Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
POV Gendhis
.
.
Ketika melihat Raka ada di hadapanku, rasanya duniaku runtuh. Memang aku tidak bersembunyi dengan baik. Tidak seperti Silvia yang membentengi dirinya selama tujuh tahun berusaha agar tidak ditemukan oleh pria yang dicintai. Posisiku mudah diketahui oleh Raka.
Kepalaku berputar, napasku tersengal hingga merasa aku hampir mati. Ketika semua pandanganku gelap, aku tidak dapat mengungkapkan apa pun. Lelah dengan semua yang terjadi, tetapi aku masih memikirkan anak yang ada dalam kandunganku.
"Sayang, jangan berkata seperti itu. Aku mohon jangan teruskan perceraian kita. Aku berjanji padamu akan mengubah semuanya. Aku menyadari kalau kamu begitu berarti. Aku mencin..." ucap Raka.
"Cukup! Jangan mengatakan hal yang membuatku muak. Sudah cukup aku mendengar ini semua darimu. Aku tidak mungkin membatalkan perceraian kita. Lebih baik kamu mengejar kembali Silvia. Bukankah itu yang kamu inginkan?" tanyaku sambil menantang Raka.
Pria di hadapanku ini selalu saja mengumamkan Silvia di setiap kesempatan. Bila aku terus bersama dengannya, aku akan terus mengingat dia yang menyebut nama wanita lain di saat kami sedang bercinta terus membuat darahku mendidih.
Aku mengalihkan pandangan, enggan terjebak dalam kehangatan yang berusaha dia tawarkan. Dia hanya diam tidak menjawab ucapanku. Sepertinya begitu shock dengan keinginanku untuk bercerai. “Kenapa kamu masih ada di sini?”
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia meraih gelas air di meja kecil di sebelah tempat tidurku dan menyodorkannya padaku. “Kamu butuh minum.”
Aku mengambil gelas itu, tapi tetap menjaga jarak. Setelah menyesap sedikit, aku meletakkannya kembali tanpa berkata apa-apa.
“Gendhis,” suaranya memecah keheningan, “aku tahu kamu tidak ingin aku di sini, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian, terutama dalam kondisi seperti ini. Aku tahu kamu marah padaku. Tolong luapkan saja semua perasaanmu kepadaku,"ucap Raka.
Aku menghela napas, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. “Kondisi seperti apa, Raka? Kondisi di mana aku harus melupakan semua sakit hati yang kamu berikan? Kondisi di mana aku harus pura-pura tidak tahu bahwa kamu selalu mengutamakan orang lain dibanding aku?”
Dia terdiam, menunduk seolah kata-kataku telah menghantamnya keras. Tapi kemudian, dia mendongak, menatapku dengan mata penuh penyesalan.
“Aku salah, Gendhis. Aku tahu aku salah. Aku bodoh karena tidak menghargai apa yang kita miliki. Tapi aku berjanji, aku akan mengubah semuanya. Aku ingin kita memperbaiki ini, untukmu, untuk anak kita.”
Sebelum aku sempat menjawab, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Bu Yeni. Ibu mertuaku masuk dengan langkah hati-hati, membawa tas kecil di tangannya.
“Gendhis, sayang, bagaimana kabarmu?” tanyanya lembut, berjalan mendekat ke tempat tidurku.
Aku menatapnya dengan campuran perasaan. Bu Yeni selalu bersikap baik padaku, tapi aku tak bisa menyangkal rasa sakit hati yang masih menghantuiku karena hubunganku dengan Raka.
“Saya baik-baik saja, Bu,” jawabku singkat. bukan bermaksud untuk tidak sopan pada ibu mertuaku, tetapi aku tidak sanggup untuk menatap matanya yang dipenuhi oleh luka.
Aku memahami kalau beliau sangat terluka dengan hal yang terjadi pada pernikahan kami. Matanya menyiratkan kalau itu semua membuatnya terpukul.
Bu Yeni duduk di kursi di sisi lain tempat tidurku, berseberangan dengan Raka. Tatapannya penuh iba, seolah memahami betapa berat beban yang sedang kupikul.
“Gendhis,” katanya, suaranya lirih, “ibu tahu kamu sedang terluka. Dan ibu tidak akan memaksamu untuk memaafkan Raka atau menerima dia kembali. Tapi ibu ingin kamu tahu, kamu tidak sendiri. Apa pun keputusanmu, ibu akan selalu mendukungmu.”
Air mata yang selama ini kutahan mulai mengalir perlahan. Kata-kata Bu Yeni terasa begitu tulus, membuat dinding yang kubangun di sekeliling hatiku sedikit retak.
“Ibu hanya berharap,” lanjutnya, “kalau masih ada sedikit ruang di hatimu untuk Raka, mungkin kamu bisa memberinya kesempatan. Dia memang membuat kesalahan besar, tapi ibu tahu dia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”
Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Sementara itu, Raka menggenggam tanganku perlahan, kehangatan dari sentuhannya membuatku ingin percaya bahwa dia tulus.
“Gendhis,” katanya dengan suara yang terdengar bergetar, “aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan selalu ada di sini, di sisimu, apa pun keputusanmu.”
Aku menatapnya, mencoba mencari kebohongan di matanya, tapi yang kutemukan hanyalah ketulusan.
“Mungkin...” aku menarik napas panjang, merasa ragu dengan kata-kata yang akan keluar. “Mungkin aku bisa mencoba, Raka. Tapi jangan harap aku akan langsung memaafkanmu.”
Raka tersenyum tipis, air mata terlihat menggenang di sudut matanya. “Aku tidak meminta kamu memaafkanku sekarang. Aku hanya ingin kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi pria yang pantas untukmu.”
Malam itu, di ruang rawat sederhana ini, aku merasa bahwa meskipun luka ini masih dalam, mungkin ada sedikit harapan untuk memperbaiki semuanya. Tapi aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah.
"Aku memang tidak akan bisa memaafkanmu dengan mudah Raka," ucapku.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca. ❤️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..