NovelToon NovelToon
Kakakku, Kekasih Suamiku

Kakakku, Kekasih Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Nikahmuda / Poligami / Penyesalan Suami / Selingkuh
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
​Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
​Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
​Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Dinding putih apartemen studio itu seolah menyusut, menjebak Reno dan Saskia dalam horor sunyi. Kata-kata Saskia menggema tanpa suara, menciptakan gempa di fondasi hati Reno.

Janin itu, benih dosa dari malam yang tak terlarang di pinggiran kota, kini menjadi bukti abadi dari pengkhianatan mereka. Itu bukan sekadar janin; itu adalah lonceng pengumuman kehancuran yang tak bisa lagi dibungkam.

Reno melepaskan pegangan pada wajah Saskia, tangannya jatuh lemas ke sisi tubuhnya. Ia mundur dua langkah, menabrak kardus di belakangnya hingga berderit pelan. Ia menatap Saskia, matanya memancarkan ketidakpercayaan, ketakutan, dan yang paling mengerikan—kenyataan yang tak terbantahkan.

"Apa? Tidak... tidak mungkin, Kak," bisik Reno, suaranya serak, seolah jiwanya baru saja terbelah dua. "Kita... kita sudah hati-hati. Ini tidak mungkin. Cinta terlarang kita tidak seharusnya memiliki buah."

Saskia menggeleng, air matanya tak terbendung. "Aku tidak tahu, Reno. Aku sudah mencoba menghitung. Tapi sudah terlambat. Sejak kepulangan kita, aku terus berharap itu hanya karena stres, karena lelah, tapi... perutku terasa aneh. Aku takut. Aku merasa seperti membawa bom waktu di dalam diriku. Aku sangat takut."

Kepanikan Reno meledak. Ia melihat arlojinya. Adelia ada di bawah, sebentar lagi akan naik.

"Jangan panik. Dengarkan aku. Kita harus tenang. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak seorang pun, Kak! Bahkan Adelia, terutama Adelia. Janin ini adalah sumpah diam kita. Rahasia yang paling kotor."

"Bagaimana mungkin aku menyembunyikannya?" tanya Saskia, suaranya meninggi, dipenuhi histeria yang tertahan. "Ini akan tumbuh! Ini akan terlihat! Aku harus pergi, Reno. Aku harus mengubur diri di tempat yang paling gelap!"

Reno menarik napas dalam-dalam, memaksa otaknya bekerja layaknya seorang pebisnis yang dihadapkan pada krisis terberat.

"Tidak. Jangan pergi ke mana-mana dulu," putus Reno, suaranya kini kembali dingin dan tegas. "Kamu tetap di sini, di apartemen ini. Ini tempat yang sempurna untuk disembunyikan. Besok, aku akan belikan alat tes kehamilan. Kau harus membuktikan ini dulu. Kita tidak boleh dihancurkan oleh tebakan, Kak."

Saskia memegang perutnya, sentuhan itu penuh ketakutan. "Jika ini benar, Reno, apa yang akan kamu lakukan? Apa yang akan kamu lakukan pada... pada darah dagingmu sendiri? Apakah ini akan menjadi kurban penebusan dosa kita?"

Reno memejamkan mata. Pertanyaan itu menamparnya. Darah dagingku.

"Aku... kita akan memikirkannya setelah hasilnya pasti. Sekarang, kita harus keluar dari sini. Adelia tidak boleh melihat wajahmu seperti ini. Topeng kebahagiaanmu harus sempurna."

Adelia tiba-tiba mengetuk pintu dari luar.

"Mas Reno! Kakak! Sudah selesai belum? Tukang angkut sudah pergi. Aku harus kembali ke kantor!" seru Adelia, suaranya ceria, kontras dengan kegelapan di dalam ruangan.

Reno dan Saskia seketika tersentak. Reno dengan cepat mengambil tisu dari kardus Saskia, dan mengusap air mata Saskia.

"Cepat! Tersenyum, Kak. Lakukan seperti yang sudah kita rencanakan," bisik Reno, nadanya perintah absolut.

Reno membuka kunci pintu. Adelia masuk, tersenyum lebar.

"Nah! Kakak! Selamat datang di kehidupan barumu!" Adelia memeluk Saskia erat-erat. "Aku senang kamu akhirnya bisa mandiri. Ingat, aku sudah siapkan dana yang cukup untuk dua tahun. Fokus pada kateringmu, dan nikmati privasimu."

Saskia membalas pelukan Adelia, tangannya memeluk erat, seolah ingin mencetak memori terakhir kehangatan adik kandungnya sebelum ia menjadi musuh terbesar. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah terlalu baik. Kebaikanmu ini adalah cambuk bagiku. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu." Air mata Saskia mengering, tetapi ekspresinya pahit.

Reno memandang Saskia. Mata mereka bertemu. Itu adalah tatapan perpisahan yang dingin dan menakutkan, tatapan dua tahanan yang dipaksa berpisah setelah melakukan kejahatan bersama. Sentuhan Reno di bahu Saskia adalah janji, ancaman, dan permohonan yang disamarkan dengan baik.

Mereka keluar dari apartemen, meninggalkan Saskia sendirian dengan dua kardus, dan potensi janin yang menantang.

Di dalam mobil dalam perjalanan kembali ke rumah, Reno menyetir dengan kaku. Adelia menyandarkan kepalanya di bahu Reno, lega.

"Aku senang semua berjalan lancar, Sayang," kata Adelia, menguap. "Sekarang, kita bisa fokus pada liburan kita. Aku sudah kirim itinerary ke emailmu. Besok, kita harus beli beberapa perlengkapan musim panas."

Reno hanya menjawab dengan gumaman. Pikirannya berlari liar.

Janin itu, anakku. Itu adalah kapal yang terbuat dari kayu yang dicuri, berlayar di lautan kebohongan. Aku tidak bisa membiarkannya tenggelam.

Ia dihadapkan pada tiga jalan buntu yang mengerikan: Mengakui dan menghancurkan Adelia; Mengakhiri janin dan membunuh Saskia secara emosional; atau Menyembunyikan dan menjadi bayangan ayah bagi anak haramnya.

Aku tidak bisa membunuh janin itu. Itu darah dagingku. Hasil dari cinta terlarang yang paling nyata.

Reno menyadari, ia harus memilih jalan penyembunyian. Ia harus menjadi arsitek kebohongan yang paling sempurna.

Malam itu terasa lebih panjang. Reno pura-pura tidur hingga Adelia tertidur lelap. Ia bangkit, menyelinap ke kantor kerjanya. Ruangan itu adalah ruang operasi rahasianya.

Ia menghubungi nomor ponsel rahasia Saskia.

"Halo?" Suara Saskia terdengar seperti kawat tegang.

"Ini aku, Kak. Bagaimana?" tanya Reno, suaranya rendah.

"Aku... aku tidak apa-apa," bisik Saskia. "Apartemen ini terlalu sunyi, Reno. Sunyi sekali. Aku merasa temboknya sedang menuntut jawaban dariku. Aku hanya memeluk lututku."

"Dengarkan aku baik-baik," kata Reno, nadanya tegas, memaksakan logikanya. "Besok pagi. Aku akan menyuruh supirku, Budi, mengantarkan sebuah paket ke apartemenmu. Di dalamnya ada dua alat tes kehamilan digital. Kamu harus melakukannya. Dan kamu harus mengirim fotonya ke nomor ini. Jangan pernah menyimpan nomor ini. Hapus riwayat panggilan kita. Kita harus membakar jembatan di belakang kita."

Saskia terdiam lama. "Aku... aku takut, Reno."

"Aku tahu. Aku juga," bisik Reno. "Tapi kita harus kuat demi... demi janin itu. Kita harus tahu pasti. Setelah ini, kita akan merencanakan langkah selanjutnya. Tapi kamu harus janji. Kamu tidak boleh memberi tahu Sayang. Jangan pernah biarkan badai ini menyentuhnya."

"Aku berjanji," balas Saskia, suaranya pelan dan penuh sumpah. "Aku akan membawanya ke makamku, Reno. Aku tidak akan menghancurkan Adelia. Aku tidak akan. Aku hanya... aku hanya harus tahu apa yang harus kulakukan dengan kepingan jiwaku ini sekarang."

Reno menutup telepon. Ia memegang ponsel itu lama, seolah memegang sebuah granat yang siap meledak.

Pagi hari, Adelia melihat Reno yang terlihat lesu dan cemas. Ia tidak makan sarapan dengan baik.

"Mas, kamu kenapa?" tanya Adelia, meletakkan sendoknya. "Kamu terlihat sangat tertekan.

Wajahmu seperti langit mendung. Apakah kamu sedih karena Kakak pergi?"

Reno mendongak, lega karena Adelia salah menafsirkan kecemasannya. "Aku... ya, Sayang. Aku merasa bersalah karena menolak membantunya di masa lalu. Aku merasa tegang karena tahu dia harus memulai hidup baru sendirian. Dan ini membuatku cemas tentang pernikahan kita."

Adelia tersenyum dan meraih tangan Reno. "Itu hal yang normal, Del. Kamu adalah pria yang baik. Tapi jangan khawatir, kita sudah melakukan yang terbaik untuk Kakak. Sekarang, kamu harus fokus pada dirimu dan aku. Kita adalah satu-satunya pelabuhan amanmu."

Adelia bangkit, berdiri di depan Reno. "Aku tahu kamu stres, Mas. Itu sebabnya kita butuh Bali. Kita akan pergi berlibur untuk membersihkan pikiranmu dari semua ketegangan. Kita akan kembali lagi seperti pengantin baru."

Reno membalas pelukan Adelia erat-erat. Pelukan itu adalah siksaan. Ia memeluk istrinya, sementara ia tahu di saku celananya ada nomor ponsel rahasia, dan di apartemen studio di ibu kota ada saudara ipar yang mungkin mengandung anaknya.

Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel rahasia Reno. Itu adalah foto: layar digital yang menunjukkan kata "Pregnant" (Hamil). Reno merasakan dunia berputar. Kebenaran itu seberat timah. Ia segera menghapus foto dan riwayat pesan itu, gemetar hebat.

Ia menatap Adelia, yang sibuk menyiapkan pakaian mereka untuk liburan.

Aku tidak bisa membunuh darah dagingku. Aku tidak bisa melepaskan Saskia ke dalam kegelapan sendirian.

Liburan ke Bali yang seharusnya menjadi penyelamat pernikahan mereka, kini menjadi tirai panggung yang sempurna untuk pertemuannya.

Reno masuk ke kamar mandi, mengambil ponsel rahasianya, dan mengirim pesan kepada Saskia.

"Tenang. Jangan panik. Kita harus bicara. Malam ini aku akan mengatakan pada Sayang, aku harus terbang mendadak ke luar ibu kota untuk urusan bisnis mendesak. Aku akan datang ke apartemenmu setelah tengah malam. Kita harus buat keputusan. Aku tidak akan meninggalkanmu, Kak."

Reno menghapus pesan itu, mematikan ponselnya, dan menaruhnya kembali di laci tersembunyi. Ia kembali ke Adelia, wajahnya menunjukkan ketenangan yang menipu.

"Sayang," kata Reno, suaranya penuh sesal yang pura-pura. "Aku minta maaf. Ada masalah mendesak di pinggiran kota yang harus kuselesaikan sendiri. Aku harus terbang malam ini. Liburan kita terpaksa kutunda dua hari. Tapi aku akan kembali dan kita akan tetap pergi. Percayalah padaku. Aku akan kembali utuh untukmu."

Adelia terkejut dan kecewa, tetapi ia mengangguk. "Baiklah, Mas. Jangan lupa jaga kesehatan. Cepat kembali. Aku akan menunggumu."

Reno mencium kening Adelia. Ciuman itu adalah salam perpisahan dan cincin janji palsu. Ia akan pergi, bukan untuk bisnis, melainkan untuk menentukan nasib anak mereka, dan untuk mengambil langkah pertama menuju neraka yang ia bangun sendiri.

1
Dew666
Up juga nih… yg banyak up nya penasaran kapan Adel tau pengkhianatan mereka
Ibu negara
aku kok masih bingung
Dew666
Kapan Adelia tau perselingkuhan mereka 😭😭😭
Dew666
Poor Adelia 😭😭😭
Dew666
👄👄👄👄👄
Dew666
Kasian Adelia 😭😭😭😭😭
Dew666
Kapan Adel tau perselingkuhan mereka😭😭😭
Dew666
Lanjut… kapan Adel tau kebusukan mereka?
Dew666
Lanjut… ayo langsung ketauan aja, biar Adelia gak d bohongi lama-lama, kasian Adelia..
Dew666
🍒🍒🍒
Dew666
Kasian Adelia….
Dew666
😍👍
Dew666
😍😍😍
Dew666
Kalian berdua jahat👹
Dew666
🌻❤️
Dini Nuraeni: Terimakasih sudah mampir kak😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!