Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Sentuhan Pertama
"Pak Kenan," lirihnya. Angin malam berhembus menggoyangkan beberapa pohon buah di belakang Yuri, menjadi latarnya dengam penerangan yang kurang disisi ia berdiri.
"Yurika!" Kenan juga kaget sampai matanya melotot seolah sedang melihat hantu. Karena posisi Yuri tepat di dekat pepohonan, jantungnya berdetak dengan cepat.
"Pak...", sapa Yuri sopan sambil kembali berjalan sedikit pincang.
"Kaki kamu kenapa?"
"Ah, ini kemarin saya keseleo Pak," Yuri menjawab disertai sedikit senyuman.
"Jadi, kamu yang tinggal di rumah kakak saya?," tanyanya penuh selidik.
"Kakak? Ah, iya pak. Saya yang tinggal di paviliun belakang, baru hari ini. Mari, Pak," pamit Yuri lalu terus berjalan, dengan isi kepala mendadak penuh.
Kenapa? Kenapa bisa? Kenapa harus Pak Kenan? Takdir macam apa ini, Tuhan.
Berbeda dengan Yuri yang penuh tanda tanya, bagi Kenan ini seperti sebuah hadiah dari Tuhan saat dirinya ingin mengenal lebih jauh salah satu mahasiswinya itu. Ia masuk ke dalam rumah dengan senyum merekah.
***
Di dalam kamar, Yuri baru saja ingin membaringkan tubuhnya, saat pintu depan diketuk cukup keras.
"Yurika", panggil Kenan dari balik pintu.
"Iya, Pak. Sebentar"
Yuri berjalan dengan tertatih menuju pintu dengan pakaian tidurnya yang cukup minim. Yuri, lupa. Serius, lupa.
Klik
"Ehem," Kenan sedikit kaget dengan tampilan mahasiswinya ini. Pakaian tidur satin bertali spageti—yang Kenan tebak tanpa dalaman— dengan celana mendek, sangat pendek berwarna pink. Sial.
"Pak?"
"Oh... Ini, buat kaki kamu. Belum kamu ganti kan perban elastisnya?"
"Belum, Pak. Mungkin besok selesai ujian mau ke rumah sakit , niatnya."
"Ganti saja sekarang. Ini saya ada perbannya. Itu sudah kamu pakai seharian, jelas nggak steril."
Yuri yang sudah cukup capek dan mulai mengantuk hanya mengiyakan permintaan dosennya. Ia menerima perbannya, tapi...
"Saya bantu"
"Eh—", Kenan sudah langsung masuk ke dalam rumah yang Yuri tempati.
"Mau di mana?", tanya Kenan sambil membalikkan badan ke arah Yuri yang masih berdiri di ambang pintu dengan perban di tangannya.
"Di ranjang saja ya. Sekalian kamu bisa langsung istirahat."
Ranjang, ranjang, ranjang
Yuri mendadak ngeblank. Ia berjalan masuk kedalam kamar dan duduk perlahan di tepi ranjang, berusaha menjaga napasnya agar tetap stabil.
Widya, lo harus tau ini. Kalau dosen kesayangan lo, ada di kamar gue sekarang, malam ini, jerit Yuri dalam hati.
Padahal, sejak Kenan masuk, udara di paviliun itu berubah. Hangat… atau justru terlalu dingin? Ia sendiri tidak tahu. Yang jelas, detak jantungnya seperti berpacu tanpa aba-aba. Berpacu kenapa? Yuri juga nggak tahu.
Kenan mendekat, langkahnya mantap tapi tatapannya penuh kehati-hatian, seolah sedang berada di wilayah yang nggak seharusnya dimasuki. Ia menaruh kotak kecil berisi perban baru di samping Yuri, lalu duduk ujung ranjang.
“Boleh saya lihat?” tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan penuh hasrat. Yuri hanya mengangguk pelan. Kenan yang biasanya tenang, mendadak harus menarik napas tertahan.
"Permisi ya, Yurika"
Tangan Kenan menyentuh pergelangan kaki Yuri. Hangat. Terlalu hangat. Gerakan membuka perban seolah melambat, sentuhan yang Kenan berikan membuat Yuri merinding sebadan-badan. Ia tersentak kecil, bukan karena nyeri, tapi karena kedekatan mereka saat ini. Dosen—yang biasanya hanya ia lihat berdiri di depan kelas—kini berada hanya beberapa centimeter darinya, jarak yang terlalu dekat untuk kenyamanan, tapi anehnya… tidak ada yang ingin mundur. Barang selangkah.
DAMN!
Kenan membuka perban lama di pergelangan kaki Yuri dengan pelan, telaten, seperti takut melukai. Jemarinya sesekali menyentuh kulit Yuri, dan tiap sentuhan halus itu membuat gadis itu menelan ludah susah payah.
“Kamu ini… kalau keseleo begitu, jangan dipaksa jalan jauh,” gumam Kenan, nada suaranya terdengar khawatir sekaligus lembut. “Sampai pulang malam begini juga.”
“I-iya, Pak,” bisik Yuri.
Lo, juga sering balik malem kali gue tau ya kelakuan lo, gumam Yuri dalam hati mencoba mengeraskan hati agar nggak jatuh ke pesona dosen tampannya.
Kenan menahan senyum, tapi garis senyumnya tetap terlihat samar. “Maaf, tadi saya sempat kaget melihat kamu di sini. Dunia sempit sekali, ya?”
“Iya, Pak…”, hanya ini yang bisa Yuri lontarkan. Semua terasa mendadak buatnya malam ini.
Mata mereka saling menangkap dalam jeda singkat yang terlalu lama untuk dianggap biasa apalagi posisi mereka malam ini. Yuri buru-buru memalingkan wajah, dan Kenan kembali fokus pada pergelangan kakinya, walau sesekali pandangannya naik tanpa sengaja dan menelan ludah melihat tubuh Yuri.
Beberapa saat kemudian, perban baru terpasang rapi di kakinya. “Sudah. Semoga kaki kamu besok lebih baik. Tapi tetap jangan dipaksa untuk jalan, Yurika.”
Yuri menatapnya dari posisinya. Kenan berdiri mendekat. Jarak mereka hanya satu langkah kecil—dan Yuri bisa merasakan aroma cologne lembut dari pria di depannya ini. Entah aroma cedar atau citrus… tapi yang jelas membuatnya nyaman. Memabukkan.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya pelan.
Kenan menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum menjawab, “Sama-sama.”
Yuri merasa suhu kamar kembali meningkat, atau itu cuma dirinya yang makin bingung dengan keadaan mereka malam ini?
Saat Kenan berbalik hendak pergi, Yuri tanpa sadar memanggilnya.
“Pak Kenan…”
Pria itu berhenti di ambang pintu. Menoleh. Tatapannya tenang tapi menusuk, seolah ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang Yuri belum tau apa yang sedang Kenan rasakan: ketertarikan yang tak seharusnya muncul, mungkin.
Yuri menggigit bibir. “Tadi… terima kasih banyak, sudah repot-repot.”
Kenan tersenyum kecil. Senyum yang tidak pernah ia keluarkan di kelas dam Yuri mendapatkannya.
“Untuk kamu, saya nggak merasa repot.”
Yuri terdiam. Jantungnya serasa jatuh lalu melonjak lagi. Apa maksud ucapan dosennya?
Kenan berjalan menuju pintu dan meraih gagang pintu, membuka sedikit, kemudian menambahkan dengan nada lebih lembut, “Istirahat, Yurika.”
Dan sebelum meninggalkan kamar itu, ia sempat menahan pintu sejenak sebelum tertutup, menatap Yuri sekali lagi dengan cara yang membuat mahasiswinya sulit bernapas, wajahnya sudah memerah sejak tadi.
“Jangan bikin saya khawatir lagi.”
Pintu tertutup pelan. Yuri langsung memeluk bantal didekatnya, wajahnya semakin panas
“Kenapa… bisa Pak Kenan, sih…” bisiknya lirih.
Di sebelah bantalnya, ponselnya bergetar, menandakan ada telepon masuk. Di sana tertera nama Ezra.
"Bang Ezra," lirih Yuri.
Dia belum selesai dengan urusan seniornya ini. Eh, harus berhadapan dengan dosennya juga malam ini, kepalanya sedikit pusing. Yuri menghembuskan napas kasar dan mengangkat telepon dari Ezra.
"Halo."
"Akhirnya lo angkat juga. Sudah sampe kosan kan?" suara Ezra terdengar penuh kekhawatiran.
"Sudah. Ini mau tidur." Yuri melirik jam digital di meja belajarnya yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Gue ganggu lo ya? Dari tadi pesan gue nggak ada yang lo balas."
"Gue tadi belajar sama teman-teman gue. Sorry," jawab Yuri, ada sedikit rasa bersalah. Semingguan ini Ezra sudah banyak membantunya dan begitu perhatian.
"Besok gue jemput, ya? Ujian jam berapa?"
"Besok ujian pagi. Nggak perlu, Bang, gue bisa berangkat sendiri kok."
"Nggak ada penolakan lagi ya Hana. Jam tujuh gue disana."
"Bang—", belum sempat Yuri menolak lagi, telepon sudah ditutup oleh Ezra.