Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Sembilan belas tahun hidup, baru kali ini Naren merasa tidak nyaman berada di satu ruangan hanya berdua dengan ayahnya. Atmosfer yang melingkupi mereka terasa mencekik—hampir-hampir membuat tenggorokannya yang sudah kering semakin tidak bisa diselamatkan.
Layar televisi di depan mereka padam, membuat Naren bisa melihat refleksi dirinya dan ayahnya yang duduk bersebelahan. Dari pantulan itu pula, dia bisa melihat bahwa tatapan ayahnya sama sekali tidak lepas dari dirinya sejak kali pertama ia setuju untuk mengobrol berdua.
Naren menunduk, membawa tatapannya jatuh pada sepasang kakinya yang terbalut slippers berbulu warna abu-abu tua. Dia tidak suka keadaan begini. Dia tidak suka ada permusuhan di antara dirinya dan ayahnya—juga Mahen—karena di dunia ini, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain mereka berdua.
Akan tetapi, Naren juga tidak bisa bohong. Dia masih kecewa pada Mahen yang membohongi dirinya demi membantu kelancaran proses PDKT ayahnya dengan si nenek sihir. Dia juga masih kesal karena ayahnya masih kekeuh mencarikannya ibu sambung setelah ditolak berkali-kali.
"Cuma tiga bulan."
Sudut bibir Naren terangkat sebelah. Sudah dia duga ayahnya tetap akan bersikeras seperti sebelumnya. Maka setelah mendengar ucapan itu, dia tidak memberikan respons apa pun.
"Kasih Ayah waktu tiga bulan," ulang Janu. Sekali lagi, Naren masih tidak bereaksi. "Kalau dalam tiga bulan itu kamu betulan nggak bisa berubah pikiran, Ayah akan berhenti."
Berhenti dengan perempuan yang sekarang, untuk mencoba lagi di lain waktu dengan perempuan baru. Bukankah siklusnya memang selalu begitu? Lantas, kenapa ayahnya harus repot-repot meminta tiga bulan untuk sesuatu yang hanya akan berakhir sia-sia?
"The real berhenti, Naren. Ayah nggak akan deketin perempuan mana pun lagi kalau yang kali ini pun kamu nggak bisa terima."
Statement itu lantas membuat sudut bibir Naren kembali turun. Dengan kebingungan, dia menoleh ke arah ayahnya yang kini tampak begitu frustrasi. Satu alisnya terangkat perlahan, seirama dengan sel otaknya yang bekerja lebih keras mencerna apa yang barusan telinganya dengar.
"Ini yang terakhir, Ayah janji."
Untuk beberapa lama, Naren masih belum menjawab permintaan ayahnya. Akan menjadi hal bagus jika ayahnya betulan berhenti berupaya mencarikannya ibu sambung tetapi, kenapa harus meminta tiga bulan kepadanya? Apa yang ayahnya dan nenek sihir itu rencanakan? Bagaimana jika dalam tiga bulan itu, terjadi sesuatu yang membuatnya mau tak mau harus mengalah dan menerima keadaan?
"Please..."
Lirihan menyedihkan itu tak urung membuat Naren mengembuskan napas jengah. Andaipun kali ini dia menolak, apakah ayahnya akan berhenti? Rasanya tidak. Jadi daripada membuang energi, Naren memilih bangkit. Dia masukkan kedua tangannya ke kantong celana, di dalam sana, kedua tangannya terkepal erat dalam upaya menahan emosi yang kembali berkobar hebat.
"Tiga bulan, nggak lebih." Finalnya. Tanpa mau memandang ayahnya sedikit pun, dia berbalik cepat.
"Cuma tiga bulan," bisiknya di perjalanan kembali ke kamar. Sekarang, dia hanya perlu mencari cara untuk membuat nenek sihir itu mundur duluan sebelum tiga bulan.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Segera setelah memarkirkan motor sport kesayangannya, Mahen melesat cepat menghampiri ayahnya yang telah menunggu di depan pintu.
Hal pertama yang dia tanyakan begitu tiba di depan sang ayah adalah keadaan Naren. Apakah anak itu sudah keluar dari kamar, apakah sarapan dan makan siangnya sudah dimakan dengan benar, dan apakah anak itu sudah bisa diajak berdiskusi.
Semua pertanyaan yang dia ajukan dijawab oleh ayahnya dengan sabar.
Mahen menghela napas lega mendengarnya. "Sekarang anaknya di mana?" tanyanya antusias.
"Masih di kamar."
Kepala Mahen naik-turun. Wajahnya dihias senyum semringah, matanya berbinar bagai baru saja menemukan harta karun. "Mahen mau ketemu," ucapnya, dan tak butuh waktu lama untuk merealisasikannya ke dalam tindakan.
Segera setelah mendapat anggukan dari sang ayah, pemuda dengan potongan rambut under cut itu langsung melesat pergi. Langkahnya melambung, terasa ringan bagai sehelai bulu yang terombang-ambing tersapu angin. Dadanya bergemuruh, tetapi kali ini sensasinya lebih terasa seperti dirinya sudah siap untuk menerima lebih banyak kabar baik.
Mahen berhenti di depan pintu kamar yang tertutup rapat. Menarik napas sekali, tangannya meraih kenop dan langsung menariknya ke bawah dengan sedikit dorongan hingga pintu kayu itu terbuka.
Di dalam kamar yang gelap, dia menemukan Naren duduk di depan komputer gaming mereka. Kedua telinganya anak itu tersumpal headphone, membuatnya jelas tidak akan bisa mendengar suara apa pun selain suara game yang sedang dimainkan.
Dengan keantusiasan yang semakin membara, Mahen berjalan mendekat. Kursi berdoa dari meja belajar dia bawa mendekat, lalu bokongnya mendarat ringan di sana setelah berada tepat di sebelah kiri Naren.
"Hai, Boy," sapanya, kendati tahu Naren tidak dapat mendengarnya. Tak apa, dari lirikan matanya, Mahen tahu adiknya itu sudah menyadari kedatangannya.
Game yang Naren mainkan masih berlangsung, agaknya baru dimulai dan butuh waktu setidaknya 30 menit untuk menyelesaikan seluruh babak. Dengan sabar, tanpa berniat mengganggu, Mahen menunggu sambil bertopang dagu.
Ketimbang layar komputer, Mahen lebih tertarik memperhatikan ekspresi Naren yang berubah-ubah. Kadang menyeringai, kadang cemberut, kadang tampak datar saja seperti manusia yang tidak mengenal apa itu ragam emosi.
"Ah, babi!" seru Naren disusul gerakan sewot membanting mouse lalu menarik helaian rambutnya sendiri dengan begitu frustrasi.
Mahen menarik diri dari adegan topang dagu, lantas sedikit menjauh saat Naren tiba-tiba melepaskan headphone dan membiarkan benda itu menggantung di lehernya.
Beberapa detik kemudian, anak itu menoleh dan langsung menatapnya datar. "Apa?" sewotnya.
Dalam kamus hidup Naren, kalah main game karena alasan yang konyol adalah sesuatu yang menyebalkan. Jadi ketika kali ini dia harus kalah karena salah fokus setelah ditatap begitu intens oleh Mahen, kekesalannya seketika meledak.
"Nggak apa-apa. Emangnya Abang nggak boleh lihatin kamu lagi main game?" tanya Mahen balik dengan polosnya.
Naren mendengus, lalu berkata, "Nggak," dengan ketus dan memasang kembali headphone ke telinga. Dia sudah siap untuk menebus kekalahannya dengan memulai game baru.
Namun, sebelum tangannya berhasil menyentuh mouse, benda kecil itu sudah lebih dulu disambar oleh Mahen dan disembunyikan di dalam saku jaket.
"Nggak usah iseng," geramnya. Tatapannya penuh intimidasi, berharap kali ini Mahen akan cukup tahu diri untuk tidak merecoki kegiatannya.
"Bilang dulu, "Please, Abang." gitu. Nanti habis itu baru Abang balikin." Mahen meminta sambil mempraktikkan bagaimana biasanya Naren memelas kepada dirinya.
"Nggak sudi!" tolak Naren mentah-mentah.
"Ah, biasanya juga kamu paling seneng kalau disuruh bersikap imut ke Abang."
Kepalang kesal, Naren melepaskan headphone-nya lagi. Kemudian, tanpa aba-aba, dia menerjang tubuh Mahen, berusaha merebut paksa mouse dari jaketnya.
"Balikin!" serunya. Tangannya bergerilya di tubuh Mahen, tetapi abangnya itu juga lebih protektif melindungi barang sitaannya.
"Bilang dulu."
"Nggak mau!"
"Kalau gitu, nggak usah main selamanya!" Mahen mendadak ikut-ikutan keras kepala.
Peliknya adegan perebutan mouse itu membuat kursi yang mereka duduki masing-masing semakin terdorong mundur hingga tak banyak lagi ruang tersisa untuk boking mereka tempat. Alhasil, keduanya kehilangan tumpuan dan berakhir jatuh bergedebuk di lantai.
Keduanya mendesis, sama-sama meringis merasakan ngilu di pantat mereka yang mendarat lebih dulu.
Tetapi, sudah jatuh begitu pun, adegan perebutan mouse masih tidak berakhir. Hanya beberapa detik setelah membiasakan diri dengan rasa ngilu di pantat, mereka mulai saling menyerang dan bertahan lagi.
Naren memanfaatkan tubuhnya yang lebih besar untuk naik ke atas tubuh Mahen. Tangannya sudah payah menembus saku jaket Mahen yang dipertahankan mati-matian oleh empunya seolah di sana adalah tempat lelaki itu menyimpan nyawa.
"Balikin atau Naren gelitikin Abang sampai pingsan!" Naren mengancam.
"Coba aja kalau berani!" Mahen tak kalah songong memberikan perlawanan.
"Oh, nantangin. Oke, siap-siap!" Jemari lentik Naren sudah menari-nari di udara, siap menggerayangi tubuh seksi Mahen yang dia tahu betul di mana letak area sensitifnya.
Tapi lagi-lagi sebelum niatnya berhasil dieksekusi, Naren kembali dibuat diam setelah Mahen mengeluarkan ultimatum keramatnya. Kalimat andalan yang kerap kali dijadikan senjata utama setiap kali mereka terlibat pertarungan sengit dan Mahen tak punya lagi amunisi untuk bertahan.
"Seujung kuku aja kamu sentuh area sensitif Abang, uang jajan kamu Abang stop dan komputer gaming sama tab kamu Abang sita!"
Naren mematung sebentar, kemudian berdecak kesal dan menjauh dari tubuh abangnya yang masih terbaring di lantai.
"Nggak asik!" cibirnya. Kekesalannya semakin meningkat saat melihat segaris senyum muncul di wajah Mahen.
"Sun Abang dulu, nanti Abang balikin mouse kamu sekaligus Abang tambahin uang jajannya jadi tiga kali lipat." Mahen tersenyum usil, makin-makin membuat Naren terbakar emosi.
Tawaran itu sebenarnya kedengaran menggiurkan, tetapi ketika Naren ingat bahwa dirinya masih marah pada Mahen, dia segera menekan keantusiasannya dan menguburnya dalam-dalam di dasar hati.
"Nggak, makasih." Kemudian, dia berjalan ke kasur dan langsung menjatuhkan tubuhnya dengan posisi telungkup.
"Beneran nggak mau?" tanya Mahen, ikut berjalan mendekat ke kasur.
"Nggak."
"Yakin?"
"Yakin."
"Tiga kali lipat, loh?" telunjuk Mahen menoel-noel lengan Naren.
Naren mengubah posisinya menjadi telentang, mendelik penuh emosi pada sang abang. "Jangan sentuh-sentuh!" pekiknya.
Terkadang, sebuah larangan justru adalah perintah bagi Mahen. Alih-alih berhenti, dia malah melompat ke atas kasur, membekap tubuh Naren di dalam pelukan posesif sementara bibirnya nyosor saja ke wajah sang adik.
Naren berontak, dia berteriak sampai tenggorokannya sakit dan serak. Tetapi pada akhirnya, dia hanya bisa pasrah membiarkan wajahnya dijamah dengan brutal oleh abangnya.
Sementara itu, di ambang pintu kamar, ayah mereka mengawasi dengan sedikit perasaan lega di hatinya. Dia tahu, sepelik apa pun masalah yang sedang menerpa, mereka sebagai keluarga akan mampu mengatasinya. Karena sama-sama sadar bahwa mereka hanya saling memiliki satu sama lain.
Bersambung....