ASI UNTUK BAYI MAFIA

Jade menarik nafas panjang, lalu menghelanya dengan pelan. Situasi yang tiba-tiba seperti ini, tentu membuatnya sedikit merasa tidak nyaman.

Jade menunduk, merapikan kain tipis yang menutupi bagian atas dadanya, memastikan kain itu cukup untuk menutupi bagian yang tak seharusnya dia perlihatkan pada Adriano.

"Kenapa kau melihatku begitu?" tanya Jade lembut.

Adriano langsung menoleh. "Apa? Siapa yang melihatmu?"

Jade mendongak dan menatap pria itu. "Aku sedang tidak bicara denganmu, Tuan. Aku bicara pada Max."

Adriano terdiam sejenak, kemudian dia mengangguk singkat. Sementara Jade hanya tersenyum kecil melihat reaksi pria itu.

Adriano bersandar kembali ke sofa. Pandangannya sesekali terarah ke jendela, tapi sesekali pula menoleh ke arah Jade.

Adriano tidak benar-benar menatap, tetapi cukup untuk membuat harinya berdebar tanpa alasan yang jelas.

"Aku tidak tahu kalau bayi bisa begitu tenang saat disusui," kata Adriano akhirnya. Suaranya terdengar berat, tetapi lebih lembut dari biasanya.

Jade tersenyum kecil tanpa menatap pria yang sedang bicara padanya. "Itu karena Max merasa aman, Tuan. Bayi bisa mengenali siapa yang membuatnya merasa nyaman, bahkan tanpa kata-kata."

"Benarkah?" Adriano bertanya sambil menatap kosong ke lantai.

"Benar, Tuan," jawab Jade. "Maaf jika lancang. Ta-tapi, Max pasti mengira bahwa aku adalah ibunya, ibu yang memberinya cinta."

Adriano mengangguk. "Ya, aku tahu. Kau yang menyusuinya. Sudah pasti dia mengira kau ibunya."

"Anda tidak perlu khawatir, aku akan menjadi pengasuh putra Anda sampai dia dewasa. Anggap saja aku bekerja di sini, dan aku memang membutuhkan pekerjaan," ucap Jade dengan tulus.

Adriano mengangguk perlahan. Dia lalu memperhatikan wajah Jade dari kejauhan. Ketenangan yang terpencar, dan senyum yang lembut seolah mampu menyembuhkan. Dia tidak tahu kenapa. Namun, pemandangan itu menimbulkan rasa aneh di dadanya. Seperti sebuah rindu yang tak dimengerti.

"Dulu.... Catarina tidak mau merawat Maximo," ungkap Adriano tiba-tiba. "Dia tidak mau menyentuhnya. Dia bilang bayi terlalu berisik dan sangat merepotkan."

Jade hanya mendengar, tak ingin langsung menghakimi. Dia tahu, menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Harus benar-benar siap, dan mau menerima kehadiran bayi yang tentunya akan menambahkan kesibukan dalam hari-hari yang dulu penuh kebebasan.

"Dia bukan ibu yang baik," kata Adriano lagi.

"Mungkin istri Anda belum siap untuk menjadi seorang ibu, Tuan," sahut Jade.

Adriano tertawa sinis. "Belum siap? Entahlah, aku tidak bisa membaca jalan pikirannya."

Jade tak mengatakan apapun, dia hanya diam, bingung bagaimana harus merespon. Dia tidak suka menghakimi orang lain.

"Aku juga tidak tahu bagaimana harus mengurus bayi. Mungkin aku juga belum siap," ungkap Adriano. "Aku takut tidak bisa memberikan kesempurnaan untuk Max."

Tangan Jade yang sedang mengelus kepala Max langsung terhenti. Dia mengangkat kepalanya, menatap Adriano. "Setiap bayi hanya ingin dicintai, bukan disempurnakan. Mereka butuh cinta."

Kata-kata wanita itu sederhana, tapi menghantam sisi hati Adriano yang paling dalam. Dia menunduk, menggenggam tangannya di atas lutut.

"Aku sudah kehilangan banyak hal dalam hidup ini, Jade. Aku tidak mau kehilangan putraku juga."

Jade menatapnya kali ini, benar-benar menatap. Ada luka di balik mata dingin itu. Luka yang dalam, tapi disembunyikan dengan rapat.

"Kalau begitu," katanya dengan suara pelan. "Jangan hanya memberinya uang atau perlindungan. Beri dia waktu, kasih sayang. Itu hal yang paling dia butuhkan."

Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara lembut Maximo yang mulai tertidur dalam pelukan Jade.

Adriano berdiri, melangkah pelan ke arah mereka. Jade sontak menegang, tapi pria itu hanya menatap bayi kecil itu, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh anaknya dengan lembut.

"Terima kasih, Jade," katanya pelan. Nada suaranya kali ini berbeda. Hangat. Manusiawi.

Jade mengangguk kecil, berusaha menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba muncul di pipinya. Saat Adriano melangkah keluar dari kamar, Jade baru menyadari sesuatu, entah sejak kapan, tapi keheningan di mansion itu kini terasa berbeda. Lebih hidup, dan lebih hangat.

...*************...