Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.
Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.
Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.
Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.
Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?
Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Tamu Tak Terduga
Mobil sport berwarna hitam pekat itu terhenti di pelataran basemen apartement. Cakra keluar terlebih dulu lalu membukakan pintu untuk Hanum, yang dibalas Hanum dengan ucapan terimakasih.
Lantas Cakra membawa Hanum ke gendongannya. Hanum pun manut saja, karena sudah ia bilang, kan, tak ada kruk yang bisa ia gunakan untuk berjalan sendiri. Suaminya ini benar-benar membuatnya bergantung.
Tak lupa, tas yang dibeli berserta belanjaan lainnya, turut Cakra raih dan membawanya, dan Hanum meminta untuk dibagi dua membawanya.
Selama menaiki lift dan berjalan melewati lorong, mereka berbincang santai diselingi tawa kecil ketika ada hal yang menurut mereka lucu dalam obrolan mereka.
Hingga tiba di depan pintu apartement mereka- tidak, menurut Hanum itu apartement Cakra- tentu saja. Cakra langsung men-tap kartu acces dan membukanya.
Raut riang mereka masih bertahan, hingga tiba-tiba keberadaan seseorang yang sedang duduk di dalam sana- menatap mereka datar, segera melenyapkan ekspresi bahagia keduanya.
Hanum terkejut, bahkan Cakra lebih terkejut lagi. "Mama?" gumamnya bingung.
Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin mamanya bisa masuk ke dalam apartemennya? Ah, Cakra lupa, mamanya kan bukan orang biasa. Apapun yang ingin dilakukan pasti bisa melakukannya. Termasuk hal susah seperti menyabotase sandi apartement?
"Heh, masih ingat mama juga, kamu?" tanya perempuan itu sinis.
"Mama ngapain disini?" tanya Cakra yang masih bertahan di posisinya, menggendong Hanum yang perasaannya sudah tak karuan sekarang.
Perempuan setengah baya yang masih sangat awet muda itu tak langsung menjawab, hanya menatap putranya marah bercampur sebal.
"Apa? Apa pertanyaan itu wajar dipertanyakan pada seorang ibu yang sudah lama tidak di jenguk oleh putranya? Bahkan yang bertanya adalah putranya itu sendiri?" sindir Liliana, yang kini tatapannya sudah menajam, seraya melipat tangan di dada.
Cakra meneguk ludah dengan susah payah. Gugup, tentu saja Cakra gugup. Pada papanya mungkin Cakra masih berani melawan, tapi pada ibunya? Jujur saja Cakra tidak berani.
"Siapa perempuan itu? Tidak ingin mengenalkan nya?" tanya Liliana kemudian, menatap Hanum sama tajamnya.
Padahal sejujurnya Liliana sudah mengetahui tentang siapa perempuan itu.
Hanum pun reflek menunduk.
Mengetahui istrinya ketakutan? Cakra segera membisikkan, "gapapa, jangan takut. Ada aku." ucapnya menenangkan. Namun, Hanum tak merespon apapun.
"Ma, jangan natap istri aku kayak gitu." pintanya.
"Oh? Istri? Kapan nikahnya?" tanyanya penasaran, menatap putranya bertanya.
Cakra sadar mamanya sedang mengintrogasi nya saat ini. Karena itu, Cakra pun memilih mendudukkan Hanum dulu di sofa sebrang mamanya, lalu Cakra turut duduk di sampingnya.
Lantas Cakra meraih jari-jari tangan Hanum dan mengaitkannya dengan jarinya. Menggenggam tangan itu erat.
Hanum sendiri hanya bisa menunduk saja. Ia tidak berani menatap perempuan itu yang ternyata adalah ibu suaminya.
Walaupun ekspresi mukanya tidak terlihat antagonis seperti wajah-wajah mertua di sinetron yang pernah Hanum tonton, tapi tetap saja menyeramkan.
"Gapapa, jangan takut." bisik Cakra lagi sebelum kembali menatap mamanya.
"Ma. Cakra tau, mama pasti sudah kenal siapa perempuan di samping Cakra. Tapi Cakra mau ngenalin lagi secara langsung ke mama." Cakra menarik tangan Hanum sampai ke pangkuannya. "Kenalin, ini Hanum, istri Cakra sekaligus menantu kedua mama." ucapnya tegas.
Liliana menatap datar putranya. Saat ini perasaannya sedang berkecamuk, antara marah, kesal, tidak terima dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Ibu mana pun pasti menginginkan pasangan yang sempurna untuk anaknya, yang sempurna hatinya dan juga sempurna fisiknya.
Begitupun Liliana yang menginginkan Cakra mendapatkan jodoh yang sempurna, terutama sempurna fisiknya karena Cakra adalah putra dari seorang pengusaha yang sangat terkenal di Asia Tenggara.
Ingin menaruh muka dimana jika sampai rekan-rekan bisnis suaminya juga teman sosialita nya tahu kalau jika ia memiliki menantu yang cacat?
"Kamu tidak menghargai kami sebagai orang tua kamu, Cakra. Menikah tanpa meminta restu kami, apa itu pantas?" tanya Liliana menahan emosi.
Ia marah pada putranya, tapi lebih marah lagi melihat fisik gadis itu.
"Maaf," hanya kata itu yang bisa Cakra ucapkan.
Cakra tidak menyesal, sama sekali tidak. Tapi jika ditanya apakah ia merasa bersalah? Terutama pada mamanya? Tentu saja iya.
"Maaf tidak akan merubah apapun Cakra. Kecuali tindakan," Liliana masih bersikap tenang.
"Maksud mama?" tanya Cakra bingung.
Liliana menatap keduanya bergantian, sebelum berkata, "ceraikan dia dan menikahlah dengan perempuan yang sudah kami siapkan."
Deg!
Cakra sontak terkejut bukan main. Begitupun Hanum yang masih bertahan menunduk. Namun, jantung Hanum pun rasanya seperti terhenti mendengar kalimat itu.
"Ma! Mama ngomong apa sih!? Cakra gak akan pernah ceraikan Hanum!" teriak Cakra, reflek. Dan ini adalah kali pertama Cakra meninggikan suaranya pada wanita yang sudah melahirkannya ini.
"Kamu berani berteriak pada mama?" tanya Liliana, terkejut sekaligus tak terima.
"Ma-"
"Kamu berani membentak mama, Cakra!?" potong Liliana lagi marah.
"Maaf," lagi, Cakra hanya bisa mengatakan itu. Cakra menatap penuh sesal pada mamanya.
"Kamu berubah Cakra."
"Ma, aku gak pernah berubah. Aku hanya gak suka ucapan mama yang seringan itu nyuruh aku cerain Hanum. Cakra gak bisa."
"Kenapa? Apa karena kamu sudah mencintai dia?"
Cakra terdiam. Cakra sendiri pun masih bingung dengan perasaannya. Apa dirinya sudah mencintai Hanum? Apa rasa suka itu sudah berubah menjadi cinta?
Hanum yang diam-diam menunggu jawaban Cakra pun merasakan sedih. Apa mungkin Cakra tidak mencintainya? Apa mungkin yang selama ini Cakra lakukan padanya hanya karena rasa kasihan?
"Bingung?" tanya Liliana dengan seringai mengejek.
"Kamu lihat? Bahkan anak saya saja tidak tahu, bagaimana perasaannya terhadap kamu." kali ini Liliana berkata pada Hanum yang matanya sudah berkaca-kaca.
Perlahan Hanum menarik tangannya dari genggaman Cakra yang mengendur, lalu menyatukan kedua tangannya di pangkuan.
"Hanum-" Cakra ingin meraih kembali tangan istrinya ini, namun, Hanum sudah lebih dulu berucap. "Sa-saya pa-pamit ke kamar dulu, B-bu." ijin Hanum dengan suara gugup sekaligus gemetar menahan tangis.
"Hanum tunggu dulu!" pinta Cakra yang sudah merasakan takut istrinya berpikir yang tidak-tidak.
Tanpa mempedulikan permintaan Cakra, Hanum segera berdiri dengan susah payah, lalu berjalan tertatih-tatih seraya berpegangan pada apapun yang ada di sekitarnya. Yang penting ia bisa sampai ke pintu kamar.
"Bahkan kalian sudah satu kamar?" sinis Liliana yang memperlihatkan gadis itu dengan tatapan tidak suka.
Setelah keberadaan Hanum menghilang di balik pintu, Cakra memusatkan kembali perhatiannya pada mamanya.
"Seharusnya mama gak bertanya soal itu. Apalagi di depan istri aku." Cakra berusaha untuk tidak emosi. Ia harus tetap sadar bahwa yang berada di hadapannya ini adalah ibunya.
"Kenapa? Mama kan hanya bertanya. Apa itu salah?" tanyanya ringan, terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.
"Salah, Ma! Sangat salah!" jawab Cakra cepat. "Pertanyaan yang mama ajukan itu sangat sensitif! Apalagi di depan istri aku. Cakra emang belum tau gimana perasaan Cakra pada Hanum sekarang, tapi Cakra akan berusaha mencintainya."
Liliana terkekeh seraya mengalihkan tatapannya ke lain arah. "Akan lebih baik kamu tidak usah mencintainya. Karena kamu akan tetap kami nikahkan dengan perempuan pilihan kami." ucapnya kejam.
"Ma! Mama apa-apaan sih!? Kenapa makin kesini sikap mama semakin sama seperti papa!? Mama berubah! Mama gak pengertian lagi sama Cakra!" teriak Cakra marah. Kali ini Cakra sadar karena ia benar-benar muak.
Reflek Liliana menurunkan lipatan tangannya, serta kaki kanan yang sedari awal bertopang di kaki kirinya.
"Mama akan berubah jika ini menyangkut jodoh kamu, Cakra! Mama hanya ingin yang terbaik buat kamu! Apa itu salah!? Kamu putra mama yang paling mama banggakan melebihi kakak dan adik kamu! Tapi sekarang, kamu malah membuat mama kecewa, Cakra!!!" akhirnya perempuan itu kalap juga.
"Tapi Cakra punya hak untuk memilih pasangan sendiri, Ma! Mama jangan terlalu ikut campur untuk soal itu!"
"Oke!!!" Dada Liliana naik turun. "Oke kalo memang itu pilihan kamu! Mama tidak akan ikut campur lagi." ucapnya menahan diri untuk tidak meledak lagi.
"Tapi mama minta, kamu harus tinggal di rumah."
"Gak bisa Ma-"
"Tinggal di rumah atau mama-" Liliana menggantung ucapannya, membuat Cakra was-was.
"Atau mama tidak akan segan-segan menarik semua fasilitas yang papa beri. Juga mematikan usaha yang susah payah kamu rintis itu!" lanjutnya mengancam, membuat Cakra terkejut bukan main.
Apa yang berada di hadapannya ini adalah mamanya? Cakra menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu, tidak percaya.
Sedangkan Liliana lantas beranjak dari sana, meninggalkan putranya yang terdiam mematung dengan tatapan kosong.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN