“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Tak Penting
Kilatan kamera menyambut langkah Sherin saat ia melangkah keluar dari sebuah acara amal di hotel mewah. Gaun merah marunnya menempel pas di tubuh, rambut digelung anggun, dan senyum yang seolah tak pernah luntur sejak pagi. Di sisinya, Edward berjalan kaku. Jas rapi, dasi hitam, tapi mata yang gelap dan rahang yang menegang jelas menunjukkan: ia dipaksa ada di sana.
"Pak Edward, benarkah Anda akan menikahi adik dari istri Anda sendiri?" tanya seorang reporter, mic-nya menempel di wajah mereka.
Edward diam. Sekilas, ia menoleh ke arah Sherin, yang langsung menyambar.
"Kami belum bisa bicara banyak soal itu. Tapi yang pasti, kami ingin yang terbaik... terutama untuk calon bayi kami," ucap Sherin manis, tangannya menggenggam tangan Edward erat.
Edward menarik tangannya perlahan, lalu membisik di telinganya saat tak ada yang mendengar, "Berhenti main drama. Ini belum selesai."
Sherin hanya menatapnya, penuh kemenangan.
***
Sementara itu, ribuan mil dari situ, Bayu menatap layar ponselnya di kamar hotel di Swiss. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras saat ia melihat video pendek itu—Sherin dan Edward bergandengan, membahas kehamilan.
Laras.
Satu-satunya nama yang langsung muncul di kepalanya.
"Apa bajingan itu gila?" desis Bayu. "Adik kandung istrinya sendiri?"
Ia mematikan ponsel, melemparnya ke ranjang, lalu berdiri memutar ruangan seperti harimau dikurung. Dadanya sesak. Ingatannya tentang Laras menari di benaknya—dingin, rapuh, tapi tegar. Ia masih mengingat hari ketika Laras menolak pergi bersamanya... dan memilih menikah dengan Edward.
Bayu menutup wajah dengan kedua tangan. “Laras, kenapa kau masih bertahan bersamanya?” gumamnya. “Apa karena aku? Karena aku pengecut yang tak pernah benar-benar melawan ayahku?”
Tok. Tok.
Pintu kamar diketuk. Seorang asisten masuk dengan map di tangan.
“Maaf, Tuan Bayu. Ini dari Tuan Shailendra. Agenda baru. Tugas mendesak ke Dubai, besok pagi.”
Bayu menatap map itu tajam. Tanpa membukanya pun ia tahu—ini jebakan. Penundaan.
“Papa tahu,” desis Bayu pelan. “Dia tahu tentang Laras. Tapi dia tetap ingin aku diam.”
***
Di Jakarta, Laras berjalan di lorong kantor dengan langkah ringan. Senyum tipis di wajahnya seolah tak terusik oleh sorot mata penuh iba dari sekelilingnya.
Bisik-bisik tak pernah berhenti.
“Itu istri Edward, kan? Kudengar adiknya sendiri yang ngerebut suaminya.”
“Padahal Edward juga dari awal nggak benar, katanya nikah buat balas dendam…”
Desi menahan napas mendengarnya. Ia mengejar langkah Laras dan menyentuh lengannya pelan. “Ras, kita makan siang bareng, yuk.”
Laras menoleh, matanya jernih tapi kosong. “Kamu duluan aja. Aku masih banyak kerjaan.”
“Ras…” Desi menatapnya lama. “Kamu nggak harus selalu kelihatan kuat, tahu? Aku di sini kok. Kalau kamu mau cerita—apa pun…”
Laras tersenyum. “Aku baik-baik saja, Des.”
Desi menggeleng. “Nggak, kamu nggak baik-baik saja. Kamu cuma terlalu terbiasa sendiri.”
Laras diam. Matanya menerawang sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, nyaris seperti gumaman. “Semua orang bilang aku bodoh karena bertahan. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu kenapa aku bertahan…”
Desi menggenggam tangan Laras. “Kamu.. mencintai Edward ?”
Senyum Laras mengeras. “Bukan. Justru karena aku membencinya. Aku ingin dia melihat... seperti apa rasanya hidup dalam jebakan. Seperti yang dia lakukan padaku.”
Desi membatu. Ia melihat bukan hanya luka di balik ketegaran itu, tapi api yang menyala. Dan itu menakutkan.
***
SWISS – Malam Hari
Bayu membuka map pemberian asistennya. Isinya jelas: proposal ekspansi proyek ke Dubai, dokumen tender, dan surat pengantar langsung dari tangan Shailendra. Surat itu ditulis tangan, seperti kebiasaan ayahnya saat ingin bicara dengan bahasa yang lebih pribadi.
"Bayu, fokus pada pekerjaan. Hal-hal yang bersifat emosional akan melemahkan langkahmu. Masalah perempuan bukan sesuatu yang layak dijadikan pengorbanan masa depan. Buat keputusan yang waras. Papa tahu kamu akan mengerti."
– Shailendra
Bayu menatap huruf-huruf itu lama. Bibirnya mengatup, napasnya dangkal.
“Masalah perempuan?” desisnya. “Kau pikir Laras cuma masalah perempuan, Pa?”
Tangannya mengepal. Ia merasa seperti bocah kecil lagi—dibisiki tentang karier, martabat, dan nama baik, tapi tak pernah diberi ruang untuk mencintai siapa pun yang dianggap tidak selevel.
Bayu melempar map itu ke meja. Ia menatap jendela hotel yang menampilkan malam Swiss yang tenang, tapi dadanya seperti dirajam amarah.
"Aku tak akan biarkan Laras hancur... bahkan jika aku terlambat jadi rumah baginya."
INDONESIA – PAGI HARI
Sorot kamera menyerbu wajah Sherin di acara pagi salah satu TV nasional. Ia duduk di kursi tamu, tampil anggun mengenakan dress bernuansa pastel. Di tangannya, secangkir teh disiapkan hanya sebagai properti. Senyumnya manis—seperti tidak sedang menghancurkan keluarga orang lain.
"Jadi Sherin, banyak masyarakat yang simpati pada situasi Anda... terutama karena Anda sedang mengandung. Apakah Anda sudah siap menjadi seorang ibu?" tanya host wanita, menggelitik tapi hangat.
Sherin mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca.
"Siapa sih, yang tak ingin anaknya punya nama ayah yang sah? Aku tahu situasiku rumit. Tapi aku tak pernah berniat menyakiti siapa pun… Aku hanya ingin si kecil ini tumbuh dengan cinta, bukan aib."
Host mengangguk penuh empati, lalu mengangkat foto USG yang dibawa Sherin.
"Dan ini... calon anggota baru dari keluarga Edward Sanjaya."
Di belakang layar, manajer publik Sherin langsung mengatur sosial media. Klip-klip pendek Sherin dipotong, diberi musik sedih, disebar di TikTok dan Instagram. Hashtag pun mulai naik:
#UntukAnakKami #SherinKuat #IbuTanpaStatus
Netizen pun mulai terbelah. Banyak yang memaki Sherin, tapi tak sedikit juga yang menyalahkan Edward dan... mengejek Laras.
“Istrinya kemana aja sih, sampe suami tidur sama adiknya sendiri?”
“Edward tuh fuckboy kelas berat! Tapi kenapa istrinya kayak gak ada reaksi ya?”
“Sherin bisa lebih baik dari kakaknya! Lihat aja…”
Sherin duduk di ruang ganti setelah acara selesai. Wajahnya tetap manis, tapi sorot matanya tajam.
"Permainan baru saja dimulai," bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata.
“Dan kamu, Kak Laras… kamu akan kalah.”
***
KANTOR – SIANG HARI
Desi menatap layar komputernya, tapi pikirannya tak bisa fokus. Grup kantor terus berisik. Klip talkshow Sherin berseliweran di mana-mana, netizen ramai membicarakan anak dari ‘perselingkuhan berdarah’ itu. Nama Edward dan Laras trending—lagi. Tapi kali ini, bukan karena proyek bisnis atau pencapaian pribadi, melainkan karena aib yang dibuka Sherin selebar mungkin.
"Ras, kamu... ngelihat trending topic hari ini?" tanya Desi perlahan.
Laras menutup file di laptopnya tanpa menoleh. “Berisik, ya?” gumamnya ringan. Suaranya datar, tanpa nada panik atau kesedihan.
Desi terdiam. Tatapan Laras tampak biasa saja, bahkan cenderung hampa. Tapi justru itu yang membuatnya khawatir.
"Kalau kamu butuh teman cerita…"
Laras akhirnya menoleh. Senyumnya tipis, tidak menyentuh matanya.
"Aku baik-baik saja, Des."
Desi membuka mulut untuk membantah, tapi tak jadi. Karena mata Laras, meskipun terlihat kosong, menyiratkan satu hal: ia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan apapun.
KEDIAMAN EDWARD – MALAM HARI
Edward melempar remote ke sofa. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi murka. Talkshow Sherin diputar berulang kali di layar televisi, lengkap dengan subtitle menyedihkan dan filter-filter dramatis. Ia bahkan tak diberi kesempatan membela diri. Di luar, wartawan berkumpul di gerbang rumahnya.
Ia menoleh ke arah pintu kamar, tempat Laras tidur setiap malam dalam diam. Wanita itu bahkan tidak menanyakan apapun. Tidak marah. Tidak menuntut. Tidak menangis. Tidak menampar. Tidak menghancurkan barang. Tidak ada satu emosi pun yang bisa ia tangkap dari wajah Laras.
Seolah—semua ini tidak penting baginya.
Dan itu membuat Edward gila.
"Kenapa kamu diam terus?!" bentaknya suatu malam, saat Laras baru pulang dari kantor.
Laras hanya mengganti sepatu dengan santai. “Untuk apa aku ribut? Aku bukan ibunya Sherin.”
"Jangan seolah-olah kamu tak peduli!" Edward mendekat, suaranya naik. "Kamu pikir kamu menang? Kamu pikir aku akan memohon padamu?"
"Aku gak pernah merasa sedang bersaing dengan siapa pun," jawab Laras tenang. "Apalagi untuk kamu."
BRAK!
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka