meledak.”
“Boleh Kakak baca?” tanyanya hati-hati.
Aku tersenyum samar. “Belum deh, Kak. Nanti kalau aku udah siap.”
“Oke,” jawabnya pelan. “Kakak tunggu.”
Kami diam beberapa saat. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Lalu Kak Angga bicara lagi.
“Cila…”
“Hmm?”
“Kamu tahu nggak, waktu kamu di rumah sakit, Mamah nangis di luar ruangan.”
Aku menatapnya cepat. “Serius, Kak?”
“Iya. Tapi dia nggak mau kamu tahu. Katanya, dia harus kuat biar kamu juga kuat.”
Aku terdiam. Rasanya dada ini sesak. Aku baru sadar, selama ini bukan cuma aku yang berjuang, tapi Mama juga.
“Dia panik banget waktu dengar kamu pingsan di sekolah. Katanya kamu belum makan dari pagi, terus sempat ribut sama temenmu itu… Jen, ya?”
Aku mengangguk pelan.
“Cila, Kakak nggak mau kamu mikirin dia lagi, ya. Orang kayak gitu nggak pantas bikin kamu sakit.”
Aku menatap meja, lalu menghela napas. “Aku udah nggak marah, Kak. Aku cuma kecewa.”
“Kecewa karena?”
“Karena dia orang yang aku percaya, tapi malah nyakitin dengan kata-katanya.”
Kak Angga menatapku serius. “Kadang orang nyakitin bukan karena benci, tapi karena mereka nggak ngerti cara menyayangi.”
Aku tersenyum kecil. “Kak Angga puitis banget.”
Ia tertawa. “Bukan puitis, cuma pernah di posisi yang sama.”
Aku terkejut. “Kakak juga pernah?”
“Iya,” jawabnya sambil tersenyum samar. “Bedanya, waktu itu Kakak nggak punya siapa-siapa buat cerita. Makanya sekarang Kakak nggak mau kamu ngalamin hal yang sama.”
Hening sejenak. Rasanya ruangan ini dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Kak…” panggilku pelan.
“Iya?”
“Kenapa Kakak peduli banget sama aku?”
Ia menatapku, kali ini dengan mata yang jujur, tanpa senyum. “Karena kamu ngingetin Kakak sama seseorang yang dulu Kakak gagal jagain. Bedanya, kali ini Kakak nggak mau gagal lagi.”
pikiran ku terasa terbentur tembok, dengan kata- kata kak angga apa dia masih berharap pada seseorang. Ingin bertanya lebih jauh, tapi kata-kataku seperti hilang. Di wajahnya ada ketulusan yang tak butuh penjelasan.tapi hati yang awalnya yakin berubah menjadi keraguan
Sore harinya, Mama memanggil kami ke ruang tamu.
“Nak Angga, kamu bisa bantuin Mama besok ke klinik ya? Mau ambil surat kontrol buat Cila.”
“Oh, iya, Ma. Nanti pagi aja sekalian antar Cila.”
" mah gak papa ko kita berangkat berdua aja ya . Soalnya kak angga mau kerja mah takut ngerepotin dia." jawab ku dengan tegas.
" gapapa ko dek, kaka besok bisa antar kalian, " jawab kak Angga
" Gapapa ka aku udah sembuh ko" sambil aku terngiang kata2 yang tadi ka Angga ucapkan "Karena kamu ngingetin Kakak sama seseorang yang dulu Kakak gagal jagain. Bedanya, kali ini Kakak nggak mau gagal lagi.” berarti aku hanya pelampiasan dia bukan cinta sejatinya.
“oh ya udah nak kalo gitu, Terima kasih banyak ya nak angga udah bantu mamah, soal besok cila kuat ko berangkat gak perlu sana Nak Angga ya kalo mau kerja, kerja aja yang rajin jangan terganggu sama kami. ” kata Mama dengan senyum lembut. “Cila, kamu istirahat ya. Jangan kelamaan nulis atau bengong.”
“Iya, Ma,” jawabku sambil tertawa kecil.
" kak kalo mau pulang boleh ko , aku mau istirahat dulu kak" dengan nada datar aku ngomong ke kak Angga
" iya dek kaka pulang dulu ya kalo gitu kamu cepat sehat ya," sambil berdiri siap- siap mau pulang ,
Seperti biasa dia lihat handphone nya dengan senyum-senyum sendiri, entah apa yang dilihat dia di handphone itu sehingga dia asyik sendiri,
" dek kaka pamit ya dek" sambil melambaikan tangan
Malam tiba. Di kamarku, aku menatap buku kecil yang tadi sempat kuisi. Aku membuka halaman terakhir dan menulis:
tulisan di buku itu "Hari ini aku merasa ringan. Mungkin karena ada orang yang mau dengar tanpa menghakimi.
Aku belum sepenuhnya sembuh, tapi setidaknya aku tahu. aku nggak sendirian lagi." tapi itu salah lalu buku yang tadi aku tulis itu aku saja dan aku bilang ke tempat sampah,
Aku menutup buku itu perlahan. Dari luar, terdengar suara gitar pelan mungkin anak - anak perumahan lagi pada nongkrong rupanya, memainkan lagu lama yang sering aku putar setiap aku ada rasa kecewa,
Suara itu menembus dinding, masuk ke hatiku yang lama beku.
Aku berjalan pelan ke luar. mendengarkan mereka dari dekat.
" hay ka udah sembuh ya?” sapa mereka ke aku
“iya lagi masa pemulihan” kata aku sambil senyum.
Aku duduk di kursi sampingnya. Malam terasa damai. Bintang-bintang mulai muncul di langit.
“langit nya cerah banget ya sampai bintang-bintang nya pada muncul,?” tanyaku pelan.
“Iya. Kakak indah banget ya ?” sahut mereka
Aku selalu memikirkan kata-kata yang ka angga ucapkan “Inget banget.”
aku diam. Lagu itu selesai, tapi keheningan terasa seperti lanjutan dari melodi yang belum selesai.
Lalau Mama menghampiri aku dan duduk di sebelah aku
“Aku pengin bisa kaya orang lain mah"
“Kayak gimana emang orang-orang nak?”
“ bisa dicintai dengan hebatnya oleh pasangannya mah.”
Mamah menatapku lembut. ” kamu emang ada apa Nak ada masalah?? " katanya mamah dengan nada serius
Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kata-kata itu nggak cuma lewat di telinga—tapi benar-benar sampai ke hati.
Keesokan paginya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Udara masih sejuk, embun masih menggantung di daun. Mama masih tertidur, jadi aku memutuskan membuat teh hangat untuk kami berdua karena ayah masih di luar kota.
Ketika aku ke dapur, aku melihat secarik kertas di meja makan. Tulisan tangan Kak Angga.
“Dek, Kakak ke puskesmas duluan ambil surat kontrol kamu. Istirahat, ya. Jangan lupa sarapan. Kakak balik sebelum jam sembilan.”
Aku tersenyum membaca tulisan itu. Lalu menatap ke luar jendela ke arah jalan kecil di depan rumah yang mulai disinari matahari.tapi aku masih teringat dengan kata- kata dia.
Untuk pertama kalinya, aku merasa rumah ini benar-benar hidup kembali. Tidak lagi dipenuhi kekhawatiran, ada harapan kecil yang tumbuh pelan-pelan.tapi malah serasa di robohkan oleh kata-katanya , yanh terus terngiang di kepalaku
Mungkin benar, tidak semua luka sembuh dengan cepat. Tapi selama ada orang yang tulus menjaga, waktu akan membuat semuanya baik-baik saja itu pikiran ku awal nya tapi ternyata kenyataan berbeda,
Dan di titik itu, aku tahu
Aku tidak hanya sedang masa pemulihan dari sakit fisik, tapi kejadian ini juga menyadarkan aku kalo kita tidak perlu berharap pada seseorang, bahkan sebaik apa orang itu.
tapi aku juga sedang belajar sembuh… dari luka yang dulu pernah aku alami, tapi mulai sekarang juga harus tetap berhati-hati dengan seseorang yang mungkin perhatian ke kita karena kasihan atau iba bukan karena cinta.
Aku menatap ke langit pagi, tersenyum, dan dalam hati berbisik: perjalanan aku masih panjang aku harus tetap kuat dan bisa melewati hari-hari selanjutnya lebih semangat jangan terkecoh oleh kata-kata seseorang yang belum pasti apalagi baru kenal , " udah lah jangan mikirin laki-laki cila kamu masih muda masih panjang harapan kamu " ucap ku sambil masuk ke dalam rumah, dan minum teh yang ku buat tadi, sambil membuka handphone aku melihat pesan dari kak angga
" dek surat kontrol nya udah kaka ambil ya " dengan setiker senyum dia kirim ke aku.
jawab aku dengan singkat " iya"
" eh kamu udah bangun ya ??" tanya dia
" iya kak udah ko "
" bentar lagi kaka pulang Kamu mau nitip apa dek"
" gak kak gak mu apa-apa " sambil aku taro lagi hp ke atas meja. Karena aku ingat dengan prinsip aku jangan terbawa suasana. apalagi tergoda oleh kata-kata.