NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Sekutu?

Maelon berjalan menyusuri jalan setapak yang tak pernah diberi nama, menembus belukar dan ranting-ranting kering yang menjulur seperti tangan-tangan tulang. Matahari mulai merangkak di balik langit kelabu, cahayanya samar dan dingin, seolah pun enggan menyentuh dunia yang telah lama melupakan kehangatan.

Setiap langkah yang ia ambil terasa berat. Bukan karena tubuhnya yang terluka, tapi karena pertanyaan yang terus berputar di benaknya.

“Kontaminasi?”

“Korupsi aura entitas?”

“Mengada-ada…”

Ia tidak merasa berbeda. Tidak ada suara-suara aneh di kepalanya. Tidak ada dorongan haus darah. Tidak ada kilatan kekuatan asing di matanya. Ia tetap Maelon. Masih lapar. Masih haus. Masih sendirian.

Di pikirannya, para penjaga itu hanya mencari alasan. Alasan untuk membuangnya. Alasan untuk tidak bertanggung jawab atas kesalahan mereka. Dan… mungkin itu benar. Mereka takut. Takut pada sesuatu yang tidak mereka pahami.

Tapi yang tidak Maelon ketahui… adalah bahwa makhluk berkepala tiga itu tidak benar-benar pergi. Ia mundur, ya. Tapi tidak melupakan. Tidak melepaskan.

Di bawah kulit Maelon, di dekat luka bekas cengkeraman cakar itu, ada sesuatu yang tertinggal—tanda samar yang tak bisa dilihat dengan mata manusia. Sebuah simbol yang bukan berasal dari dunia ini, melingkar seperti luka bakar tapi tak meninggalkan rasa sakit. Ia hanya… ada. Diam. Menyala dalam gelombang yang tak terdengar, mengirimkan denyut seperti detak jantung yang menjangkau ruang dan waktu.

Makhluk itu tahu di mana Maelon berada. Setiap saat. Dan tanda itu… adalah janjinya.

“Jadilah lebih kuat.”

“Agar aku bisa membunuhmu sendiri.”

Sementara itu, Maelon melanjutkan perjalanannya. Tubuhnya dibalut debu dan luka, tombak besi panjang di genggaman—senjata sederhana yang ia temukan saat berlari dari kematian. Tidak terlalu tajam. Tidak seimbang. Tapi setidaknya, sesuatu untuk bertahan.

Ia memburu binatang kecil, menebas tanaman liar yang bergetah. Air kotor dari sungai dangkal ia tampung dengan tangan, meminumnya perlahan walau rasanya seperti karat. Saat malam, ia membuat perapian kecil, cukup untuk mengusir hawa dingin, tapi tidak cukup terang untuk menarik perhatian makhluk-makhluk asing.

Dalam diamnya, ia tidak pernah tahu bahwa langit mengawasinya. Bahwa ada entitas yang terus memantau dari kejauhan. Bahwa setiap nyala api kecil yang ia nyalakan, setiap langkah kaki yang ia buat, tak pernah benar-benar luput dari mata yang tak berkedip.

Maelon berpikir ia bebas. Bahwa ia telah meninggalkan semuanya. Namun kenyataannya, ia hanya memasuki babak baru dari permainan yang telah disusun jauh sebelum ia dilahirkan.

Hari keempat. Atau kelima. Maelon tidak yakin lagi. Waktu tidak berjalan dengan cara yang sama di luar tembok. Siang dan malam seakan hanya peralihan warna kabut, bukan sesuatu yang memberi batas atau penghiburan.

Ia duduk di bawah pohon berakar menjulur, mengunyah daging binatang kecil yang dibakarnya semalam. Rasanya getir. Anyir. Tapi perutnya tak mengenal selera—ia hanya tahu lapar. Sementara api kecil di hadapannya mulai padam, ia mendengar suara—tidak dari arah yang jelas, tapi cukup dekat untuk membuatnya menggenggam tombaknya erat.

Langkah kaki. Tiga orang. Pelan, tapi tidak menyembunyikan kehadiran mereka. Satu di antara mereka berbicara, suaranya dalam dan bergetar seperti kerikil di dasar sungai.

“Kau manusia… atau hanya sisa?”

Maelon berdiri perlahan. Tubuhnya masih nyeri. Darah di sisi perutnya mulai mengering, meninggalkan jejak gelap di baju lapuknya. Ia menatap ke arah suara—dan dari kabut, muncul tiga sosok.

Mereka tampak seperti manusia, tapi ada yang ganjil. Cara mereka bergerak—terlalu tenang, terlalu pasti. Yang pertama bertubuh tinggi, mengenakan mantel kulit dengan lambang berbentuk lingkaran terbelah. Wajahnya dipenuhi bekas luka, dan satu matanya ditutup dengan logam berkarat. Yang kedua, seorang wanita berambut pendek dengan topeng yang hanya menutupi mulutnya, membawa dua pisau kecil yang terikat di pinggang. Yang ketiga tampak muda, tapi sorot matanya kosong. Ia menggendong semacam tas besar, kemungkinan berisi perlengkapan dan persediaan.

Mereka tidak menyapa. Hanya berdiri, mengamati Maelon seperti sepotong batu aneh di tengah jalan yang tak seharusnya ada.

“Kau sendiri?” tanya si wanita, matanya menyipit.

Maelon mengangguk. “Dibuang dari dalam tembok.”

“Kelas berapa?”

“Aku… bukan siapa-siapa.”

Hening. Tidak ada tawa, tidak ada belas kasihan. Tapi ada ketertarikan samar di mata mereka. Si pria bertubuh tinggi melangkah maju, memperhatikan tombak Maelon dan luka di pinggangnya.

“Kau masih hidup, setelah keluar dari gerbang timur?”

“Ya.”

“Itu… jarang terjadi.”

Maelon tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu bukan kekaguman, melainkan semacam penghitungan. Mereka mengukur dirinya—bukan sebagai kawan, tapi kemungkinan. Sebagai nilai tukar, atau ancaman yang belum tumbuh sempurna.

Akhirnya, pria itu membuka mantel kulitnya, memperlihatkan simbol peta kasar yang digoreskan di dada bajunya. Jalur-jalur, titik-titik, nama-nama tempat yang telah dilupakan dunia dalam. Ia menunjuk satu lokasi.

“Kami menuju reruntuhan Arkhal. Jika kau cukup kuat untuk bertahan, ikutlah. Tapi kami tidak melindungi siapa pun.”

Maelon menatap mereka. Ia tahu ini bukan pertolongan. Mereka tidak membawanya karena kasihan. Mereka hanya menerima keberadaannya… untuk sekarang.

Tapi ia tidak punya tempat lain untuk pergi.

Dengan langkah berat, ia berjalan bersama mereka. Menyatu dalam diam dan kabut. Saling menjaga jarak, tapi tetap dalam jangkauan. Ia memperhatikan cara mereka tidur, cara mereka menyimpan makanan, cara mereka menghindari suara-suara di malam hari yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh bahasa manusia.

Hari demi hari berlalu. Maelon merasa tubuhnya mulai terbiasa. Luka di pinggang perlahan menutup, meski rasa sakitnya tak pernah benar-benar hilang. Mereka kadang berbincang singkat—tentang jenis makhluk yang mereka temui, tentang reruntuhan tempat artefak bisa dijarah, tentang kota-kota mati yang terkubur di lapisan kabut.

Tapi tidak pernah tentang masa lalu. Tidak pernah tentang asal-usul.

Dan tak satu pun dari mereka bertanya lebih jauh tentang bagaimana Maelon selamat dari entitas kelas-X.

Namun saat malam sunyi menyelimuti hutan, ketika yang terdengar hanyalah suara api yang meletup pelan dan desah angin yang membawa bau logam, Maelon sesekali melihat si wanita bertopeng mengamati punggungnya dari kejauhan. Lama. Tanpa kata. Seperti sedang menghitung sesuatu yang tak bisa dilihat mata biasa.

Sudah tujuh hari Maelon berjalan bersama mereka. Tujuh malam tidur di tanah keras, berbagi api, berbagi cerita seadanya—namun tak pernah benar-benar berbagi kepercayaan.

Pada malam kedelapan, saat mereka mendirikan perkemahan kecil di bawah reruntuhan menara pengamat tua, kabut datang lebih tebal dari biasanya. Tidak ada angin, tidak ada suara burung malam. Hanya keheningan yang menggumpal—dan pandangan yang tak bisa menembus dua langkah ke depan.

Maelon sedang menajamkan ujung tombaknya ketika suara berat pria bermantel kulit menyelinap pelan di belakangnya.

“Punggungmu… ada bekas aneh.”

Maelon menoleh. “Apa maksudmu?”

Pria itu menunjuk dengan dagunya. “Di antara tulang belikatmu. Cahaya samar, kadang berkedip saat malam.”

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!