NovelToon NovelToon
Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Dikelilingi wanita cantik / Pelakor / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi
Popularitas:258
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Ibadurahman

Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.

Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.

Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 34

Nana duduk di balkon kontrakannya yang lama, ditemani Yui dan Yuna. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Kontrakan mereka terasa lebih hidup setelah Yui memutuskan untuk pindah ke sana.

"Serius, lo yakin mau tinggal di sini?" tanya Yuna sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon.

"Ya iyalah, daripada sendirian di tempat lain, mending deket sama kalian," jawab Yui santai. "Lagipula, gue nggak mau ketinggalan drama."

Nana hanya tersenyum tipis mendengar celotehan mereka. Namun, suasana santai itu berubah saat langkah kaki terdengar mendekat. Ketika mereka menoleh, Kexin Yue berdiri di depan kontrakan. Wajahnya dingin, matanya tajam menatap Nana.

"Mau apa lu ke sini?" tanya Yui dengan nada tajam.

Kexin meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan suara tenang namun penuh ketegasan. "Ini nggak ada hubungannya sama lu." Lalu, ia melangkah ke balkon. "Gue ada urusan sama Nana. Kalian berdua, pergi sana."

Yuna dan Yui saling bertukar pandang, lalu menatap Nana seolah meminta izin. Nana mengangguk pelan. Akhirnya, Yui dan Yuna masuk ke dalam, meski dengan enggan.

Kini, hanya Nana dan Kexin yang berdiri di balkon, saling berhadapan dalam keheningan.

Kexin berjalan mendekat, tapi Nana tetap berdiri tenang, tatapannya tidak goyah sedikit pun.

"Ada apa, Kexin?" tanya Nana datar.

"Zelda masih koma," jawab Kexin dengan suara yang berat, mengandung kemarahan yang tertahan. "Dan gue nggak bakal diam aja."

Nana menyeringai tipis. "Mau balas dendam?"

"Lebih dari itu," kata Kexin, matanya bersinar dengan niat membunuh.

Nana mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Silakan."

Jawaban santai itu sukses membuat darah Kexin mendidih. Tanpa ragu, ia melangkah lebih dekat dan tiba-tiba tangannya terangkat, mencekik leher Nana dengan erat.

"Apa lo pikir gue bercanda?" desis Kexin, matanya menatap tajam ke dalam mata Nana.

Di dalam kontrakan, Yuna dan Yui yang diam-diam mengintip langsung bereaksi. Yui hampir saja berlari keluar, tapi Yuna dengan cepat menahan lengannya.

"Tunggu," bisik Yuna. "Nana bisa handle ini."

Sementara itu, Nana tetap tenang meski kesulitan bernapas. Ia menatap Kexin tanpa ketakutan sedikit pun, seolah meremehkan kekuatan gadis itu.

Setelah beberapa detik, Kexin akhirnya melepaskan cekikannya dengan kasar. Nana terbatuk pelan, mencoba mengatur napasnya.

"Gue tunggu lo besok di rooftop sekolah, setelah pulang," bisik Kexin dingin sebelum berbalik dan berjalan pergi.

Begitu Kexin menghilang di kejauhan, Yuna dan Yui langsung berlari ke Nana.

"Lu nggak apa-apa?" tanya Yuna cemas.

Nana hanya mengangguk, meski suaranya masih serak. Yui buru-buru mengambil air dari dalam kamar dan memberikannya pada Nana.

"Terima kasih," ucap Nana setelah meneguk air itu.

Yuna menatapnya dengan raut khawatir. "Apa sih maunya dia ke sini?"

Nana menghela napas, lalu mengusap lehernya yang masih terasa nyeri. "Nggak apa-apa. Udah, jangan dibahas."

Tapi Yuna dan Yui tahu, ini bukan masalah kecil. Karena Nana tidak terlalu mempedulikan masalah ini. Jadi Yui dan Yuna juga tidak terlalu memikirkannya.

**

Keesokan harinya, Yuki dan Ayaka berangkat ke sekolah bersama. Meskipun luka di lengannya masih belum sembuh sepenuhnya, Ayaka tetap memaksakan diri untuk mengajar.

Setelah tiba di sekolah, Ayaka langsung menuju ruang guru, sementara Yuki berjalan ke kelasnya. Saat sampai di depan kelas 1B, ia melihat pemandangan yang sudah tidak asing, Nana dan Yuna berdiri di koridor, seperti biasa.

Sejak di rumah sakit, Nana sudah mengatakan bahwa sebelum kehilangan ingatan, ia dan Yuki adalah teman akrab. Karena itu, pagi ini Yuki tidak ragu untuk menghampiri mereka.

"Pagi," sapa Yuki santai, menoleh ke arah Nana dan Yuna.

Kedua gadis itu langsung terkejut. Setelah sekian lama Yuki bersikap dingin dan menjaga jarak, pagi ini ia justru menyapa mereka lebih dulu.

"Pagi juga, Yuki," jawab Nana dan Yuna hampir bersamaan.

"Boleh gabung?" tanya Yuki.

"Tentu," jawab Nana dengan senyum tipis.

Yuki berdiri di antara mereka, dan percakapan pun mengalir dengan begitu alami. Mereka mengobrol, sesekali bercanda, seolah-olah tidak ada yang pernah berubah di antara mereka.

Waktu berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya bel masuk berbunyi. Siswa-siswa lain sudah bergegas masuk ke kelas masing-masing, tetapi Yuki, Nana, dan Yuna masih tetap di sana, larut dalam obrolan mereka.

Namun, dari kejauhan, Ayaka yang baru tiba di lorong kelas 1A. melihat mereka bertiga. Matanya menyipit, tatapannya tajam saat melihat Yuki berdiri bersama Nana dan Yuna.

"Kenapa Yuki bersama mereka?" gumamnya, nada suaranya terdengar tidak senang.

Saat Yuki menyadari keberadaan Ayaka, ia tersenyum dan melambaikan tangan.

"Halo, sayang?" sapanya ceria.

Namun, Ayaka tidak membalas sapaan itu. Ia berjalan mendekat, wajahnya dingin.

"Kenapa kamu bersama mereka?" tanyanya dengan suara datar, tapi penuh tekanan. "Bukannya aku sudah bilang untuk tidak mendekati mereka?"

Yuki mengernyit, merasa aneh dengan sikap Ayaka. "Kita ini satu sekolah, satu kelas. Memangnya kenapa kalau aku berbicara dengan mereka?"

Yuna melipat tangan di dada dan menatap Ayaka tajam. "Jangan mentang-mentang Yuki pacar lu, lu bisa seenaknya ngatur dia."

Tapi Ayaka tidak menggubris Yuna. Dengan cepat, ia menarik tangan Yuki, membuat Yuki sedikit terhuyung. "Aku tanya sekali lagi, kamu mau nurut sama aku atau enggak?" tanya Ayaka dengan nada memaksa.

Yuki menatapnya dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Ayaka. "Tapi aku butuh alasan kenapa kamu melarangku dekat dengan mereka."

Nana yang sejak tadi hanya diam akhirnya mengepalkan tangan, berusaha menahan emosinya. Sudah cukup Ayaka merebut Yuki darinya, dan sekarang dia ingin mengontrol kehidupan Yuki juga?

Yuna menyadari perubahan ekspresi Nana, dan tanpa banyak bicara, ia menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. Seolah berkata, Jangan lepas kendali.

Ayaka menarik napas, seolah ragu, lalu mengembuskan napasnya perlahan. "Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini, tapi kalau kamu ingin tahu, baiklah."

Mata Yuki, Nana, dan Yuna terfokus pada Ayaka, menunggu apa yang akan ia katakan.

Dengan ekspresi seolah menahan emosi, padahal itu hanya pura-pura, Ayaka akhirnya berkata, "Nana-lah yang membuatmu kehilangan ingatan."

Seketika, suasana menjadi sunyi.

Yuki membeku. "T-Tidak mungkin" ucapnya lirih.

Nana menunduk. Ia tidak bisa menyangkal, karena apa yang dikatakan Ayaka memang benar. Saat itu, ia memang yang menyebabkan Yuki kehilangan ingatannya. Tapi alasan di baliknya tidak sesederhana yang Ayaka katakan. Semua itu terjadi karena Ayaka, karena gadis itu tidak bisa menahan diri dan membuat Nana cemburu hingga kehilangan kendali.

Melihat Nana yang diam, Yuki merasa itu adalah jawaban iya.

"Kamu nggak percaya?" Ayaka melanjutkan, suaranya penuh manipulasi. "Tanya saja langsung ke orangnya."

Yuki menoleh ke Nana. "Apa benar yang dikatakan Ayaka?"

Nana tetap diam, menatap lantai tanpa berani melihat Yuki. Dan itu sudah cukup bagi Yuki. Ia merasakan gelombang kekecewaan menyelimutinya.

"Gue benar-benar nggak nyangka," bisik Yuki, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi meninggalkan mereka.

Saat Yuki masuk ke kelas, amarah Yuna akhirnya meledak. Dengan gerakan cepat, ia menarik kerah baju Ayaka dan menatapnya dengan penuh kebencian. "Lu bener-bener iblis betina! Teganya lu ngomong kayak gitu ke Yuki!"

Tapi Ayaka hanya mendengus, lalu tersenyum mengejek. "Lalu yang gue bilang salah?"

Yuna hampir saja menghantam wajah Ayaka, tapi sebelum ia sempat melakukannya, Nana menarik lengannya.

"Jangan ladeni dia." Suara Nana terdengar lelah. "Ini memang salah gue, Gue yang bikin Yuki amnesia."

Yuna menatap Nana tidak percaya. "Tapi,,,,"

"Udah, cukup Yuna," potong Nana.

Yuna mengepalkan tangannya, frustrasi. Tapi ia tahu, saat Nana sudah berkata seperti itu, tidak ada gunanya membantah.

Akhirnya, mereka bertiga masuk ke kelas masing-masing. Namun, sejak saat itu, sebuah jurang besar mulai terbentuk antara Yuki dan Nana.

**

Saat jam istirahat tiba, Yuki hendak berdiri dari kursinya. Begitu juga Nana. Karena meja mereka bersebelahan, ketika mereka berdiri, wajah mereka jadi sangat dekat, hanya beberapa sentimeter saja.

Sejenak, waktu terasa melambat bagi Yuki. Ia menatap mata Nana, dan untuk sesaat, ia lupa segalanya, lupa amnesianya, lupa kebingungannya, bahkan lupa kata-kata Ayaka pagi ini. Di Mata Nana, ada sesuatu di dalamnya. Bukan kebencian. Bukan rasa bersalah. Melainkan kerinduan yang begitu dalam.

Yuki tidak mengerti kenapa ia tidak bisa membenci gadis ini. Bahkan setelah mengetahui bahwa Nana adalah orang yang menyebabkan ia kehilangan ingatannya, hatinya tetap saja tidak bisa menaruh dendam. Justru, ada sesuatu yang sulit diungkapkan di sana, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Nana tersadar lebih dulu dari lamunannya. Ia buru-buru membuang pandangannya, lalu pergi meninggalkan Yuki dan keluar kelas lebih dulu.

Yuki masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Nana yang menjauh. Kenapa, 'gue merasa kehilangan sesuatu?' 'Kenapa gue merasa, gue mengenalnya lebih dari yang gue ingat?

Yuki masih berdiri diam di tempatnya sebelum Keisuke tiba-tiba menepuk pundaknya. "Tadi pagi lu bareng sama dia, kenapa sekarang malah diem-dieman lagi?" tanya Keisuke santai.

Yuki menoleh ke arahnya. "Apa benar Nana yang membuat gue hilang ingatan?" tanyanya tiba-tiba.

Keisuke terkejut Yuki sudah tahu soal itu. Ia melirik Naoki yang juga tampak kaget, namun keduanya memilih diam.

"Kenapa lu diam?" tanya Yuki lagi.

Naoki akhirnya menarik tangan Yuki. "Sudahlah, kita makan siang aja," ucapnya mencoba mengalihkan.

Namun, Yuki tetap bersikeras. "Apa lu mau jawab pertanyaan gue atau enggak?"

Naoki menatap Yuki tajam. "Dengar, percuma kalau gue jelasin semuanya sekarang. Lu nggak akan ingat. Gue nggak mau lu pingsan lagi karna mengingat masalalu kayak kemarin."

Yuki terdiam mendengar ucapan Naoki.

"Yang jelas, kita bertiga ini selalu bersama," tambah Keisuke sebelum akhirnya menarik Yuki menuju kantin.

**

Di kantin, Nana duduk bersama Yuna. Namun, pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Jantungnya masih berdebar, dan ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih.

Setelah jam istirahat selesai, Yuna berpisah dengan Nana di koridor dan masuk ke kelasnya masing-masing. Namun, tidak lama setelah duduk, Nana mengambil tasnya lalu keluar kelas.

Yuki yang tidak berniat memperhatikan Nana awalnya tetap fokus ke mejanya, tetapi matanya tanpa sadar mengikuti gerakan gadis itu. 'Kenapa dia pulang?'

Lamunannya buyar ketika Keisuke menatapnya dari seberang meja dan bertanya dengan nada datar, "Lu yakin nggak mau ngejar dia?"

Yuki terdiam. Pertanyaan Keisuke itu seolah menegaskan sesuatu yang selama ini ia abaikan. Bahwa hatinya sendiri sebenarnya tidak rela melihat Nana pergi seperti itu.

**

Namun, kenyataannya, Nana tidak benar-benar pulang. Ia pergi ke rooftop sekolah, tempat ia berjanji akan menemui Kexin. Ia sengaja berangkat lebih awal agar Yuna, Yui, dan bahkan anak-anak 1C tidak mengetahuinya.

Berdiri sendirian di atas rooftop, Nana menatap langit. Pikirannya masih dipenuhi wajah Yuki, bagaimana Yuki menatapnya tadi saat mereka hampir bertabrakan. Namun, ia sadar, setelah ini, mungkin Yuki tidak akan melihatnya lagi.

Tepat setelah jam pulang, Kexin tiba di rooftop. Begitu membuka pintu, ia melihat Nana sudah berdiri menunggunya.

**

Di bawah, Yuna baru keluar kelas dan menunggu Nana di depan gerbang sekolah, tetapi gadis itu tidak muncul juga.

Saat Yuki berjalan melewatinya, Yuna langsung bertanya, "Apa Nana masih di dalam?"

Namun, Yuki tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Ia terus berjalan.

Naoki dan Keisuke yang berjalan di belakangnya akhirnya ditanyai oleh Yuna. "Apa kalian lihat Nana?"

Naoki mengangkat bahu. "Nana sudah balik dari siang."

Yuna terkejut. Biasanya, Nana selalu bilang kalau ia pulang duluan. Tiba-tiba, Yui datang dengan kesal. "Lu lama banget! Gua nunggu di depan dari tadi!". Tapi setelah beberapa detik, ekspresinya berubah. *"Eh… Nana mana?" tanyanya.

"Justru itu yang gue tunggu di sini! Tapi kata Naoki, dia udah pulang duluan," ucap Yuna.

Yui teringat percakapan semalam dengan Kexin.

Wajahnya langsung berubah. "Yuna, apa mungkin, Nana pergi menemui Kexin?"

Yuna langsung tersentak. Matanya melebar. "Benar juga! Tapi, mereka ketemu di mana!?"

Yui hanya bisa memikirkan satu tempat. "Kita ke rooftop! Cepat!"

Tanpa membuang waktu, mereka berdua berlari menuju rooftop. Sesampainya di sana, mereka melihat pemandangan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Nana tergeletak di lantai, wajahnya penuh darah. Kexin duduk di atasnya, terus-menerus menghajar Nana tanpa ampun.

"NANA!!" teriak Yuna dan Yui bersamaan.

Mereka berdua langsung berlari dan menarik Kexin menjauh dari Nana.

Kexin hanya tertawa, ekspresi puas terlihat di wajahnya. "Kalian terlambat," ucapnya sambil menyeringai. "Mungkin dia sudah mati." Setelah mengatakan itu, Kexin berbalik dan pergi meninggalkan mereka.

Yuna langsung berlutut dan memangku kepala Nana di pangkuannya. Tangannya gemetar saat melihat wajah sahabatnya yang penuh luka dan darah.

"Nana,,, Nana, bangun!!" Yuna mengguncang tubuhnya dengan panik.

Yui juga ikut panik. "Kita harus bawa dia turun sekarang!"

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua bergegas turun, membawa Nana ke ruang penjaga sekolah dan meminta bantuan untuk mengantarnya ke rumah sakit dengan ambulans sekolah.

Saat Nana dibawa pergi, Yuna mengepalkan tangannya erat-erat, matanya dipenuhi air mata dan kemarahan.

Kexin,,, gua gak bakal ngelupain ini. Lu bakal ngebayar semuanya.

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!