Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Angin pagi menyapu lembut di halaman depan rumah Keyla saat ia dan Kenny berjalan berdampingan menuju mobil. Suara langkah mereka bertemu di udara, menciptakan ritme aneh yang belum pernah ada sebelumnya—bukan kaku, bukan pula akrab. Hanya… berbeda.
Kenny membuka pintu mobil untuknya, sebuah tindakan yang… tidak pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Ia selalu masuk lebih dulu, membiarkan Keyla menunduk, membuka pintu sendiri, dan menyesuaikan diri dengan dunia Kenny yang luas dan dingin.
Keyla sedikit tertegun, tapi ia tidak menunjukkannya. Ia hanya masuk dan duduk dengan tenang.
Ketika Kenny duduk di kursi pengemudi, atmosfir berubah. Ada ketegangan halus yang merambat melalui ruang kecil itu. Keyla bisa merasakannya dari cara Kenny memegang setir—lebih erat dari biasanya.
“Aku akan mengajakmu ke tempat yang tenang,” ujar Kenny, tanpa menoleh.
“Untuk apa?”
“Supaya kita bisa bicara.”
“Kita bisa bicara di sini.”
“Tidak.” Kenny memotongnya. “Tidak dengan nada suaramu seperti itu.”
Keyla memutar bola mata, tetapi tidak membalas. Ia menatap keluar jendela, sementara mobil mulai melaju. Jalan kota terbentang luas, lampu-lampu toko dan kafe mulai terbuka, dan orang-orang berjalan dengan rutinitas mereka. Semuanya terasa hidup… tidak seperti kenangan kelam dari kehidupan sebelumnya.
Selama beberapa menit, tidak ada yang berbicara. Keheningan yang dulu terasa seperti penjara kini justru terasa seperti ruang yang menunggu diisi dengan sesuatu yang lebih penting.
Kenny akhirnya memecahnya.
“Kau benar-benar berubah.”
Keyla menoleh. “Apa itu masalah?”
“Ya,” jawab Kenny jujur, tanpa ragu.
Keyla mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kenapa?”
Kenny mengetukkan jari di setir. “Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan denganmu sekarang.”
Keyla hampir tertawa. “Memangnya selama ini kamu tahu?”
Kenny tidak membantah. Itu hal yang cukup langka.
**
Mobil berhenti di sebuah tempat yang tidak terlalu jauh—sebuah taman kota yang tenang, teduh oleh pohon-pohon besar. Hanya sedikit orang di sana. Pasangan yang sedang duduk di bangku, seorang ibu dengan anak kecil, dan beberapa orang tua yang berjalan santai.
Kenny keluar duluan, lalu membukakan pintu untuk Keyla. Sekali lagi, sebuah tindakan yang tidak pernah ia lakukan dulu.
“Terima kasih,” ucap Keyla datar.
Kenny mengangguk kecil—reaksi sederhana, tapi untuk Kenny itu sudah termasuk banyak.
Mereka berjalan ke arah bangku kosong di bawah pohon beringin besar. Cahaya matahari jatuh di sela-sela daunnya, menciptakan bayangan lembut di wajah mereka.
Keyla duduk duluan, lalu Kenny duduk di sampingnya, menjaga jarak. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
Seperti dua orang yang baru saja bertemu kembali.
Kenny menyandarkan tangan di lututnya. “Aku tidak mengerti kamu.”
“Tak perlu,” jawab Keyla cepat.
Kenny menatapnya—tatapan yang tajam, namun kali ini tidak menusuk. Lebih seperti… mencoba membaca pikiran seseorang.
“Aku perlu mengerti.”
Keyla mendesah. “Untuk apa, Kenny? Kita ini cuma mengikuti perintah orang tua. Kita dijodohkan, bukan pacaran. Kamu bahkan tidak pernah berusaha mengenalku.”
Kenny terdiam.
Keyla melanjutkan, dengan suara lebih lembut. “Aku tidak mau bertaruh lagi dengan perasaanku. Dulu aku terlalu… berharap.”
“Dulu?” ulang Kenny, matanya menyempit sedikit.
Keyla langsung tersadar. Ah… itu keceplosan.
Tapi ia tidak menarik ucapannya kembali.
Ia menatap Kenny dengan tenang. “Ya. Dulu. Sekarang aku tidak.”
Kenny memalingkan wajah, tatapannya tertuju pada tanah, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sulit diakui. “Aku tidak pernah tahu kau berharap apa pun.”
Keyla tertawa pahit. “Tentu saja. Kamu terlalu sibuk bahkan untuk melihat ke arahku.”
Kenny menggenggam tangannya di atas lutut, rahangnya mengeras. “Kalau… aku salah?”
Keyla kaget.
Kenny Frenderick tidak pernah bertanya seperti itu. Tidak pernah meragukan dirinya. Tidak pernah mempertanyakan tindakannya pada siapa pun.
“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?” tanya Keyla pelan.
Kenny tidak menjawab cepat. Ia menghela napas panjang—langkah yang sangat jarang ia tunjukkan.
“Karena perubahanmu…” ucapnya, suaranya lebih dalam, “…membuatku sadar bahwa aku mungkin melewatkan sesuatu.”
Keyla terpaku.
“Selama ini aku pikir pertunangan hanyalah urusan bisnis keluarga. Formalitas. Kewajiban. Sesuatu yang harus dilakukan.”
Ia menoleh padanya.
“Tapi sikapmu sekarang… membuatku mempertanyakan semuanya.”
Keyla menelan ludah. Ia tidak menyangka Kenny bisa bersuara sejujur itu. Apalagi kepada dirinya.
“Lalu… apa yang kamu inginkan?” tanya Keyla.
Kenny mengertakkan gigi, jelas bingung dengan dirinya sendiri. “Aku… tidak tahu.”
Keyla tertawa kecil. “Itu jawaban paling jujur yang pernah kamu kasih.”
Kenny memalingkan wajah lagi, tapi kali ini bukan karena marah—lebih seperti malu pada kenyataan.
“Aku ingin memastikan satu hal,” lanjut Kenny.
“Apa?”
Kenny menatapnya. “Apakah kau tidak menginginkan pertunangan ini?”
Keyla terdiam lama.
Ia bisa saja berkata tidak. Bisa saja menarik diri dari masa depan yang sama yang dulu membuatnya mati.
Tapi… ia teringat satu hal.
Tuhan memberinya kesempatan kedua, bukan untuk lari, tetapi untuk mengubah nasibnya sendiri.
Pertunangan ini mungkin jalan yang harus ia tempuh.
Hanya saja, ia tidak akan melakukannya dengan cara yang sama.
“Aku tidak ingin pertunangan seperti sebelumnya,” jawab Keyla sabar. “Yang sepihak. Yang aku mencoba, tapi kamu bahkan tidak sadar.”
Kenny menegang. “Lalu?”
“Jika kita meneruskan ini… aku ingin ada batasan. Ruang untuk diriku sendiri. Dan aku ingin kamu jujur kalau kamu tidak mau.”
Kenny memandangnya lama—sangat lama—seolah mencoba mencari kebohongan di balik kata-kata itu.
“Dan kalau aku mau?” tanya Kenny tiba-tiba.
Keyla mendadak kehilangan kata-kata.
Apa?
Itu bukan jawaban yang ia duga.
“Kenapa kamu…” Keyla berhenti. “Untuk apa kamu mau? Kita bahkan tidak saling mengenal.”
“Kita bisa mulai mengenal,” jawab Kenny, datar namun pasti.
Keyla menatapnya, benar-benar terkejut. Suara pria ini tidak bergetar. Tidak ragu.
“Kamu yakin?” tanya Keyla dengan suara sangat pelan.
Kenny menatap mata Keyla dalam-dalam. “Aku tidak suka perubahan yang tidak kupahami. Dan aku tidak mau kau berubah… menjauh dariku tanpa alasan.”
Hati Keyla berdetak keras.
Itu bukan cinta.
Tapi sesuatu sedang tumbuh.
Awal dari hubungan yang belum pernah ada di kehidupan sebelumnya.
“Kita mulai dari awal,” ucap Kenny tiba-tiba.
Keyla berkedip. “Dari awal?”
Kenny mengangguk. “Aku Kenny.”
Keyla menatapnya bingung beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Keyla.”
Kenny mengulurkan tangan. “Senang berkenalan.”
Senyuman Keyla melebar tanpa ia sadari. Ia menyambut tangan itu.
Saat kulit mereka bersentuhan…
Ada sesuatu yang hangat. Halus.
Tidak seperti pertemuan dingin di kehidupan lalu.
Tapi sesuatu yang—mungkin suatu hari nanti—bisa menjadi cinta.
Kenny melepaskan genggaman itu sedikit terlambat. Sedikit.
Cukup untuk membuat Keyla merasakannya.
**
Ketika mereka kembali ke mobil, atmosfer sudah berbeda. Masih canggung, tetapi bukan canggung dingin. Lebih seperti canggung dua orang yang baru memulai sesuatu yang tidak mereka sangka.
“Aku akan mengantarmu pulang,” kata Kenny.
“Tentu,” jawab Keyla.
Namun sebelum mobil melaju, Kenny bertanya pelan:
“Keyla… apakah kita bisa makan siang bersama besok?”
Nafas Keyla tertahan.
Kenny… mengajaknya bertemu? Dengan inisiatif sendiri?
Keyla tersenyum kecil.
“Kita lihat besok.”
Kenny tidak tersinggung. Ia justru tampak… puas.
Dan ketika mobil melaju pulang, Keyla menyadari satu hal:
Ini… baru benar-benar awal.