NovelToon NovelToon
REVENGE

REVENGE

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Jmn

Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Arena ujian

Suara dentuman tembakan bergema di lapangan belakang markas Evan. Peluru-peluru kecil menembus tepat di tengah papan sasaran.

Dorr! Dorr! Dorr!

Elina meletakkan pistolnya, menarik napas pelan. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya tajam dan fokus. Evan berdiri tak jauh darinya, tangan di silangkan di dada.

"Bagus," ucapnya datar. "Tapi tangan kirimu masih agak goyah. Fokus pada titik tengah, jangan kejar pelurunya. Biarkan peluru mengikuti tatapanmu."

Elina mengangguk. Ia mengambil satu pistol lagi, menarik pelatuk. Kali ini lima tembakan dilepaskan cepat, semuanya tepat di tengah lingkaran."

Evan tersenyum samar. "Nah, itu baru Elina."

Hari itu, bukan hanya latihan pistol yang menunggu Elina. Evan sudah menyiapkan rangkaian latihan baru: pisau, belati, hingga senjata tajam jarak dekat.

"Ambil ini." Evan melemparkan sebilah belati ke arah Elin. Gadis itu menangkapnya dengan satu tangan tanpa kesulitan.

"Senjata ini bukan untuk gaya," ujar Evan. "Kalau kamu tidak menyatu dengan pisau itu, kamu hanya akan melukai dirimu sendiri."

Elina menatap senjata ditangannya. Ujungnya berkilat memantulkan sinar matahari. Ia menggenggam erat. "Kalau begitu, El harus menyatu dengannya."

Evan mengangguk puas. "Kita mulai dari gerakan dasar."

Latihan berlangsung keras. Setiap gerakan Elina diiringi suara gesekan udara dan langkah cepat. Evan mengarahkan dari belakang, kadang menghentikan pergerakan gadis itu hanya untuk memperbaiki posisi pergelangan atau arah tusukan.

"Jangan pakai tenaga, pakai insting. Dengarkan udara di sekitarmu."

Elina menghembuskan napas perlahan, menutup mata sejenak, lalu bergerak. Pisau di tangannya menebas bayangan udara seolah sedang melawan musuh tak terlihat. Gerakannya makin cepat, makin presisi.

Evan tersenyum. "Kamu cepat belajar, El."

"Kalau El gak cepat, Om gak akan sabar ngajarin lagi," sahut Elina sambil terkekeh kecil.

"Tahu juga," jawab Evan datar, tapi matanya jelas memancarkan kebanggaan.

Beberapa hari kemudian, latihan Elina mencapai tahap yang lebih berat. Rio datang membawa kabar, "Tuan, semua sudah siap."

Evan berdiri di tepi arena latihan yang luas. Dua puluh pengawal terbaiknya berdiri membentuk lingkaran. Mereka semua berpakaian serba hitam, masing-masing sudah siap dengan postur bertarung.

"El," panggil Evan.

Elina melangkah ke tengah lingkaran. Tubuhnya sudah terbiasa dengan rasa sakit, tapi kali ini berbeda. Tatapan mata dua puluh orang itu seperti ujian hidup dan mati.

"Mulai dari satu lawan satu," perintah Evan. "Kalau kamu bisa bertahan, lanjutkan ke yang berikutnya. Tidak perlu menang—cukup tunjukkan kamu bisa berdiri."

Elina mengangguk. "Siap."

Lawan pertama maju. Tubuhnya tinggi besar, gerakannya cepat. Elina sempat terdorong mundur beberapa langkah, tapi ia langsung memutar tubuh, menendang perut pria itu. Bugh! Lawannya jatuh terengah.

“Lanjut!” seru Evan.

Lawan kedua datang dengan serangan cepat. Elina menangkis, berputar, lalu menjatuhkannya dengan kuncian di bahu.

Satu per satu, lawan terus datang. Napas Elina makin berat, tapi matanya tetap fokus. Ia jatuh, berdiri lagi. Tersungkur, tapi kembali melawan.

“Nomor tujuh, maju!”

Kali ini dua orang sekaligus. Evan sengaja menaikkan tingkat kesulitan. Elina bertahan sekuat tenaga, menangkis pukulan dari kanan dan kiri, lalu menendang lutut salah satu hingga lawannya jatuh berlutut.

Rio yang berdiri di sisi lapangan berbisik, “Dia luar biasa…”

Evan tidak menjawab, hanya menatap dengan sorot mata dalam.

“Nomor sebelas, dua belas, maju.”

Keringat mengalir di pelipis Elina, napasnya memburu. Tapi dia tidak menyerah. Ia menunduk, menangkis, lalu memutar tubuh secepat kilat dan menjatuhkan dua lawannya dengan gerakan silang yang rapi.

“Lanjutkan!”

“Om… El masih sanggup,” ucap Elina sambil terengah, tapi senyum kecil terukir di wajahnya.

“Buktikan,” balas Evan dengan nada datar tapi jelas mengandung kebanggaan.

Lawan terakhir maju—seorang pengawal berpengalaman, tinggi besar, dengan serangan yang brutal. Elina mundur beberapa langkah, lalu melompat ke depan, menggunakan momentum untuk mengunci leher lawannya dari belakang. Dengan satu gerakan cepat, pria itu jatuh terkapar ke tanah.

Hening.

Evan melangkah ke tengah arena, mendekati Elina.

“Sudah cukup,” katanya pelan.

Elina berdiri tegak, matanya menatap lurus ke depan. “El belum sempurna.”

Evan menatapnya dalam-dalam. “Kesempurnaan bukan tujuan, El. Yang penting, kamu tetap berdiri setelah dijatuhkan.”

Elina menunduk hormat, napasnya tersengal. “Terima kasih, Om.”

Evan menepuk pundaknya, lalu berbalik pergi. Namun di matanya, ada sesuatu yang belum terucap—antara kagum, takut, dan bangga.

Rio menatap dari jauh, lalu berbisik lirih, “Dia bukan gadis biasa, Tuan… tapi entah, apakah ini berkah atau awal dari sesuatu yang besar.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!