apa jadi nya semula hanya perjalan bisnis malah di gerebek paksa warga dan di nikahi dwngan ceo super galak???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fuji Jullystar07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 3
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Calista. Dari balik tirai jendela, ia melongok, lalu buru buru merapikan bajunya. Ia mengenakan oversized sweater abu abu, rok jeans panjang, dan sneakers putih. Rambutnya dikuncir ponytail. Penampilannya sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya tampak manis dan menggemaskan.
Tanpa banyak pikir, Calista langsung bergegas keluar menghampiri Arsenio.
Di luar, Arsenio tengah bersandar santai pada bodi mobil. Begitu melihat Calista keluar, ia menoleh sekilas,lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Senyum kecil sempat hampir muncul di bibirnya, tapi langsung ia tahan.
“Kenapa dandan berlebihan? Mau dipamerin ke siapa?” tanyanya datar.
“Hah? Maksud pak arsen apa?” Calista mengernyit bingung.
“Sudah, ayo masuk.” Arsenio membuka pintu dan langsung masuk ke dalam mobil.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Calista sambil berusaha menarik sabuk pengaman yang susah ditarik. Arsenio melirik, lalu tanpa kata membantunya memasang sabuk itu. Jarak mereka sangat dekat. Mata mereka bertemu. Saling tatap.
“Jangan bawel,” gumam Arsenio pelan.
Calista hanya mengangguk. Lalu, ia pura-pura menarik resleting imajiner di mulutnya sebagai tanda akan diam.
Mobil mulai melaju meninggalkan kontrakan. Sepanjang perjalanan, suasana hening. Calista menatap ke luar jendela, sementara Arsenio sesekali mencuri pandang.
Mobil melaju menuju jalan tol ke arah Bandung. Musik pelan mengalun dari speaker, lagu jazz instrumental yang menenangkan.
Calista duduk dengan tangan di pangkuan, menatap ke luar jendela. Tapi setelah beberapa menit, rasa canggung mulai terasa.
“Pak Arsenio...” ujarnya akhirnya, memecah keheningan. “Sebenarnya kita ada meeting sama klien atau gimana, ya?”
Arsenio tak langsung menjawab. Ia menggenggam setir dengan satu tangan memperlihatkan otot langan yang kekar.
“Nggak ada meeting,” jawabnya santai. “cuman kita bakalan ketemu investor dari dubai dan sekalian cek progress proyek di villa.”
“Oh...”
Calista mengangguk-angguk. “Kirain ada jadwal ketat, soalnya Bapak sampai jemput segala…”
“ kamu susah cari transport, kan? Jadi sekalian.” Nada bicaranya tetap datar, tapi matanya sekilas menoleh ke arah Calista, memastikan ekspresi gadis itu.
Calista tersenyum canggung. “Oh iya, makasih ya, Pak…”
Hening lagi,Calista ragu tapi akhirnya bertanya, “Eh, villa nya yang mana ya? Kok sebelumnya aku belum pernah dengar ada proyek di Bandung”
Arsenio menghela napas ringan. “Villa itu milik perusahaan. Nggak banyak orang tahu. Cuma beberapa orang yang aku percaya yang boleh ke sana.”
“Wah… berarti aku termasuk yang dipercaya ya,” ucap Calista pelan, setengah bercanda.
Arsenio melirik. “Mungkin.”
“Mungkin?” Calista mengangkat alis.
“Liat nanti. Kalau kamu terlalu banyak ngomong di jalan, bisa diturunin di rest area,” sahut Arsenio tenang, tapi ada senyum tipis di ujung bibirnya.
Calista nyengir. “Siap, Pak! Mode diam aktif.”
Setelah percakapan singkat itu, suasana di dalam mobil kembali tenang. Jalanan menuju Bandung mulai naik turun, dihiasi pepohonan yang memanjang di sisi kanan kiri. Angin sejuk dari AC berpadu dengan melodi jazz yang mengalun pelan, membuat suasana jadi terlalu nyaman.
Calista bersandar di jok, matanya mulai berat. Ia mencoba tetap membuka mata, tapi rasa kantuk tak bisa ditahan.
Beberapa menit kemudian, Arsenio melirik ke samping. Calista sudah tertidur. Kepalanya sedikit miring ke kanan, rambut ponytail nya sedikit berantakan, dan bibirnya terbuka tipis seperti anak kecil yang kelelahan.
Arsenio menahan senyum. Matanya melembut.
Ia memperlambat kecepatan mobil sedikit. Satu tangan tetap di setir, tangan lainnya mengambil jaket tipis dari kursi belakang dan meletakkannya perlahan di atas paha Calista.
“kamu gak berubah Lili tetap sama imut nya seperti dulu ” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Calista bergumam pelan dalam tidurnya, seolah mendengar tapi tak sadar.
Arsenio hanya menggeleng kecil. Sorot matanya berbeda dari biasanya, tidak dingin, tidak tajam. Justru hangat, dan penuh kerinduan yang lama dipendam.
“Seandainya kamu ingat aku” bisiknya.
Mobil terus melaju menuju villa, sementara di dalamnya hanya ada suara napas tenang Calista.
Mobil berhenti perlahan di halaman villa yang terletak di kaki pegunungan. Udara sejuk langsung menyergap begitu mesin dimatikan. Villa dua lantai dengan desain modern minimalis gaya classic itu berdiri tenang di tengah hamparan hijau.
Calista masih tertidur, jaket tipis Arsenio tetap tergeletak di atas pahanya.
Arsenio memandangnya sejenak sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil. Ia berjalan ke sisi penumpang, lalu membungkuk sedikit dan mengetuk jendela pelan.
“Calista.”
Gadis itu mengerutkan alis dan menggumam, “Hmm?”
“Udah nyampe.”
Calista langsung terbangun. Refleks, ia merapikan rambut dan duduk tegak. Saat matanya benar benar terbuka, ia baru sadar dia ketiduran,di mobil di samping bosnya.
“Ya ampun!” serunya pelan, buru buru melepas sabuk pengaman. “Saya ketiduran, ya?”
Arsenio menyandarkan punggung ke pintu mobil sambil menyilangkan tangan. “bukan tadi kamu lagi kayang, pake nanya.”
Wajah Calista langsung memerah. “Aduh, maaf banget, Pak! Saya nggak nyadar, tadi tuh cuma merem sebentar doang”
“Kalau ngorok, saya rekam,” potong Arsenio datar, tapi ujung bibirnya terangkat sedikit.
Calista menatapnya horor. “Saya ngorok?!”
“Enggak tahu sih. Nggak sempat dengar, soalnya sibuk nyetir,” katanya santai sambil membalik badan. “Ayo. Masuk. Udara disini dingin.”
Calista menatap punggung Arsenio, masih malu setengah mati. Baru sadar kemudian kalau jaket yang menutupi pahanya bukan miliknya.
Ia menggenggam jaket itu, menatapnya sebentar, lalu mengikuti Arsenio masuk ke dalam villa.
Dalam hati, Calista berusaha keras menenangkan diri.
“Tenang, Calista,ini cuma kerja. Cuma kerja. Bukan liburan. Bukan date.”
Tapi jantungnya berdetak terlalu cepat untuk percaya.
Interior villa itu hangat dan mewah, dengan lantai kayu mengkilap, jendela besar menghadap ke taman, dan aroma kopi samar dari dapur yang membuat suasana terasa seperti rumah liburan rahasia. Arsenio membuka pintu dan membiarkan Calista masuk lebih dulu.
Calista melangkah ragu. “Wah, ini keren banget, Pak...”
Arsenio menanggapi dengan anggukan singkat. “Letakkan barangmu di kamar kanan. Kamu istirahat sebentar kalau mau. Nanti jam tiga, kita ke lokasi proyek.”
“Oke, makasih, Pak.”
Calista melangkah masuk ke kamar yang dimaksud. Kamarnya luas, tapi simpel. Ada ranjang queen size, jendela besar menghadap gunung, dan meja kerja dengan beberapa dokumen di atasnya.
Begitu pintu ditutup, Calista mendesah panjang sambil menjatuhkan diri ke kasur.
“Ya Tuhan, tadi aku tidur di mobil, di sebelah pak arsen, pake jaket dia pula . Astaga, Calista, jaga harga diri dong!”
Ia memeluk jaket tipis Arsenio yang tadi ditaruh di pahanya. Lembut, hangat, dan wangi.
Sementara itu, di ruang utama, Arsenio sedang membuka laptop sambil sesekali melirik ke arah pintu kamar Calista. Wajahnya tetap datar, tapi jari jarinya mengetuk meja tanpa pola. Ada sesuatu yang berisik di pikirannya, bukan kerjaan, bukan proyek,tapi Calista.
Beberapa menit kemudian, Calista keluar dari kamar. Ia sudah mencuci muka, rambutnya digerai, dan jaket Arsenio dilipat rapi di pelukannya.
“Pak, makasih ya buat jaketnya. Ini, saya balikin.”
Arsenio menoleh sekilas. “Simpen aja dulu. Udara di luar dingin.”
“Oh... oke,” jawab Calista canggung, lalu kembali duduk di ujung sofa, menjaga jarak seperti anak magang yang takut salah bicara.
Mereka duduk berseberangan. Arsenio tetap dengan laptop nya, tapi entah kenapa, kehadiran Calista membuat suasana jauh dari hening.
Calista melirik jam dinding. Masih ada setengah jam sebelum mereka ke lokasi proyek. Ia menggoyang kaki kecilnya, lalu bertanya pelan, “Pak Arsenio boleh nanya sesuatu nggak?”
Arsenio mengangguk tanpa menoleh.
“Kenapa saya yang diajak ke sini? Maksud saya baru, dan biasanya Bapak pergi bareng tim senior”
Kali ini, Arsenio menutup laptop nya perlahan. Lalu menatap Calista.
“jangan merasa spesial karena kamu penanggung jawab proyek ini jadi wajar saya ajak”
Calista merasa lega. “oh,syukur deh.tapi pak harus nya kan semua tim ikut terlibatkan?”
Arsenio hanya mengangkat alis tipis. “Kalau aku jelaskan sekarang, kamu makin banyak mikir. Mending simpan pertanyaannya.”
“Uh, baik, Pak,” jawab Calista pelan, agak bingung, agak penasaran, dan
Sementara Arsenio berdiri, mengambil jaket dari gantungan. “Ayo. Kita jalan sekarang. Lebih cepat selesai, lebih cepat balik.”
Dan Calista pun mengangguk, lalu mengikuti langkah pria itu keluar villa.