“Menikahlah denganku, lahirkan keturunanku, dan aku akan membantumu.”
Penawaran dari Sagara dengan imbalan yang cukup fantastis membuat Lisa seakan mendapatkan angin segar di tengah tuntutan hutang yang menggunung. Namun, gadis itu tak memiliki cukup keberanian untuk mengambil tawaran itu karena Lisa tahu bahwa Sagara telah memiliki istri dan Lisa tidak ingin melukai perasaan istri Sagara.
Hingga akhirnya Lisa kembali dihadapkan pada kabar yang mengguncang pertahanannya.
Ia harus memilih antara menjadi istri kedua dan melahirkan keturunan Sagara dengan imbalan yang besar, atau mempertahankan harga diri dan masa depannya, tetapi ia harus kehilangan orang yang ia sayangi.
Lalu, bagaimana dengan keputusan Lisa? Dan apa sebenarnya yang buat Sagara akhirnya berpaling dari istrinya?
Yuk, ikuti terus kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Hari ini Lisa begitu sibuk menyambut dan melayani pelanggan yang datang di toko kue tempat dirinya bekerja. Toko kue yang sudah memiliki cabang di beberapa kota itu selalu ramai setiap harinya, selain karena rasa dan jenis yang bervariasi, letaknya yang strategis membuat toko itu menjadi pusat perhatian.
Gadis itu begitu bersemangat karena setidaknya untuk saat ini ada yang menjamin atas hutang dan tunggakannya, pun ia baru saja dikabari oleh pihak rumah sakit bahwa ibunya baru saja siuman. Hal itu menjadikan semangat Lisa berlipat ganda.
“Ibu kamu gimana keadaannya, Lis?” tanya Seli yang juga bekerja di toko kue bersama Lisa.
“Alhamdulillah, sudah siuman, Sel. Ini baru saja pihak rumah sakit ngabarin aku,” jawab Lisa di tengah lengangnya meja kasir karena pelanggan sedang memilih kue dan roti di etalase.
“Syukurlah, maaf, ya, kemarin nggak bisa nemenin kamu nginep di sana,”
“Nggak apa-apa, Sel. Kamu bawain selimut aja aku udah makasih banget. Oh, iya, nanti selimutnya aku cuci dulu, ya, baru nanti aku kembalikan,”
“Ah, santai saja, orang tetanggaan juga. Balikin kalau kamu senggang aja, nggak apa apa,”
Lisa mengangguk.
Waktu bergulir begitu cepat, Lisa sudah menyelesaikan pekerjaannya kemudian bergegas keluar dari toko. Ia mencari ojek untuk membawanya ke restoran kemarin sesuai permintaan Sagara.
“Masih setengah jam an lagi, masih cukup kayaknya,” gumam Lisa sembari menatap sekilas ponselnya.
Tin!
Seli datang dengan motor bebeknya, berhenti di depan Lisa yang tengah menunggu ojek biasa langganannya.
“Ayo, barengan sama aku, Lis,” ajak Seli.
“Nggak usah, Sel. Soalnya aku nggak langsung pulang ke rumah,”
“Mau ke mana? Oh, langsung ke rumah sakit, ya? Ya, sudah, ayo aku antar, biar sekalian aku nengokin ibu,”
“Euh, anu … aku ada urusan, Sel. Nggak langsung pulang ke rumah apalagi ke rumah sakit. Lebih baik kamu pulang aja, deh. Aku nggak apa-apa naik ojek biasanya,”
Seli tampak memicingkan matanya, menatap Lisa dengan penuh curiga. Sikap Lisa yang terlihat gugup membuat Seli semakin penasaran.
“Jangan bilang, kamu mau nemuin orang yang ngajakin kamu nikah kemarin, ya?” selidiknya.
“Iya, eh—”
“Kan… .”
Bodoh, kau, Lisa! Bisa bisanya keceplosan, batin Lisa.
'Huh'
Lisa tampak menghela napas pelan, memang ia tidak bisa menutupi apapun dari sahabatnya ini. Akhirnya mau tidak mau Lisa pun mengatakan yang sebenarnya.
“Demi semuanya, Sel. Toh, aku dinikahi bukan hanya sekadar menjadi simpanan atau ani-ani,” jujurnya.
Ya, begitulah pikir Lisa. Ia diminta mengandung, tetapi dengan status yang pasti. Entah apa tujuan Sagara yang sebenarnya. Namun, gadis itu meyakini bahwa pasti ada alasan khusus Sagara menempuh jalan itu.
“Bukannya dia sudah punya istri, ya Lis. Istrinya artis, loh, memangnya kamu nggak takut disebut pelakor dan mendadak viral karena nikah sama suami orang?”
Lisa memang sudah menceritakan semuanya pada Seli. Dan Seli pun tentu tahu siapa Sagara karena pria itu beberapa kali mengunjungi toko kue tempat mereka bekerja, pun karena Sagara merupakan suami dari seorang artis bernama Dewi Bunga.
“Ya, mau gimana lagi. Aku terjepit keadaan, Sel. Keadaan yang membuatku jadi pelakor. Toh, yang mulai duluan juga bukan aku, tapi Sagara sendiri,”
Seli mengangguk, ia mengerti keadaan sahabatnya yang cukup memprihatinkan. “Berarti setelah ini kamu akan langsung menikah, Lis? Bagaimana dengan ibu, adik-adikmu, dan juga mas Zaki. Apa kamu sudah memikirkan alasan untuk mereka semua?”
“Kalau Sagara menginginkannya lebih cepat, aku bisa apa? Setelah nanti bertemu dengan Sagara, aku akan bicarakan hal ini dengan ibu, Liam, dan Leo. Untuk mas Zaki, entahlah, aku masih takut, Sel. Takut menyakiti dia,”
Lisa mendesah pelan, inilah salah satu alasan Lisa masih gamang akan keputusannya. Ada Zaki, sosok pria yang satu tahun ini bertahta di hatinya. Pria yang memperjuangkan cintanya hingga rela merantau jauh demi bisa segera meminang pujaan hatinya.
“Apapun pilihanmu, aku akan selalu mendukungmu, Lis. Tapi kalau aku boleh saran, sebelum kamu menikah, lebih baik selesaikan dulu hubunganmu dengan mas Zaki. Jangan sampai di kemudian hari, hal itu justru menjadi bumerang untuk kamu sendiri,” saran Seli.
Lisa mengangguk, terharu sekali sahabatnya selalu mendukungnya meski jalannya tak lagi sama seperti angannya dulu.
“Ya, sudah, ayo aku antar.”
Lisa tidak lagi menolak, setelah mengenakan helm dan berterima kasih, ke dua gadis itu pergi meninggalkan pelataran toko menuju restoran tempat pertemuan Lisa dengan Sagara.
***
Sagara menatap arloji yang melingkar di lengannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, tetapi ia masih terjebak oleh kemacetan. Pria itu mendengkus sebab merasa perjalanan kali ini begitu lamban dari biasanya.
“Lebih cepat lagi, Bar!”
“Sabar, Tuan, di depan sedang macet. Saya usahakan sebelum pukul delapan, anda sudah tiba di sana. Lagipula tinggal beberapa ratus meter lagi kita sampai,”
Sagara tidak lagi berbicara, pria itu hanya berdiam diri sembari tangannya sibuk membalikkan kertas yang ada di tangannya.
Seperti perkataan Bara, mereka berdua sampai di restoran tidak sampai pukul delapan, bertepatan dengan kedatangan Lisa dan Seli yang berhenti tidak jauh dari mobil mereka.
“Anda akan langsung masuk atau menunggu nona Lisa, Tuan?”
Sagara tidak menjawab, pria itu justru berjalan cepat menghampiri Lisa yang sedang berbincang dengan Seli sembari menjulurkan helm yang baru saja dipakainya.
“Astaga, punya bos satu aja, nguji mental banget!” gerutu Bara. Namun, tetap mengikuti Sagara.
Lisa tampak tersenyum di sela perbincangannya dengan Seli. “Makasih, ya, Sel. Kamu hati-hati di jalan.”
“Oke, kalau sudah, kabari aku, ya Lis. Aku udah penasaran banget soalnya,”
“Iya, iya, bawel. Ya sudah, sana pulang, hati-hati, ya,”
Seli mengangguk kemudian melajukan motornya meninggalkan Lisa yang sedang dihampiri oleh Sagara.
“Ayo, masuk!” ucap Sagara membuat Lisa langsung menoleh.
“Eh— baik.”
Tanpa banyak basa basi, Lisa mengekori Sagara yang berjalan lebih dulu. Keduanya memasuki ruangan privat yang sebelumnya dipesankan oleh Bara.
“Ingin makan apa?” tanya Sagara.
Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua, sementara Bara memilih duduk di luar bersama pelanggan restoran lainnya.
“Tidak perlu, Tuan, saya hanya ingin segera menyelesaikan perjanjian itu dan kembali ke rumah sakit menemani ibu saya,”
“Ibumu sakit?” Tanya Sagara seolah ia baru saja mengetahuinya.
“Iya, beliau menjadi korban tabrak lari dan kemarin baru saja dioperasi. Makanya saya tidak bisa berlama-lama karena kasihan dengan ke dua adik saya yang sudah lebih dulu menemani ibu saya di sana. Euh, maaf, jika saya banyak bicara hal yang tidak penting.”
Sagara mengangguk. “Apa karena hal itu akhirnya kamu menerima tawaran dari saya?”
Lisa terdiam sejenak, memandang wajah rupawan yang duduk di seberangnya kemudian mengangguk.
“Tidak ada pilihan lain. Penghasilan saya sebagai pegawai toko kue tidak bisa menutupi semua hutang dan biaya rumah sakit ibu saya yang semakin hari semakin bertambah. Saya harus segera melunasi semuanya agar ibu dan ke dua adik saya bisa hidup dengan tenang tanpa diganggu rentenir dan anak buahnya,”
Sagara semakin dibuat terpesona oleh Lisa. Di saat gadis seusianya tengah menyelesaikan kuliah atau sekadar bermain-main, Lisa justru sudah kerja banting tulang menafkahi keluarganya.
“Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu? Menerima tawaranku berarti menerima baik dan buruknya risiko di belakangnya,”
“Setelah mendengar penjelasan anda tadi pagi, saat sempat goyah karena merasa tidak bisa menyanggupinya. Bahkan sekadar memikirkannya saja saya tidak pernah dan anda seperti mengingatkan saya pada apa yang pernah saya janjikan di masa depan dalam memperlakukan seorang anak,”
Menghela napas pelan, Lisa kembali berucap, “saya tidak bisa melawan takdir, barangkali memang inilah jawaban dari semua doa yang saya panjatkan selama ini,”
“Berarti kamu siap dengan semua risikonya?”
“Segala sesuatu memiliki risikonya masing-masing dan saya akan menerimanya dengan lapang dada. Saya percaya bahwa setidaknya anda tidak akan menyia-nyiakan anak yang akan saya lahirkan meskipun saya bukan wanita yang anda cintai,”
Lisa berpikir, Sagara hanya menginginkan dirinya karena anak, bukan karena cinta ataupun rasa kasih ingin memiliki, sehingga gadis itu tidak ingin menaruh harap pada Sagara.
“Memangnya kamu mengetahui apa isi hati saya?”