Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
“APA?! SHANA HAMIL?!”
Teriakan itu menggema seiring dengan tubuh lemas Tante Mona. Mulutnya terkatup rapat dengan mata terbelalak. Dia sudah tidak berpikir apa-apa lagi sekarang. Isi kepalanya penuh dengan beberapa pertanyaan. Sesaat kemudian, matanya menatap Kaivan nyalang. Di matanya seolah terpancar nyala api yang kian memanas.
“KAMU APAIN ANAK SAYA, HAH?!”teriak Tante Mona sembari menarik dasi Kaivan. Kaivan terkejut, namun di sisi lain dia mulai terbatuk-batuk karena lehernya tercekik. “JAWAB! SAYA SUDAH MELARANG SHANA UNTUK TIDAK MEMPUNYAI ANAK DARI KAMU!”
“Tolong, Tan, lepas dulu…” Kaivan menunjuk tangan Tante Mona yang masih di dasinya. Setelah terlepas, Kaivan mulai berbicara, “Tante, apa maksudnya soal ‘kamu apain anak saya’? Kita ‘kan sudah menikah, wajar kalau semua ini terjadi.”
“PERSETAN DENGAN KAMU!” Deru napas Tante Mona terdengar bersahutan, “SEKALIPUN KALIAN SUDAH MENIKAH, SAYA NGGAK SUDI PUNYA CUCU DARI LAKI-LAKI KAYAK KAMU!”
“Tante, dengar—”
“LEBIH BAIK SHANA HAMIL SAMA LAKI-LAKI LAIN KETIMBANG HAMIL ANAK KAMU!”pekikan melengking tinggi itu keluar dan menusuk telinga Kaivan.
Hati Kaivan mencelos. Dia termenung sejenak, merasakan dadanya yang terasa sesak. Seperti ditusuk besi berulang kali. Memandangi wanita paruh baya itu meraung-raung dan berkata-kata kasar.
“DENGAR NGGAK KAMU?! SAYA NGGAK MAU PUNYA CUCU DARI LAKI-LAKI MISKIN KAYAK KAMU!”lanjutnya. Dia menuding telunjuknya di depan wajah Kaivan. Membuat semuanya semakin hancur dan jelas.
Seburuk itu kah Kaivan sampai wanita di hadapannya itu tidak mau memiliki cucu darinya?
“KENAPA SEMUA INI BISA TERJADI, TUHAN?!” Tubuh Tante Mona merosot ke bawah. Dia tampak menyesali semua ini. Dia harusnya bisa mencegah Shana hamil. “PADAHAL SAYA SUDAH MENYURUH SHANA UNTUK SUNTIK KB, KENAPA BISA KEBOBOLAN?!” Nampaknya dia frustasi berat. Tidak memperdulikan make up-nya yang sudah luntur.
“Apa? Tante nyuruh Shana suntik KB?”gumam Kaivan. Dia tidak menyangka ibu mertuanya akan melakukan hal konyol seperti itu.
“IYA LAH! MEMANGNYA SAYA HARUS APA LAGI BIAR SHANA NGGAK BISA HAMIL?!”Suaranya masih memekik.
Kaivan memejamkan matanya, semua kenyataan pahit yang dia dengar sendiri ternyata begitu sakit diterimanya. “Tapi, kenapa Tante? Saya nggak habis pikir dengan ide gila yang ada di pikiran Tante!”
Tante Mona kembali bangkit dan melayangkan satu tamparan di pipi Kaivan dengan keras. “HEH?! SEENAKNYA KAMU BILANG BEGITU?! SAYA ITU NGGAK MAU PUNYA CUCU DARI ORANG MISKIN KAYAK KAMU! NANTINYA HANYA AKAN MEMBAWA KEBURUKAN DI KELUARGA KAMI!”
Kedutan di pipinya sudah tidak Kaivan hiraukan. Matanya yang berkaca-kaca membalas tatapan nyalang di hadapannya. “Lalu, apa lagi yang Tante ingin lakukan? Bukannya semua sudah berakhir? Toh, Shana sudah hamil anak saya.”
Rupanya perkataan Kaivan barusan menyulut emosi Tante Mona. Dia mendekati Kaivan dan melayangkan satu tamparan lagi. Tangannya menarik-narik kerah baju Kaivan dan dasinya bergantian.
Kaivan pasrah saja meski tampilannya sudah acak-acakan, tidak serapih saat pulang kantor tadi. Dia bahkan hanya meringis ketika Tante Mona mencakar wajahnya dan menjambak rambutnya.
Kelakuan Tante Mona itu mungkin akan berlanjut kalau saja tidak ada teriakan di ambang pintu kamar. “IBU, STOOOP!”
Kedua orang itu menoleh ke arah yang bersamaan. Menatap Shana yang sudah menyaksikan perkelahian mereka sejak tadi. Shana berjalan menghampiri Kaivan. Dia menyentuh wajah Kaivan yang memerah dan goresan-goresan kecil dia temukan di sana. Perih pasti rasanya.
Shana menggeleng pelan menatap ibunya. Matanya sudah berkaca-kaca mengingat kejadian barusan. “Ibu, kami sudah menikah. Ibu harusnya sadar. Ibu sudah tidak memiliki andil terhadap aku. Mas Kaivan telah mengambil seluruh andil itu,”ucapnya dengan tubuh gemetar.
Tante Mona melotot tidak percaya dengan omongan Shana. Dia mendekat dengan rahang mengeras. Tangannya terkepal kuat. “Dasar anak kurang ajar!”
Plak!
Kaivan segera menarik tubuh Shana dan menyembunyikan perempuan itu di balik tubuhnya. Kini, dia kembali berhadapan dengan Tante Mona.
“TANTE, KELUAR!”
“Berani-beraninya —”
“SAYA BILANG KELUAR! INI RUMAH SAYA! JADI, TOLONG KELUAR!!”
\*\*\*
“Mas, aku minta maaf ya, atas sikap ibuku.” Shana menatap sendu pada Kaivan yang tengah mengganti kemeja. Di tangannya sudah ada semangkok es batu dan handuk kecil.
Kaivan terkekeh kecil sembari memperhatikan tampilannya di cermin berukuran besar. Setelahnya, dia ikut duduk di sisi ranjang, samping Shana.
Senyumnya dibuat semanis mungkin untuk menghilangkan guratan kekecewaan dan penyesalan di sana. Tangannya menyelip anakan rambut Shana di telinga perempuan itu. “Sayang, aku kan sudah bilang, nggak apa-apa. Jangan dipikirkan lagi, ya … kata dokter begitu.”
Mengusap-usap kepala Shana lembut. Rupanya hal itu membuat Shana menjadi lebih baik. Memang ajaib seluruh sentuhan Kaivan. “Makasih, ya, Mas,”ucap Shana, “Ya sudah, sini aku kompres bekas tamparan tadi.”
Kaivan mendekatkan wajahnya. Matanya bergerak-gerak mengikuti arah tangan Shana dan sesekali menatap wajah Shana yang kian dekat.
“Permisi, ya, Mas…” Tangan Shana bergerak memegang dagu Kaivan, dan sebelahnya lagi menempelkan handuk dingin di wajah Kaivan. “Perih, ya?”tanya Shana, saat Kaivan meringis.
“Iya nih, perih banget. Pengennya dicium di sini.” Kaivan menunjuk bibirnya, “Kata orang bakalan cepat sembuh. Apapun—”
Cup!
“Mana lagi? Cepetan, Mas. Biar cepat sembuh,”balas Shana. Mata Kaivan mengerjap tidak percaya Shana melakukannya terlebih dahulu. “Mas? Kok kamu diam?”
Tubuh Kaivan bergerak mundur. Membuat Shana menatapnya heran. Lelaki itu mulai membuka kancing kemejanya satu per satu. “Kalau yang ini paling mujarab sih, Shan.”
Shana melongo tak percaya Kaivan mulai bertelanjang dada. Mendekat ke arahnya dan memindahkan mangkok yang dipegangnya ke atas meja. “Mas…?”
“Apa sih? Mancing-mancing, giliran dikasih beneran takut,”ledek Kaivan. Matanya berkedip genit dengan tubuh yang mulai condong ke arah Shana. Sedangkan, Shana, tubuhnya ikut terdorong ke belakang. Tidak benar-benar jatuh ke atas kasur, karena tangan Kaivan menyangga bagian punggungnya.
Shana terdiam saja saat bibir Kaivan mulai mengecup di bibirnya. Hanya satu kecupan. Namun, dadanya selalu berdebar hebat. Bahkan, matanya hanya melihat bagaimana Kaivan mulai mengecup area yang lainnya. Bagian dahi, pipi, telinga, dan turun ke leher. Memang hanya kecupan ringan, tapi membuat tubuh Shana selalu bereaksi seakan-akan geli.
Geli, tapi dia tidak menolaknya. Atau mungkin Shana menginginkannya lebih?
“Mas? Kamu nggak ngantor?”tanya Shana, saat merasa tubuhnya sudah panas-dingin. Entahlah, sensasi dari sentuhan yang diberikan Kaivan seperti membuatnya dikutuk menjadi batu. Diam dan tidak bergerak mendorong pria itu.
“Hm…” Kaivan tidak membalas pertanyaan Shana, dia hanya menggumam. Masih sibuk memberikan kecupan-kecupan di sudut leher Shana. Hingga akhirnya, mengisapnya dan membuat Shana meringis kecil. Tangan Shana bahkan sudah meremas rambut Kaivan.
Kaivan melepaskan bibirnya dan menertawai wajah Shana yang memerah. Kemudian, pandangannya melihat kembali bekas yang dia tinggalkan di leher Shana.
Melihat tawa Kaivan barusan, Shana memukul dada pria itu. Kaivan benar-benar mengerjainya. Dia senang sekali mengusili Shana. Lihat? Kaivan sudah bangkit dari posisinya dan memakai kemejanya kembali. “Nafsunya bersambung ya, Sayang…”
Dasar Kaivan! Padahal Shana menginginkannya!