Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TENTANG TENANG
Pagi menjelang dengan perlahan, membawa cahaya tipis yang menyelinap lembut melalui tirai kamar Asha. Biasanya, sinar itu membangunkannya dengan rasa hangat dan nyaman—seperti panggilan halus sang Ibu dari dapur.
Namun hari ini…
Cahaya itu justru menyoroti ruang yang terasa kosong.
Asha membuka mata perlahan. Udara kamar yang biasanya dipenuhi aroma masakan pagi ibunya kini hening, dingin, dan terasa terlalu luas untuk seorang diri.
Tak ada suara panci, tak ada langkah kaki, tak ada panggilan lembut memintanya turun membantu.
Ini adalah kali pertama ia bangun tanpa keberadaan ibunya di rumah.
Tubuhnya terbangun, tapi jiwanya terasa tertinggal di tempat lain—di makam yang baru kemarin ia tinggalkan. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lutut, memandangi lantai yang terasa asing. Sunyi benar-benar menusuk.
Setiap kebiasaan pagi tiba-tiba berubah menjadi bayangan...
Ia biasa membantu ibunya menyiapkan makanan untuk dijual.
Ia biasa menyapu halaman sambil mendengarkan ibunya mengobrol tentang pelanggan yang akan datang.
Ia biasa mendengar suara batuk kecil ibunya dari dapur, rutinitas sederhana yang selalu membuat rumah terasa hidup.
Sekarang,
Rumah itu seperti kehilangan denyutnya.
Usai membersihkan diri dan bersiap untuk mengawali rutinitas tanpa Ibu, Asha bangkit pelan. Kakinya melangkah menuju dapur, meski ia tahu yang akan ia temui hanyalah ketiadaan—lantai dingin, meja kerja yang kosong, peralatan masak yang tertata rapi seolah menunggu seseorang yang tak akan kembali.
Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu depan.
Sekali...
Lalu dua kali,
Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Asha tersentak dari lamunannya.
Ia mengusap pipinya cepat, bahkan tak sadar kapan air mata mulai turun. Lalu, ia berjalan menuju ruang tamu dengan langkah perlahan. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya, sehingga suara ketukan itu terdengar jauh lebih jelas dan dekat sekaligus.
"Ma-Mas Adit." Gumamnya, saat pintu terbuka lebar.
Adit berdiri di sana.
Pria itu tampak rapi, tapi wajahnya menyimpan kecemasan yang sulit disembunyikan. Di kedua tangannya, ia membawa dua kantong plastik berisi beberapa kotak makanan. Ada aroma hangat yang langsung menyebar ketika angin pagi lewat—aroma bubur ayam, roti hangat, dan sesuatu yang manis.
“Aku… bawain sarapan,” Ucap Adit pelan, suaranya lembut, hati-hati, seolah khawatir kata-katanya akan menyakiti Asha yang masih rapuh.
Ia kemudian menunduk sedikit, menatap Asha dengan mata yang penuh perhatian, tanpa paksaan. "Kamu belum sarapan, kan?"
Asha menggeleng tanpa suara.
"Aku bukannya gak percaya kamu bisa masak, tapi aku ngerasain apa yang kamu rasain sekarang." Lanjut Adit. "Kita makan dulu, yuk?"
Asha mengangguk, "Tapi… kita jangan makan di rumahku ya, Mas.” Ia menatap Adit sebentar, canggung namun jujur. “Aku takut… tetangga nanti ngomong macam-macam. Aku sendirian sekarang, aku nggak mau jadi bahan omongan.” Nada suaranya bukan menolak, bukan menjauh—lebih seperti seseorang yang berusaha menjaga diri di tengah keadaan yang rapuh.
Sementara itu, Adit berdiri mematung beberapa detik, menatap Asha dengan perasaan yang sulit ia sembunyikan.
Ada segan, ada haru, dan ada bangga yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
Asha bukan seperti yang Mama dan Maya pikirkan. Dia bukan wanita sembarangan.
Dia tahu menjaga diri, menjaga nama baik, bahkan ketika hidupnya sedang runtuh. Andai Mama dan Kak Maya dengar ucapan Asha sekarang.
Adit menunduk sedikit, bukan karena rendah diri, tapi karena rasa hormat yang tumbuh semakin kuat. Yang berdiri di depannya bukan hanya perempuan yang ia cintai, tetapi perempuan yang membuatnya yakin bahwa pilihannya tidak keliru.
"Mas?" Seru Asha mengejutkan.
"Kita pergi sekarang?"
Asha mengangguk tanpa suara.
****
Rumput yang masih lembap oleh embun bersinar lembut saat matahari mulai naik. Udara dipenuhi aroma tanah basah, bercampur wangi dedaunan yang tersaput sinar pagi. Mereka akhirnya memilih sebuah taman pusat kota, letaknya tak jauh dari kampus mereka dan kantor Adit.
Mereka duduk di sebuah bangku taman kayu di bawah pepohonan besar. Daun-daunnya bergoyang pelan tertiup angin, menebarkan bayangan yang bergerak ritmis di permukaan bangku.
Adit membuka kotak makanan, meletakkannya di antara mereka.
“Nasi kuning,” Katanya pelan. "Aku tahu kamu gak suka Bubur. Makanlah."
Asha tersenyum tipis, senyum yang mulai memecah kabut duka walau hanya sedikit.
“Terima kasih, Mas…"
Adit mengangguk singkat, kemudian membuka kotak makannya sendiri. Tanpa banyaK bicara, ia mulai menyuap makanan, gerakannya tenang, seperti berusaha menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, bahwa ia hanya ingin menemani Asha—tanpa tekanan apa pun.
"Enak?" Kata Adit kemudian.
"Enak, Mas." Angguk Asha.
"Yang pasti, lebih enak masakan kamu." Ungkap Adit. "Setelah kita menikah nanti, sering-sering ya... buatin aku makanan."
Asha tertawa kecil dengan sebuah anggukkan di kepala.
"Mulai minggu depan. Janji?"
Asha tersedak. Bukan karena makanannya,
tapi karena kata-kata Adit yang meluncur tiba-tiba. Ia menutup mulutnya cepat, matanya membesar terkejut. Tubuhnya sedikit membungkuk, mencoba mengatur napas sementara jantungnya berdebar keras. "Ma-Maksud kamu apa, Mas?"
Adit meletakan sendok di sisi, lalu meraih jemari Asha dengan penuh kehati-hatian. "Kita akan menikah. Minggu depan."
Adit menghela napas pelan, panjang, seolah mencoba menurunkan seluruh kegelisahan yang sejak tadi mengunci dadanya. Ketika ia menghembuskannya, bahunya merosot sedikit, menandai ketulusan yang tidak lagi ia sembunyikan. "Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku... gak ingin menunda ini terlalu lama. Aku ingin ada bersama kamu selalu, Asha."
Asha tertegun. "Tapi... Ibu dan Kakak—"
"Aku sudah katakan hal ini pada mereka." Potong Adit cepat. "Mereka memang tidak pernah setuju kita bersama kan? Itu bukan jadi halangan buat kita untuk hidup bersama."
Asha terdiam. Kata-kata itu seperti menghantamnya—hangat sekaligus menyakitkan. Ia tahu Adit berusaha meyakinkannya, namun bayangan penolakan keluarga selalu menghantui.
Dan, ia masih sangat ingat malam itu.
Makan malam pertama ketika Adit mengenalkannya pada keluarga besarnya. Meja makan yang panjang dengan lampu gantung kristal yang berkilau seharusnya memberi kesan hangat, namun suasana justru terasa kaku sejak ia datang. Tatapan pertama mereka membuat nyalinya langsung menciut—bukan tatapan ingin mengenal, melainkan tatapan menilai, menakar, lalu menolak.
Ibunda Adit menatapnya dengan alis yang naik sedikit, seolah tak percaya anaknya membawa pulang wanita seperti Asha. Sementara, sang kakak hanya memindai dari ujung rambut sampai ujung kaki, dingin dan tanpa senyum. Kalimat tajam jelas terdengar usai makan malam selesai, perbincangan antara Adit dengan keluarganya.
Dia… lebih tua, kan?
Apa kamu waras, menikahi wanita yang usianya gak beda jauh dari usia Kakak kamu?!
Latar belakang keluarganya juga… gak selevel.
"Sayang..." Adit mengejutkan sambil mengusap punggung jemari Asha lembut. "Aku nggak peduli lagi apa kata mereka, ucapan mereka ataupun orang lain itu gak penting lagi buat aku. Kamu tahu? Aku lebih takut kehilangan kamu daripada kehilangan restu siapa pun.”
Asha terdiam. Dadanya menegang. Kata-kata itu seperti hantaman hangat yang membuatnya sulit bernapas.
“Satu-satunya hal yang bakal aku sesali adalah kalau aku ngebiarin kamu pergi.” Lanjut Adit.
Ia tahu diri. Ia sadar betul bahwa Adit pantas memiliki wanita yang lebih muda, lebih serasi, lebih “ideal” menurut mata dunia—wanita yang bisa berjalan di sampingnya tanpa membuat siapa pun melontarkan komentar miring atau membandingkan latar belakang keluarga.
Tapi perasaan tidak pernah tunduk pada standar siapa pun.
Asha mencintai Adit bukan karena ketampanannya, bukan pula karena kemapanan yang dimiliki pemuda itu di usia semuda ini. Bukan itu yang membuat hatinya runtuh.
Yang membuatnya jatuh justru sesuatu yang jauh lebih dalam—kedewasaan Adit. Sebuah kedewasaan yang, anehnya, sering kali justru melebihi kedewasaannya sendiri. Cara Adit menenangkan tanpa merendahkan, menegaskan tanpa memaksa, menggenggam tanpa mengikat. Cara ia melihat Asha seolah-olah usia, masa lalu, dan segala kekurangannya tidak pernah menjadi cacat di mata lelaki itu.
Di balik semua yang orang lain lihat, Adit selalu menghadirkan ruang aman yang tak pernah Asha temukan sebelumnya. Dan karena itu, ia tahu… ia mencintainya dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan, selain bahwa hatinya memilih Adit sebelum logika sempat ikut campur
"Ma–“Mas…” Suara Asha pecah di ujung kata itu, bergetar seperti sesuatu yang rapuh baru saja tersentuh. Bulat bola matanya perlahan menghangat, memantulkan bayangan Adit yang berdiri di hadapannya—teguh, tapi cemas.
Kelopak matanya bergetar. Ia berusaha mengerjap cepat, mencoba menahan rasa yang naik begitu kuat dari dadanya. Namun percuma. Setetes air mata akhirnya lolos, mengalir pelan di pipinya, seakan menyingkap semua hal yang selama ini ia simpan rapat tentang ketakutan, kerendahan diri, dan rasa cinta yang terlalu besar.
"Hey... kok nangis?" Adit beranjak. Ia ganti posisi, duduk di samping Asha. "Apa kata-kataku menyakitimu?"
"A-Aku... aku gak tahu harus berkata apa, Mas. Bahkan dalam situasi ini pun, kamu berhasil membuat duniaku kembali merasa baik-baik saja." Asha menelan saliva. "Di saat aku kehilangan orang yang aku cinta, kamu berhasil mengantikan sesuatu yang lebih indah. Tapi... Satu hal yang aku takuti selama mengenal kamu, Mas. Aku takut. Takut kamu sadar kalau aku bukan perempuan yang pantas buat kamu.”
Adit terdiam sejenak—bukan karena ragu, tapi karena kalimat itu menusuk sesuatu dalam dirinya. Ia kemudian menarik Asha mendekat, memeluknya erat seakan takut perempuan itu menghilang jika ia melepaskannya sedetik saja.
“Sayang…” Napasnya terdengar berat. “Kamu itu… justru perempuan yang aku pilih. Yang aku perjuangkan. Yang aku sayang.”
"Makasih ya, Mas." Ucap Asha bergetar. "Makasih udah menerima aku."
"Aku beruntung bisa dapetin kamu, Asha." Bisik Adit, lembut.
****