Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tiba-tiba, suara pintu depan terdengar terbuka. Clara tersentak. Dengan cepat ia mengenakan bajunya kembali, menarik napas panjang, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah limbung.
Di ruang tamu, Kane, asisten pribadi Andrian, sedang mengumpulkan beberapa dokumen di meja kerja.
“Kane?” panggil Clara pelan.
“Ah, Nyonya... maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,” jawab Kane sopan sambil menunduk.
“Apakah Andrian sudah pulang?” tanya Clara, suaranya sedikit bergetar.
“Sebenarnya... belum, Nyonya. Tuan ada rapat mendadak. Besok pagi baru kembali. Nyonya, apakah Anda baik-baik saja? Wajah Anda terlihat sangat pucat.”
Clara tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur.” Ia menatap tas besar di tangan Kane. “Kenapa kau mengambil barang-barangnya?”
“Tuan akan pindah ke rumah pribadinya mulai besok. Jadi saya datang untuk mengambil sebagian barang milik beliau.”
Clara terpaku. Kata-kata itu seperti menghantam dadanya.
“Ternyata... dia benar-benar tak ingin tinggal di sini lagi,” batinnya lirih. “Demi menjaga jarak denganku,"
Kane menunduk sopan. “Nyonya, Tuan juga sudah memindahkan nama apartemen ini untuk Anda. Termasuk mobil dan uang tunai—semuanya sudah diatur.”
Clara menatap kosong ke depan, lalu berkata pelan namun tegas, “Kane, sampaikan padanya... aku tidak menginginkan apa pun. Apartemen, mobil, uang, semuanya bukan hal yang kuinginkan. Kami bukan suami-istri yang saling mencintai. Dia tidak berutang apa pun padaku. Besok aku akan pindah.”
“Tapi Nyonya... ini kompensasi dari Tuan—”
“Tidak perlu kompensasi!” potong Clara cepat. Ia tersenyum getir. “Walau aku memiliki semua ini, aku bahkan tidak sempat menikmatinya.”
Ia mulai melangkah ke arah kamarnya, lalu berhenti di ambang pintu.
“Kane...” panggilnya lirih.
Kane menoleh. “Ya, Nyonya?”
“Beritahu Andrian... kalau dia ingin bertemu pacarnya, pastikan tidak ada yang tahu.”
Kane menatap bingung. “Maksud Nyonya?”
Clara mengambil ponselnya, lalu menunjukkan foto itu. “Foto ini. Aku akan menghapusnya. Pastikan tidak tersebar ke mana-mana. Aku... hanya tidak menyangka, dia begitu tak sabar menemui kekasihnya.”
Ia tersenyum tipis menahan sakit di hatinya, lalu melangkah pergi, meninggalkan Kane yang hanya bisa memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar.
"Gawat! Salah paham! Tapi, dari mana nyonya dapat foto itu?" gumam Kane.
Clara kembali ke kamarnya, langkahnya gontai. Begitu pintu tertutup, ia bergegas ke kamar mandi. Nafasnya tersengal menahan efek obat yang mulai menyerang tubuhnya.
Tangannya gemetar saat meraih pisau di atas wastafel. Perlahan, ia menggulung lengan bajunya. Terlihat deretan luka sayatan lama—bekas perjuangannya menahan rasa sakit yang tak seorang pun tahu.
Dengan tekad yang tersisa, ia menggoreskan pisau itu lagi di pergelangan tangannya. Darah segar mengalir pelan, menetes ke lantai.
“Aaah…” rintihnya lirih, antara sakit dan lega.
Clara menahan diri agar tetap sadar, agar efek obat itu tak menguasai pikirannya. Ia melangkah pelan menuju bathtub yang sudah terisi air. Menenggelamkan dirinya perlahan, hingga hanya wajahnya yang masih terlihat di permukaan.
“Clara… setelah malam ini, semua penderitaanmu akan berakhir,” bisiknya sendiri. “Besok, kau tak perlu lagi bertahan di dunia yang begitu kejam ini. Bibi Shu, maafkan aku…”
Ia memejamkan mata. Air di sekelilingnya mulai berubah warna.
Beberapa jam kemudian, Clara perlahan mulai sadar. Kepalanya terasa berat, tubuhnya semakin pucat, dan efek obat yang bekerja di tubuhnya membuatnya kewalahan. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berusaha bangkit dari bathtub.
Air menetes dari ujung rambutnya saat ia mengambil handuk dan melilitkan pada tangan yang penuh luka. Setiap gerakan terasa menyakitkan, namun ia memaksakan diri.
“Andrian…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Bahkan untuk terakhir kalinya… aku tidak bisa melihatmu.”
Tubuhnya terhuyung saat keluar dari kamar mandi. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang gelap.
Beberapa jam kemudian.
Clara sudah berpakaian rapi. Di atas ranjang, koper kecil telah terisi dengan pakaian seperlunya. Ia hanya meninggalkan beberapa baju dan barang-barang pribadi yang bukan miliknya.
“Barang yang bukan milikku… tidak akan aku bawa,” ujarnya pelan sambil menatap sekeliling kamar yang penuh kenangan pahit. “Aku hanya akan membawa apa yang benar-benar milikku.”
Ia melepas cincin pernikahannya, menatapnya sejenak—mata Clara berkaca-kaca namun tak ada air mata yang jatuh. Perlahan, ia meletakkan cincin itu di atas meja, di samping sepucuk surat yang telah ia tulis dengan tinta yang nyaris luntur karena darah dari tangannya.
Bandara.
Malam pukul 08.00
Pesawat baru saja mendarat. Andrian melangkah keluar dengan jas rapi dan kacamata hitam menutupi pandangannya. Udara malam menyambut dingin, sama seperti tatapan matanya.
Kane sudah menunggu di sisi mobil. Begitu tuannya mendekat, ia menunduk hormat.
“Tuan, semua yang Anda perintahkan sudah saya lakukan,” lapor Kane.
Andrian hanya mengangguk singkat.
“Baik,” jawabnya dingin, lalu melangkah masuk ke mobil.
Mobil hitam itu melaju perlahan meninggalkan bandara.
Tepi Pantai.
Clara berdiri di tepi ombak dengan koper kecil di tangannya. Angin malam menerpa rambutnya yang basah, dan suara debur ombak menjadi saksi bisu keputusannya.
Langkahnya pelan, tapi pasti. Ia menatap laut lepas, air mata jatuh bercampur dengan air asin.
“Andrian…” ucapnya pelan. “Selamat tinggal. Sejak awal… kita tidak seharusnya bertemu, apalagi menikah.”
Ia menarik napas panjang, menatap langit yang kelam tanpa bintang.
“Tapi setidaknya, aku pernah merasakan bahagia… walau hanya sesaat, bersamamu.”
Clara meletakkan kopernya di pasir, menutup matanya, lalu melangkah masuk ke dalam air laut yang dingin. Ombak menyambutnya, menenggelamkan perlahan tubuh rapuh itu ke kedalaman yang sunyi.