Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASALAH
Malam telah larut, dan Ruby berada di ruang kerja Rhys untuk pertama kalinya. Tak disangka, pertemuan ketiga ini terjadi karena kecerobohannya sendiri. Tubuh pria itu bagaikan raksasa, yang mana jika saling berhadapan Ruby layaknya seperti kelinci kecil. Ini bukanlah keberuntungan bagi Ruby, atau mungkin bisa disebut salah satu hari terburuk dalam hidupnya. Nasibnya kini berada di bawah sapu tangan kotor itu, dan dalam sekejap, ia mungkin tak akan lagi menginjakkan kaki di mansion ini.
Ruby River selalu melakukan kebiasaan buruk, menunduk dan memainkan ujung bajunya sendiri kala gugup, sembari menunggu pria dihadapannya itu untuk sekedar berbicara.
Namun, yang ditunggu hanya berdecak halus saja, dan setelahnya terdiam kembali.
Apakah pria itu meminta Ruby membuka suara lebih dulu, sebagai bentuk tanggung jawabnya karena melakukan kesalahan? Ya, mungkin saja.
"Tu—tuan, aku benar-benar tak bermaksud untuk mengotori sapu tangan anda. Maafkan aku... aku akan segera mencucinya." Suara Ruby selalu bergetar, kulit putih porselennya semakin memucat, menggambarkan bagaimana kegugupannya saat ini.
"Kau memang perlu mencucinya, sebagai tanggung jawabmu." Dingin dan datar, tanpa menunjukkan emosi, tapi juga tidak menunjukkan simpati. "Sebab kecerobohanmu ini cukup fatal. Benda yang kau gunakan itu bukan milikmu, dan dengan lancangnya kau gunakan tanpa persetujuan pemiliknya."
"Aku... aku tidak akan mengulanginya lagi, Tuan. Aku berjanji."
"Pekerja sebelumnya pun mengatakan yang sama, tapi tetap tak berubah," timpal Rhys.
Ruby menggigit jari, menahan rasa frustasi. "Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengulangi kesalahan ini. Jika... jika aku melakukannya lagi, aku akan siap menerima konsekuensinya."
Ruby mendapati Rhys hanya bungkam. Apakah ia sudah dimaafkan atau tidak? Namun, mata pria itu justru memperhatikan setiap lekuk sapu tangan yang diperiksa lewat tangan besarnya. Kemudian, tatapan tajam seperti jurang itu mengunci Ruby. "Mengelap tequila dengan sapu tangan ini, kau tak menemukan kain pembersih di sini?"
"Awalnya sempat terfikir ingin mencari kain di belakang, tapi Nona Amber memintaku untuk segera membersihkan tumpahan tequila itu di kakinya. Kaki nona juga memerah, jadi aku tak bisa menolak permintaannya," terang Ruby.
Dengan anggukan kepala saja sudah mewakili apa jawaban Rhys. Ya, sebut saja pria itu egois. Ia tak suka diacuhkan, tapi suka sekali mengacuhkan orang lain. Memberikan pertanyaan, setelah dijawab tak kembali direspon. Memang karakternya menyebalkan, tapi Ruby sangat memaklumi itu.
Ruby tersenyum saja untuk menetralisir rasa tak nyaman. Setelah menerima kembali sapu tangan dari Rhys, Ruby hanya diam tanpa berfikir untuk keluar dari tempat ini. Satu detik, dua detik, hingga puluhan detik, ruangan itu seolah tak berpenghuni. Hanya satu lampu di sudut ruangan yang dinyalakan, menghasilkan cahaya yang minim. Kini detik jam terasa cepat, seperti detakan jantung Ruby yang memburu. Bukan karena jatuh cinta, tapi gugup dan takut berhadapan dengan pria seperti Rhys.
"Jika ingin bermalaman di ruang kerjaku, tidak ada ranjang besar. Kau perlu meminta pelayan untuk membawa ranjang ke sini." Sindiran Rhys yang tiba-tiba, membuat Ruby menganggap serius, menggeleng tak enak.
"Tidak perlu, Tuan. Nyonya besar sudah menyiapkan ruangan lengkap dengan ranjang yang nyaman untukku menginap di sini. Tuan tak perlu berbaik hati sampai seperti itu padaku."
Rhys menunduk dengan tatapan serius. "Aku tidak memintamu tidur di ruanganku, tapi aku menyindirmu secara halus, mengapa tak segera pergi dari ruanganku."
Damn! Hilangkan Ruby sekarang juga.
"A—aku permisi tuan, selamat malam." Tak melirik, dan hanya menunduk Ruby memutar tubuhnya. Kakinya bergerak rumit, seperti sulit untuk tenang. Saat tiba dipintu besar, tangannya mengais gagang pintu, menarik dan mendorongnya, namun tak memberikan celah sedikit pun.
Rhys melihatnya, kesabarannya seakan teruji oleh kebodohan Ruby. Dengan tidak sabar, mengambil langkah cepat, berdiri dibelakang tubuh kecil itu, dan menarik kuat gagang pintu. Karena kesal, Rhys sampai tak sadar, bahwa tangannya sekarang bersentuhan dengan punggung tangan Ruby, seperti menggenggam.
Ruby hampir terbawa oleh tarikan pintu, untungnya ia bisa menjaga tubuhnya lebih cepat. Namun, yang Ruby rasakan justru semua perhatiannya terfokus pada tangan besar Rhys. Sentuhan itu, meski tidak disengaja, mampu membuat Ruby tertegun sejenak. Ada sesuatu yang aneh, tapi sulit untuk dijelaskan.
"Kau bisa kembali ke kamarmu," lontar Rhys setelah menarik tangannya kembali. Tubuhnya ikut mundur menjauh, berbalik, berjalan menuju meja kerjanya.
Gelenyar aneh yang dirasakan Ruby turut dirasakan oleh Rhys. Tetapi, Rhys lebih pintar menyembunyikannya. Bahkan dalam situasi sekarang, pria itu dengan mudah duduk di kursi kerja, bersama matanya memperhatikan layar macbook yang mati.
Tanpa menoleh ke belakang, Ruby keluar dari ruangan kerja Rhys. Lorong panjang itu menjulang di hadapannya, dihiasi pintu-pintu besar yang terkunci dan ornamen dinding yang indah. Namun, pandangan Ruby tetap tertuju pada lantai, seolah-olah yang terhampar disekitarnya tak sebegitu menarik.
...........
Esoknya.
Nafas Rhys tersengal, dadanya bergemuruh seperti mesin yang bekerja keras. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap dibiarkan berantakan dan sedikit basah, menambah kesan yang berbeda pada dirinya sekarang. Dumbbell itu, semakin tinggi ia angkat, bebannya terasa semakin berat. Ia melakukan rutinitas ini setiap pagi buta, setidaknya sebelum memulai bekerja di kantor nanti.
Rhys tak sendiri di ruang gym, mansion. Bersama sang ayah, langkah kaki itu teratur, berlari di atas treadmill. Bibir Ellard tak henti-henti berceloteh, berbicara pada Rhys yang hanya direspon singkat saja.
"Maz, kau tak bosan melajang? Ayah sangat ingin melihatmu berdiri di altar bersama seorang wanita."
Rhys tak menjawab, fokusnya masih tertuju pada dumbbell di tangannya. Ia mengangkatnya dengan gerakan terukur, sembari melirik pantulan tubuhnya yang terlihat jelas di cermin. "Untuk saat ini, pernikahan belum terfikirkan olehku," jawabnya singkat, tanpa menoleh pada sang ayah.
Kesal, Ellard menekan tombol "stop" pada layar treadmill, perlahan turun, sejenak meregangkan kakinya yang kaku. Nafasnya memberat, dan langkahnya menghampiri sang putra. Sembari berkata, "umurmu memasuki 31 tahun, dan pernikahan sama sekali tak terfikirkan olehmu? Rhys... hidupmu tak melulu tentang bekerja saja, cari wanita yang sepadan denganmu, atau Ayah saja yang mencarinya."
"Kumohon, Ayah, berhentilah membahas ini. Aku benar-benar malas berdebat sekarang."
"Ayah pasti akan berhenti membahasnya, jika kau segera membawa seorang wanita ke dalam mansion ini. Dan pernikahanmu perlu disiarkan oleh media, hanya beritanya saja, tak perlu wajahmu terpampang disana," tandas Ellard. Sorot matanya perlahan berkilat.
Rhys berhenti, membuang nafas berat, dan meletakkan kembali dumbbell ke tempatnya. Ia melirik ayahnya, Ellard. Sembari mengusap tubuhnya yang bermandikan keringat dengan handuk kering. "Jika pun aku akan menikah, aku tak ingin media mengetahui itu," tegasnya.
Perkataan Rhys mampu membuat Ellard menggeleng tak menyangka. "Dengan berfikir kau bisa menyembunyikan status pernikahan di balik dinding mansion ini, dan mengira tak ada satupun media yang mengendus? Itu terlalu mustahil bagimu, Rhys." Ellard terdengar menggeram.
"Aku hanya tak suka media terlalu menyoroti kehidupan pribadiku."
"Hanya menyiarkan kau sudah menikah, itupun hanya berita saja. Ayah juga tahu, bahayanya nanti jika saingan bisnismu mengetahui siapa istrimu. Apa kau pikir media akan mempertontonkan malam pertamamu—"
"Bukankah ayah ada rapat penting dengan para investor pagi ini? Jangan biarkan mereka menunggu," potong Rhys, suaranya datar, menahan jengkel.
Bibir Ellard terkatup, lalu merenggut janggut tipisnya sejenak. "Hampir saja terlupakan. Tapi, aku belum selesai membicarakan ini—"
"Bahas saja nanti. Aku tidak suka mendatangkan pertengkaran panjang di pagi hari." Baru saja kaki Rhys menyentuh ambang pintu, tubuhnya kembali memutar kebelakang, ia menatap sang ayah dari jauh yang juga memperhatikannya.
"Aku tak suka media membodohi ku dengan keuntungan yang mereka ambil. Aku akan pastikan, pernikahanku nanti tak akan sampai tercium oleh media bodoh itu." Kata terakhir yang terucap di bibir Rhys, sebelum melanjutkan langkahnya yang terjeda. Tubuh atasnya terlihat kekar, tanpa mengenakan baju atasan, ia melewati para pelayan wanita yang mencuri pandang padanya. Tujuan Rhys sekarang adalah dapur, tenggorokannya terasa kering. Sepertinya, air dingin bisa membantu rasa dahaganya.
Sedangkan dapur adalah tempat di mana Ruby berada. Namun sayangnya, jika pertemuannya dengan Rhys seolah orang-orang disekitarnya lenyap. Tidak ada Eden, Margareth, ataupun pelayan yang lain. Terjadi beradu tatap beberapa detik, sebelum Rhys melewati tubuh Ruby begitu saja. Ruby kembali memutar tubuhnya menghadap konter dapur, menggenggam apa saja yang ada di sana. Mencoba melirik dari sudut ekor mata, memperhatikan punggung lebar Rhys yang berdiri di depan lemari es, tengah menenggak sebotol tanggung air mineral.
Sementara Rhys sadar apa yang telah dilakukan Ruby, dengan cepat ia menolehkan wajahnya kesamping. Dahinya mengernyit, mendapati reaksi Ruby seperti tertangkap basah. Sedikit tampak lucu, apalagi mata dan tubuh wanita itu seperti tak bisa diam.
Dan tak tahu mengapa, Rhys berjalan mendekat pada Ruby. Tubuhnya yang besar berdiri di samping tubuh kecil itu, yang sama sekali tak berkutik dan hanya menunduk, bereaksi kecil. Tak hanya itu saja, botol mineral dingin yang masih berada di genggamannya, Rhys tempelkan pada pipi Ruby. Sentuhan terasa dingin membuat Ruby tersentak, matanya terpejam erat, dan mengeluarkan sedikit suara terengah.
"Cabul, um?" Rhys berbisik.
Sepertinya Rhys suka sekali membuat jantung Ruby berpindah dari tempatnya. Namun yang dilakukan Ruby hanya menjauh, menghindar pada Rhys yang begitu dekat dengannya, enggan untuk menjawab.
"Aku melihat kau mencuri pandang dengan sudut mata besarmu itu, kau melihat apa?" Tatapannya tajam dan penuh selidik, Rhys layangkan. Ia semakin berani mendekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Aroma tubuhnya, campuran keringat dan parfum yang kuat, menusuk hidung Ruby, membuat nafas wanita itu terasa dangkal.
"Aku... aku tak melihat tubuh, Tuan. Aku bersumpah! Aku tidak melihat apa pun." Paniknya bergetar, dari nada suara Ruby.
"Melihat reaksi tubuhmu saja aku tahu kau sedang berbohong." Suara itu terhenti perlahan. "Tidak perlu mengelak, aku tidak akan membunuhmu di sini."
Panas dingin terasa menjalar di tubuh Ruby. Ia benci saat-saat seperti ini, saat tatapan tajam menusuknya seolah ia adalah pencuri. Dan memang, bukankah ia mencuri? Mencuri kesempatan untuk melihat tubuh belakang pria di sampingnya itu.
"Maaf, Tuan..." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut kecilnya.
"Bukankah sekarang kau lebih jelas melihatnya?"
Ruby mudah sekali terkecoh, hingga ia begitu mudah mendongak tanpa diminta. Jaraknya sangat dekat, membuat Ruby dapat melihat keseluruhan tubuh atas pria itu. Sebelumnya, Ruby hanya tahu Zade yang memiliki coretan tinta di lengan saja. Rupanya, di dada Rhys terdapat goresan abstrak cukup panjang. Tapi jika diperhatikan cukup lama, itu bukanlah tato permanen dengan warna yang berbeda, tetapi kulit cacat yang menyerupai cabang pohon yang kering dan patah.