Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Arogansi
Boni melanjutkan pembicaraan dengan suara dingin. “Lo mau kasus lo dicabut, lo bayar satu miliar. Itu harga kebebasan lo.”
Edwin mendengus, menatap Boni seakan ia baru saja mendengar lelucon konyol. “Satu miliar? Lo pikir gue ini ATM berjalan?” Ia terkekeh sinis. “Lo yang nabrak Bayu atau gue? Jangan sok jual mahal, Bon. Gue udah setuju bayar biaya rumah sakitnya sampai dia sembuh. Itu lebih dari cukup.”
Boni mengepalkan tangan. “Cukup? Lo pikir nyawa orang bisa diukur cuma dari biaya rumah sakit? Itu sahabat gue, brengsek!” suara Boni meninggi, matanya merah oleh amarah. “Lo kira lo bisa seenaknya jalan bebas sementara Bayu masih koma di rumah sakit? Satu miliar harga yang murah buat lo!”
“Lima ratus juta.” Edwin akhirnya bersuara. “Itu tawaran terakhir gue. Lo terima, atau kita lihat siapa yang lebih tahan menghadapi pengadilan.”
Boni menggertakkan gigi. Lima ratus juta memang jauh dari yang ia minta, tapi jika menolak, Bayu bisa terlantar tanpa kepastian biaya. Ia melirik Edwin dengan tatapan penuh kebencian sebelum akhirnya mendengus tajam.
“Gue bakal terima, tapi satu hal yang perlu lo tahu, Edwin.” Boni mendekat, mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu, suaranya lebih rendah namun penuh ancaman. “Lo pikir lo bisa bebas begitu aja? Gue bakal pastiin lo bayar semua ini dengan cara lain.”
Edwin hanya tersenyum miring, seolah tak terpengaruh oleh ancaman itu. Matanya berkilat penuh keyakinan bahwa semuanya masih berjalan sesuai rencananya.
Bayu berdiri di sudut ruangan, menyaksikan setiap kata yang keluar dari mulut Edwin dan Boni. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit, tapi karena amarah dan frustrasi yang membuncah.
Bayu menyaksikan semuanya dengan hati yang bergetar. Rasanya menyakitkan mengetahui bahwa kini dirinya adalah objek tawar-menawar antara dua pria yang berbeda kepentingan.
"Jadi begini cara lo lihat semuanya, Win? Seolah gue cuma angka di atas kertas? Seolah nyawa gue nggak lebih dari negosiasi bisnis?!"
Ia ingin berteriak, ingin menghantam meja itu dan mengguncang kesadaran Edwin, tapi tangannya hanya menembus udara kosong.
Ketika Boni menerima tawarannya, Edwin menyeringai puas, Bayu merasakan panas di matanya—jika saja roh bisa menangis, mungkin saat ini air matanya sudah jatuh.
Lalu, ia melihat Boni. Rahang sahabatnya mengeras, kepalan tangannya bergetar, matanya penuh dengan kemarahan yang ditahan. Bayu tahu, bagi Boni, menerima ini sama saja dengan menelan bara api—terasa menyakitkan, tapi harus dilakukan.
"Bon…" Bayu berbisik putus asa, meskipun tahu sahabatnya takkan bisa mendengar. "Lo nggak harus ngorbanin harga diri lo buat gue…"
Namun, Bayu juga tahu. Boni akan selalu melakukannya. Karena bagi Boni, persaudaraan mereka lebih dari sekadar darah.
Dan itulah yang membuat hati Bayu semakin hancur.
Di atas meja, selembar kertas perjanjian telah disiapkan. Edwin mengambil pulpen, mengetuknya pelan di atas dokumen, lalu menatap Boni dengan senyum tipis.
"Gue bakal biayai pengobatan Bayu sampai dia sembuh," ucap Edwin santai. "Tapi kompensasi? Nggak sekarang."
Boni menyipitkan mata, jemarinya mencengkeram ujung meja hingga buku-bukunya memutih. "Lo serius?" Suaranya rendah, tapi penuh ancaman. "Lo udah bikin dia kayak gitu, tapi nolak bayar kompensasi? Lo pikir berapa banyak waktunya yang terbuang? Berapa banyak kerjaan yang seharusnya bisa kasih dia penghasilan, tapi malah hilang gara-gara koma?! Lo kira dia bakal langsung bangun dan bisa kerja kayak biasa? Semua ini gara-gara lo!"
Edwin hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang. "Bukan soal mau atau nggak mau," ujarnya santai. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya merendah dengan nada menghina. "Gue cuma berpikir realistis. Kalau gue kasih kompensasi sekarang, siapa yang bisa jamin uang itu beneran buat dia?" Tatapannya tajam menusuk Boni. "Lo bukan keluarga kandungnya, kan? Jadi, apa jaminannya duit itu nggak masuk kantong lo sendiri?"
Boni mengepalkan tangan. Napasnya terasa berat karena amarah yang berusaha ia tekan. "Bukan urusan lo, gue siapa buat Bayu! Dia lebih dari saudara buat gue!"
Edwin tertawa kecil, seolah mengejek. "Boni… gue udah cukup baik mau bayar biaya rumah sakitnya. Kalau lo maksa minta kompensasi sekarang, itu cuma bikin lo kelihatan kayak preman yang lagi coba meres gue."
Boni merasakan darahnya mendidih. Ingin rasanya ia menghajar wajah pria di hadapannya, tapi ia harus menahan diri. Ia mengingat Bayu—sahabatnya masih terbaring koma.
Dengan rahang mengeras, Boni menatap Edwin lekat-lekat. "Gue nggak akan lupa ini, Win. Jangan pikir lo bisa bebas begitu aja."
Edwin menyeringai, lalu menandatangani dokumen di depannya. "Gue nggak perlu bebas. Gue cuma perlu menang."
Boni mengertakkan giginya, menyadari bahwa meskipun ia berhasil memaksa Edwin membayar biaya rumah sakit Bayu, pria itu tetap memegang kendali atas situasi ini.
Roh Bayu menggertakkan giginya, tangannya mengepal erat saat melihat Edwin dengan santainya menandatangani perjanjian itu, seolah semua ini hanya transaksi biasa. Sombong. Angkuh. Seakan nyawanya tak lebih dari barang yang bisa dibayar dengan uang.
Matanya menatap tajam ke arah pria itu, memperhatikan jas mahal dan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangannya. Bayu nyaris tertawa miris. "Kalau soal uang, gue yakin gue lebih kaya dari lo, Edwin."
Dadanya bergejolak dengan kemarahan yang tak bisa ia luapkan. Seandainya saja ia masih hidup dalam tubuhnya, tinjunya pasti sudah menghantam wajah pria itu. "Tunggu aja, Edwin... Gue pasti bakal balas semua ini."
***
Boni melangkah keluar dari kantor polisi dengan rahang mengatup rapat, perjanjian damai di tangannya terasa lebih berat daripada yang seharusnya. Ia telah berhasil memaksa Edwin untuk menanggung biaya pengobatan Bayu—sebuah kemenangan di atas kertas. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ini bukan keadilan. Edwin seharusnya dihukum, bukan hanya melemparkan uang dan melenggang bebas seolah tak terjadi apa-apa.
Di sampingnya, roh Bayu berdiri dengan ekspresi muram, matanya penuh amarah yang tertahan. “Brengsek,” gumamnya, mengepalkan tangan yang tak bisa menyentuh apa pun. “Gue nggak bakal diam aja. Saat gue sadar nanti, gue pastiin dia bayar lebih dari ini.”
Boni menarik napas dalam, berusaha menekan rasa frustrasi yang membara di dadanya. Ia tak bisa berbuat lebih banyak sekarang. Yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan sahabatnya tetap hidup.
Tanpa berpikir panjang, ia melangkah kembali menuju rumah sakit. Jalanan yang dilewatinya terasa sunyi meski kendaraan masih berlalu-lalang. Dalam pikirannya, ada pertanyaan yang terus berputar—bagaimana jika Bayu tidak pernah sadar? Bagaimana jika semua perjuangan ini sia-sia?
Begitu tiba di rumah sakit, langkah Boni terhenti di koridor menuju ICU. Di depan pintu kaca ruangan itu, sosok Laras berdiri diam, menatap Bayu yang terbaring dengan wajah penuh luka dan tubuh dipenuhi selang. Ada kesedihan yang dalam di matanya, namun juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Boni melihat bagaimana jemari Laras mengepal, seolah ingin menyentuh Bayu namun terhalang oleh kaca di depannya. Ia tampak ragu, terbelah antara keinginan untuk tetap tinggal dan kenyataan bahwa pekerjaannya tak memberinya banyak waktu.
Roh Bayu menatapnya dengan mata sendu, bibirnya bergerak tanpa suara. “Laras…”
Boni mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak melepaskan emosi yang sudah menumpuk sejak tadi. Ia tahu betapa Bayu mencintai Laras, dan melihat wanita itu di sini, dengan ekspresi penuh duka, hanya menambah beban di hatinya.
Ia melangkah mendekat, berdiri di samping Laras. Tanpa menoleh, ia berkata pelan, “Lo dari kerja?”
Laras menutup matanya sesaat sebelum mengangguk. "Aku nggak punya pilihan." Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam kebisuan malam.
Boni mendesah panjang, lalu menatap ke dalam ICU, ke arah sahabatnya yang masih terbaring tak berdaya. Dalam hatinya, ia berjanji tidak akan membiarkan semua ini berlalu begitu saja. Akan ada saatnya Edwin menyesali perbuatannya. Namun untuk saat ini, yang paling penting adalah Bayu.
Ia menoleh ke Laras. "Gue bakal jagain dia. Lo nggak perlu khawatir."
Laras mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. Boni bisa melihat betapa beratnya langkah wanita itu saat akhirnya duduk di bangku tunggu rumah sakit.
Boni tiba-tiba tersentak. “Eh?”
Ia menegakkan punggung, matanya melebar saat mendengar suara dari dalam ICU. Bunyi monitor yang tadinya berdetak stabil kini berubah kacau—cepat, kemudian melambat, lalu berbunyi panjang seolah ada sesuatu yang salah.
"Bayu?"
...🍁💦🍁...
.
To be continued