Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Cinta dan Dusta
Santorini masih diterangi matahari sore saat Alessia berdiri di balkon hotelnya, menatap lautan biru yang luas. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya, tetapi pikirannya jauh melayang.
Dia tahu bahwa kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama. Dunia mereka bukan dunia normal. Sejak dia mengenal Ziad, untuk pertama kalinya dalam hidupnya—baik sebagai Alexa sang jenderal maupun Alessia sang ratu mafia—dia merasa sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Cinta.
Sesuatu yang tidak pernah ada dalam hidupnya yang dipenuhi peperangan, darah, dan penghianatan.
Sejak pertemuan mereka, Ziad perlahan-lahan menjadi sosok yang berbeda di matanya. Bukan hanya sekadar dosen yang menarik perhatian atau seseorang yang misterius, tapi lebih dari itu. Bersama Ziad, dia menemukan rasa aman yang tak pernah dia miliki sebelumnya.
Dan itulah yang membuatnya takut.
Dia ingin memberitahukan semuanya. Tentang siapa dirinya sebenarnya, tentang kehidupannya yang tersembunyi, tentang mengapa dia ada di dunia ini. Tetapi setiap kali dia hendak mengatakannya, sesuatu selalu menahannya.
Ketika akhirnya dia merasa siap, semuanya berubah dalam semalam.
Malam itu, mereka duduk berdua di balkon, menikmati anggur merah yang menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya angin laut.
“Aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Alessia pelan.
Ziad menatapnya, sorot matanya lembut. “Apa itu?”
Alessia membuka mulutnya, tetapi suara itu tidak keluar. Sejenak, pikirannya dipenuhi oleh keraguan. Bagaimana jika Ziad tidak bisa menerimanya? Bagaimana jika semua ini hanya permainan lain dari kehidupan yang kejam?
Dia menarik napas dalam.
“Aku…”
Tiba-tiba, ponsel Ziad bergetar. Ekspresinya berubah dalam sekejap. Dari seorang pria yang sedang menikmati waktu bersama kekasihnya, menjadi seseorang yang baru saja mendapat perintah.
Dia mengangkatnya. “Ya?”
Alessia melihat sorot mata Ziad yang tiba-tiba dingin. Seperti Ziad yang lain, yang tidak pernah dia lihat ketika mereka sedang berdua.
“Baik. Aku mengerti.”
Ziad menutup telepon, lalu berdiri. Alessia merasakan sesuatu yang tidak beres.
“Kau harus pergi?” tanyanya.
Ziad mengangguk. “Aku mendapat tugas baru.”
Alessia menelan ludah. Entah mengapa, firasat buruk merayapi hatinya.
“Kapan?”
“Malam ini.”
Alessia terdiam. Sesuatu dalam dirinya ingin menahan Ziad, ingin mengatakan bahwa dia harus tetap tinggal. Tetapi dia tahu, seperti dirinya, Ziad juga memiliki kehidupan lain yang tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.
“Apa itu berbahaya?” tanyanya akhirnya.
Ziad menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
“Aku akan baik-baik saja,” katanya akhirnya.
Alessia menundukkan kepala. Lalu, tanpa berpikir panjang, dia melangkah mendekat dan menarik Ziad ke dalam pelukan.
“Kalau begitu… berjanjilah kau akan kembali,” bisiknya.
Ziad tersenyum tipis, membelai rambutnya dengan lembut. “Aku berjanji.”
Beberapa hari setelah kepergian Ziad, Alessia mulai merasa ada yang aneh.
Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Seolah-olah Ziad menghilang begitu saja.
Kecurigaannya semakin bertambah ketika tiba-tiba dia menerima laporan dari anak buahnya tentang sesuatu yang lebih mengejutkan.
“CAI telah mengumumkan bahwa Alessia Moretti, ratu mafia, telah meninggal.”
Alessia membeku.
“Apa maksudmu?” tanyanya, berusaha tetap tenang.
“Menurut informasi yang kami dapat, laporan itu datang dari salah satu agen mereka. Katanya, Alessia Moretti tewas dalam sebuah operasi rahasia beberapa hari lalu.”
Alessia mengepalkan tangannya. Hanya ada satu orang yang bisa melakukan ini.
Ziad.
Kenapa?
Kenapa Ziad harus berbohong? Kenapa dia harus mengatakan bahwa dirinya sudah mati?
Berbagai kemungkinan terlintas di benaknya. Apa ini bagian dari misi? Apa Ziad mencoba melindunginya? Atau… apakah semua ini hanya bagian dari permainannya?
Alessia tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa hatinya terasa sakit.
Sementara itu, jauh di tempat lain, Ziad berdiri di dalam ruangan gelap, menatap layar yang menampilkan data misinya.
Di hadapannya, seorang pria tua berjas hitam berdiri dengan tatapan tajam.
“Jadi, kau mengatakan bahwa target sudah dieliminasi?”
Ziad mengangguk. “Ya. Alessia Moretti sudah mati.”
Pria itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Bagus.”
Ziad mengangguk tanpa ekspresi. Tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah kebohongan terbesar yang pernah dia lakukan.
Dia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau salah. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia harus melakukannya. Karena misi kali ini jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia hadapi sebelumnya.
Dan dia tidak ingin Alessia terseret ke dalamnya.
Tidak peduli seberapa besar perasaannya. Tidak peduli seberapa dalam dia mencintai Alessia.
Lebih baik dia menghilang dari kehidupan Alessia sebelum semuanya terlambat.
.
.
.
Alessia duduk di dalam ruangannya, cahaya dari lampu gantung besar hanya menyinari sebagian wajahnya. Tangannya mengepal erat di atas meja, matanya menatap layar komputer dengan tajam. Laporan-laporan yang tersebar di hadapannya bukanlah dokumen biasa.
Setiap baris kalimat yang tertera di sana seakan menusuk dadanya satu per satu.
Alessia Moretti dinyatakan tewas dalam operasi rahasia.
Laporan resmi dikirim oleh agen CAI bernama Ziad Al-Fayed.
Tangannya mulai gemetar. Dia membaca ulang kalimat itu, berharap ada kesalahan, berharap semua ini hanya kebohongan belaka. Tetapi kenyataan tetap sama.
Ziad, pria yang selama ini dia cintai, pria yang telah dia percayai sepenuh hati, telah mengkhianatinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alessia merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada luka fisik, lebih menyakitkan daripada kematian di kehidupan sebelumnya.
Pengkhianatan.
Bibirnya bergetar, tetapi tidak ada kata yang keluar. Tubuhnya terasa kosong, seperti jiwanya telah direnggut.
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa seseorang yang telah dia buka hatinya, seseorang yang dia anggap berbeda dari yang lain, ternyata hanya mempermainkannya?
Malam itu, Alessia mengurung diri di kamarnya. Tidak ada yang diizinkan masuk. Tidak ada yang boleh melihat betapa hancurnya dia saat ini.
Dia menatap langit-langit dengan mata kosong, memikirkan setiap momen yang telah dia lalui bersama Ziad.
Dia mengingat sentuhan lembutnya, tatapan hangatnya, ciuman penuh gairahnya.
Dia mengingat semua janji-janji yang pernah terucap dari bibir pria itu.
"Aku berjanji, aku akan kembali."
Bohong.
"Aku ingin melindungimu."
Dusta.
"Aku peduli padamu."
Omong kosong.
Alessia merasakan dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin menangis. Tetapi air mata itu tidak keluar. Yang ada hanya rasa sakit yang perlahan berubah menjadi kemarahan.
Apakah selama ini dia hanya permainan?
Apakah selama ini Ziad hanya mendekatinya untuk mendapatkan informasi?
Apakah semua cinta itu hanya tipu daya seorang agen licik?
Tidak ada jawaban. Dan itu membuat hatinya semakin hancur.
Alessia tidak bisa diam begitu saja. Dia harus tahu seberapa dalam kebohongan Ziad.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk mencari informasi lebih lanjut. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk membawa semua yang dia butuhkan.
File demi file, rekaman demi rekaman, semuanya mengarah pada satu kesimpulan yang sama.
Ziad memang telah menyelidikinya sejak awal. Sejak malam pertama mereka bertemu, sejak Ziad muncul sebagai "dosen" di universitasnya. Semuanya telah direncanakan dengan matang.
Alessia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Nafasnya memburu saat dia memutar rekaman suara yang ditemukan dalam arsip rahasia CAI.
"Target telah berhasil didekati. Dia tidak curiga."
"Aku akan terus berada di dekatnya sampai semua informasi yang diperlukan didapatkan."
Alessia merasakan kepalanya berdenyut keras.
"Aku harus memastikan dia percaya padaku sepenuhnya sebelum operasi ini selesai."
Denyut itu berubah menjadi rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Lalu, rekaman terakhir diputar.
"Alessia Moretti sudah mati."
Suara Ziad.
Suara yang dulu membuatnya merasa aman. Suara yang dulu membisikkan kata-kata penuh cinta di telinganya.
Kini, suara itulah yang menghancurkan segalanya.
Alessia melempar perangkat itu ke lantai dengan kasar. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tersengal.
Jadi, beginikah akhirnya?
Begini caranya Ziad menghapus dirinya dari dunia ini?
Dengan kebohongan?
Dengan pengkhianatan?
Tangannya mengepal begitu kuat hingga kukunya hampir melukai telapak tangannya sendiri.
Ini lebih buruk daripada kematian.
Alessia berjalan menuju cermin di sudut ruangan. Dia melihat refleksinya sendiri—mata tajam yang kini tidak lagi menunjukkan cinta. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kepercayaan.
Yang tersisa hanyalah kemarahan dan luka yang tak akan pernah sembuh.
Selama ini, dia sudah membiarkan hatinya terbuka untuk pertama kalinya. Dan apa yang dia dapatkan? Luka yang bahkan lebih dalam daripada semua peperangan yang pernah dia hadapi.
Tidak ada lagi cinta.
Tidak ada lagi kepercayaan.
Ziad telah mengajarinya satu pelajaran berharga.
Cinta adalah kebohongan terbesar yang pernah ada.
Alessia menyentuh cermin itu, menatap matanya sendiri.
“Mulai sekarang,” bisiknya, “aku tidak akan pernah percaya pada cinta lagi.”
Dia menarik napas panjang, lalu berbalik dengan ekspresi yang berbeda.
Dia bukan lagi Alessia yang sama.
Cinta telah mati bersamanya.
Yang tersisa hanyalah ratu mafia yang siap menghancurkan siapa pun yang berani mengkhianatinya.