Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 — Amarah Seorang Ibu
Pintu mobil tertutup dengan suara thak yang terdengar lebih keras dari biasanya. Aruna duduk di kursi belakang, menunduk, tangan kecilnya gemetar sambil memegang tas.
Karina masuk ke kursi depan tanpa satu kata pun. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Napasnya naik-turun cepat, seolah menahan sesuatu yang siap meledak kapan saja.
"Pak Rafi, jalan,” ucap Karina pendek.
Mobil bergerak meninggalkan halaman panti. Aruna hanya sesekali menoleh ke belakang, mencari sosok Aru yang makin mengecil.
Karina menangkap gerakan itu lewat kaca spion.
“Cukup.” Suaranya tajam.
Aruna tersentak.
“Mama nggak mau lihat kamu menoleh lagi,” lanjutnya. “Kita sudah bicara soal panti itu. Sudah Mama bilang jangan pergi ke sana. Kenapa kamu bandel sekali, Aruna?”
Aruna mengusap matanya yang mulai panas. “Maaf, Ma… aku cuma—”
“Cuma apa?” Karina membalikkan tubuh setengah, matanya tajam dan terluka sekaligus. “Cuma mau ketemu Aru? Cuma mau dekat dengan anak yang bahkan kamu nggak kenal?”
Aruna menggigit bibir. “…tapi aku kenal, Ma.”
Karina terdiam sepersekian detik. Kata-kata itu seperti pisau kecil yang menusuk bagian yang paling ia takuti.
Ia menoleh kembali ke depan, menahan getaran kecil di suaranya.
“Dia bukan siapa-siapa buat kamu.”
Aruna menatap punggung ibunya, suara kecilnya pecah, “Tapi rasanya dia kayak… aku.”
Karina memejamkan mata. Kalimat itu lagi.
Sejak pertama kali dua anak itu bertemu, sejak Aru memeluk Aruna seolah mereka sudah saling mencari sejak lahir… sejak tatapan pertama itu—ketakutan dalam diri Karina tidak pernah benar-benar padam.
Dan kini, kalimat Aruna membuat itu menyala lagi.
“Sudah.” Suara Karina rendah tapi mengandung badai. “Mama nggak mau dengar lagi.”
Begitu mobil berhenti, Karina turun tanpa menunggu Aruna. Ia berjalan masuk rumah dengan langkah cepat, menahan napas yang terasa panas di dada. Aruna menyusul pelan, seperti anak yang tahu sedang menghadapi badai tapi tidak tahu harus bersembunyi di mana.
Pintu tertutup dengan suara berat.
“Duduk,” kata Karina tanpa menoleh.
Aruna duduk di ujung sofa, wajah menunduk. Jemarinya meremas tas, takut berbicara salah.
Karina berdiri di hadapannya. Bukan marah membabi buta—tapi marah yang lahir dari panik dan rasa kehilangan kontrol.
“Kamu tahu Mama khawatir?” suaranya rendah tapi tegas. “Kamu pergi tanpa izin. Kamu bohong soal sekolah. Kamu—”
“Maaf, Ma…” Aruna langsung berkata. “Aku cuma mau balikin kelereng Aru.”
“Bukan soal kelereng!” Nada Karina naik, lalu turun lagi, seolah ia berusaha mati-matian tidak meledak. “Kamu pergi ke tempat yang Mama larang. Kamu bertemu orang-orang yang… Mama tidak kenal.”
Aruna menunduk semakin dalam. “Tapi Aru baik. Aru nggak jahat.”
Karina menutup mata sejenak. Itu bukan inti masalah—tapi ia tidak bisa menjelaskan inti yang sebenarnya pada anak kecil.
“Aruna,” ucapnya lebih lembut tetapi tetap tegang, “kamu itu masih kecil. Ada hal-hal yang Mama dan Papa tahu… yang kamu belum boleh tahu.”
Aruna menggigit bibir. “Termasuk kenapa Mama nggak suka aku main sama Aru?”
Karina terdiam.
Ada jeda panjang.
Jeda yang membuat Aruna mengangkat kepalanya sedikit.
Karina menggeleng pelan. “Mama bukan nggak suka. Mama cuma… takut kamu terlalu dekat dengan orang yang kamu tidak benar-benar kenal.”
“Justru aku kenal, Ma,” ucap Aruna lirih. “Rasanya kayak udah lama…”
Karina mengalihkan tatapan. Kata-kata itu sudah terlalu sering muncul—dan setiap muncul, dadanya seperti dipukul dari dalam.
Ia tidak sanggup merespons, jadi ia memilih kembali ke nada tegas.
“Mulai hari ini, kamu tidak boleh ke panti itu sendirian. Dan kamu tidak boleh pergi tanpa izin Mama. Titik.”
Aruna mengangguk pelan—tapi air matanya jatuh diam-diam.
Karina melihatnya, tapi menahan diri untuk tidak memeluk. Ia takut jika ia memeluk… dirinya akan runtuh.
Pintu depan terbuka.
Rendra pulang dengan wajah lelah, tapi langsung berhenti melihat atmosfer tegang di ruang tamu.
“Kenapa?” tanyanya pelan.
Karina menoleh. “Aruna pergi ke panti. Pagi-pagi. Tanpa izin. Dan dia bertemu anak itu… lagi.”
Nada “anak itu” keluar sangat hati-hati, seolah Karina takut jika ia menyebut nama Aru, sesuatu akan goyah.
Rendra mengarahkan pandangan ke Aruna. “Benar begitu?”
Aruna mengangguk, takut dimarahi Papa juga.
Tapi Rendra duduk tanpa meninggikan suara. “Aruna, kamu harus bilang dulu ke Mama. Papa nggak suka kamu diam-diam begitu. Bahaya.”
Aruna mengusap matanya. “Aku cuma mau balikin kelereng Aru...”
Rendra terdiam. Ia menatap Karina, memberi sinyal halus: jangan terlalu keras.
Karina membalas tatapan itu dengan sinyal lain: aku bukan marah soal itu.
Rendra paham.
Dia berdiri, mendekati Karina. Suaranya rendah agar Aruna tidak terlalu mendengar.
“Ini bukan soal Aruna bandel, kan?” ucapnya.
Karina menoleh perlahan. Sekilas, ketakutan itu muncul di mata Karina—ketakutan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Aku cuma…” napas Karina bergetar, “nggak mau ada yang… berubah.”
Rendra menatap istrinya dalam-dalam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan—atau tanyakan—tapi ia menahan.
Bukan waktu yang tepat.
“Sudah, kita tenang dulu,” ucap Rendra lembut.
Karina menghela napas panjang. Ia mengangguk, meski hatinya belum tenang sama sekali.
Aruna memperhatikan kedua orang tuanya diam-diam. Ia merasa seperti ada yang besar sedang disembunyikan, tapi ia tidak tahu apa.
Rendra mengusap pelan punggung Karina sebelum melangkah masuk ke ruang kerjanya. Ia butuh waktu berpikir; tatapan Aruna yang terluka barusan terlalu menusuk untuk diabaikan, dan tatapan Karina yang penuh ketakutan… lebih tajam lagi.
Aruna masih duduk di sofa. Setelah kedua orang tuanya menjauh, ia perlahan menengadahkan wajah. Matanya bengkak, tapi ada keras kepala kecil yang tetap menyala.
Karina melihat itu dari kejauhan.
“Aruna,” panggilnya, suaranya tidak setajam tadi—tapi juga tidak lembut sepenuhnya.
Aruna menoleh, hati-hati.
Karina mendekat, duduk di sampingnya. Satu hal yang selalu sulit ia pelajari sebagai ibu: bagaimana mengendalikan ketakutan tanpa melukai anaknya sendiri.
“Dengar,” ucap Karina pelan. “Mama bukan mau jahat. Mama cuma… nggak mau kamu berada di tempat yang Mama nggak bisa jangkau.”
Aruna diam.
“Mama cuma takut kamu kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Itu saja.”
Aruna menggigit bibir, lalu berbisik lirih, “Tapi Aru nggak bikin aku kenapa-kenapa, Ma.”
Karina menahan napasnya yang tiba-tiba melonjak. Ia menatap wajah putrinya—mata itu, pipi itu, dagu itu… semuanya membuat tubuh Karina bereaksi dengan cara yang tidak pernah ia mengerti.
“Aru itu baik,” Aruna mengulangi, lebih mantap. “Aku suka main sama dia.”
Karina membuka mulut—ingin mengatakan sesuatu—tapi suaranya tidak keluar.
Satu-satunya hal yang keluar hanyalah tatapan yang penuh panik.
“Aruna…” Karina memegang tangan kecil itu. “Ada hal-hal yang kamu belum tahu. Ada alasan kenapa Mama… tidak nyaman kamu dekat dengan Aru.”
Aruna menunggu, menatap ibunya dengan mata yang jernih dan percaya.
Sampai langkah kaki Rendra terdengar di lorong.
Rendra kembali ke ruang tamu“Aruna, mandi lalu ganti baju dulu. Setelah itu makan dan tidur siang nanti sore kita jalan-jalan ”
Aruna mengangguk kecil. Ia berdiri, masih memegang tas seperti memegang sesuatu yang jauh lebih berat dari buku-buku di dalamnya.
Saat Aruna naik ke lantai dua, Rendra menoleh ke Karina.