"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Rumah makan yang menjadi tempat kunjungan mereka berdua itu cukup sepi, tapi tak ada yang tahu keduanya dapat kejutan dari sepasang suami istri yang hampir satu bulan ini tidak kelihatan eksistensinya. Ya, mereka berdua bertemu dengan Haris dan Naira.
"Hai, ketemu di sini kita," Haris menyapa teman satu tongkrongannya itu tanpa canggung.
"Kapan ke markas? Banyak yang nanyain lu," sahut Jay, "Iya, nanti aja, akhir-akhir ini bini gue sering ngidam pengen nonton film ala-ala bioskop di rumah hahaha," laki-laki berkata dengan benar bahwa keinginan istrinya saat hamil memang cukup unik. Yang dia sebutkan tadi hanya satu dari berbagai kerandoman dari segala hal yang pernah dia lakukan.
Jay mempersilakan mereka berdua untuk duduk saling berhadapan, sementara Ning sejak tadi berusaha tersenyum natural. Gadis itu sedang memperhatikan istri Haris tanpa mau berpaling. Ada sesuatu yang menarik minatnya untuk terus menatap Naira, entah apa.
"Kalau ngeliatin biasa aja, nanti muka istri gue bisa bolong gara-gara lo liatinnya begitu."
Suara Haris membuat semua mata tertuju padanya, Ning merasa malu karena melakukan hal yang memang cukup membuat manusia manapun risi. Sadar akan kesalahannya, dia tidak mengelak justru membuat suasana menjadi cair dan agak menantang.
"Aku ngeliatin istri kamu karena dia cantik banget saat hamil," Ning memasang wajah jutek sambil menjulurkan lidah, "Naira, mau ikut sama aku main nggak? Ada Kartika, Gisel, sama Winda juga kok! Kita seru-seruan di mall!" katanya melanjutkan kali ini lebih fokus menatap Naira.
Haris hanya bisa menatap respon dari sang istri, dia kelihatan sedikit nyaman dengan Ning. Sebuah kemajuan yang terlihat, sedangkan Jay memastikan agar Pak Ridwan juga makan meskipun tidak tahu keberadaan pria paruh baya itu sekarang. Jay sibuk teleponan.
"Ya, nanti Bapak ke sini lagi aja. Kalau lama istirahat dulu setelah makan, masih banyak waktu, kita juga belum pesan makanan."
Ketenangan Jay dalam menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin membuatnya terlihat sudah cocok menjadi CEO muda kaya raya seperti dalam novel dan film, Haris akui teman dekatnya itu memang sangat memiliki potensi memegang saham perusahaan Ayahnya, serta melanjutkan segala perjalanan bisnis keluarga. Haris sedikit iri dengan perjalanan hidup sahabatnya itu.
Jay menatapnya, "Kenapa?" tanyanya begitu selesai menutup telepon.
Haris tersenyum, laki-laki seperti Jay memang pekanya minta ampun. Padahal diperhatikannya tidak secara terang-terangan, malah terkesan tak bisa dilihat karena Jay membelakanginya.
"Gue bisa ngerasain tatapan lo itu tau, nusuk ke punggung," sahutnya seolah tahu isi pikiran Haris. Kemudian, Haris mengangguk sebagai tanda menyerah.
"Nggak apa-apa, gue cuman laper buruan pesen!" serunya pada Jay.
Melihat kedekatan sang suami dengan orang yang paling disegani di sekolah dulu, membuatnya merasa tidak tenang. Naira tak tahu kenapa, hanya saja dia tak begitu ingin berteman dengan Jay, mungkin Ning bisa tapi dengan kekasihnya gadis itu dia tertekan. Melihat ada yang janggal dengan ekspresi istrinya, Haris segera menempelkan telapak tangan di jidat Naira. Hal tersebut tentunya disaksikan oleh sepasang "kekasih" yang sedang sibuk memilih makanan.
"Kamu sakit? Keringat kamu banyak banget sayang," katanya dengan nada khawatir.
Jay memperhatikan setiap gerak-gerik Haris tanpa terlewat, apa benar anak itu mulai membuka hati untuk Naira? Tidak terpaksa? Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Haris sampai mau bertanggung jawab atas perbuatan yang bukan miliknya. Jay sungguh tak pernah paham alasan dari semua yang dilakukannya sejauh ini. Dia bahkan merelakan banyak hal demi menikahi gadis itu, meninggalkan tahta tinggi yang bisa dia raih sebagai pewaris grup selanjutnya, dan membiarkan Papanya mengurus semua. Lebih tepatnya kedua orang tua mereka tidak memberikan izin untuk anaknya yang mengelola.
"Aku nggak apa-apa kok," mendengar jawaban istrinya, Haris bertanya sekali lagi, "Beneran nggak apa-apa?" ia hanya ingin memastikan.
Pertanyaannya dapat anggukkan dari Naira, dia membelai wajah sang suami tanpa ragu. Menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan Haris tak perlu sampai segitunya. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya makanan datang sesuai pesanan. Mereka makan dengan lahap, terutama Naira yang terlihat berbunga-bunga saat menyantap makanannya. Haris yang belum pernah melihat pemandangan seindah itu menghentikan acara makannya, lebih memilih untuk menatap perempuan berbadan dua yang ada di sampingnya. Jay mengerlingkan mata, lalu bertatapan dengan Ning yang juga sedang menatapnya.
"Uhuk--uhuk!!" nah kan Ning jadi tersedak makanannya.
"Minum, pelan-pelan," sahut Jay begitu Ning menyambar minuman miliknya.
Hal tersebut membuat pasangan suami istri di depan mereka mengalihkan perhatian, masa muda memang lucu. Ning melotot saat tahu bahwa yang dia minum bukan mojito tanpa alkohol atau virgin mojito, melainkan mojiso sparkling water yang rasanya hampir mirip dengan mojito.
"Ini bukan minuman aku!" katanya mengernyit kesal, "Kamu sendiri yang ngambil," konyol sekali Ning ini, yang ngambil siapa yang disalahkan siapa.
Ning menutup wajahnya karena malu. Belum juga reda rasa malunya, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya dari belakang yang tentu membuatnya terkejut. Begitu juga dengan Jay yang sama-sama membelalakan mata saat melihat para kunyuk lain ada di sana. Suni dan Joni tersenyum ke arahnya, ia malas menanggapi mereka berdua. Tapi tunggu sebentar, siapa yang bersama Suni...?
"Oh, gue bawa Rumi ke sini, nggak apa-apa 'kan?" tanya Suni yang tahu apa arti dari tatapan Jay.
"H-halo semuanya..." sapa Rumi malu-malu dan canggung.
Ning yang semula kesal bukan main, langsung berubah begitu melihat Rumi yang keluar dari punggung Suni. Gadis itu kecil nan gemas, belum lagi pakaiannya yang khas, gadis culun dengan kepang satunya. Ning suka sekali tipe manusia seperti Rumi yang jujur dalam bertingkah laku.
"Hai, hai Rumi! Sini, sini makan, aku pesenin lagi mumpung baru mulai makannya!"
"Kamu mau bayarin dia?" tanya Jay, "Dih, kamulah! Kan kamu pacar aku," jawabnya enteng sekali.
"Pfftt!" Suni, Joni, dan Haris menahan tawa karena itu lucu. Seorang ketua geng yang disegani oleh orang-orang, kini tak berkutik di dekat pacarnya. Yang biasanya melawan perintah, saat ini seperti orang bodoh yang mau dimanfaatkan dalam keadaan apapun.
Jay menatap mereka semua bergantian, lalu mereka terdiam karena bisa jadi masalah atau minimal kartu hitam mereka akan dibekukan oleh Jay. Sungguh luar biasa nyali mereka semua, bisa-bisanya mereka bermain api dengan pembisnis muda dan calon presiden direktur perusahaan nomor tiga seasia seperti Jay, habis sudah masa depan mereka jika lebih dari itu.
"Terserah kamu," katanya lelah.
Ternyata yang direpotkan hari itu adalah Jay, bukan Pak Ridwan. Mungkin orang tua satu itu sedang asyik bermimpi di masjid terdekat. Ya, Pak Ridwan sering tertidur setelah melaksanakan ibadah. Omong-omong, Jay belum pernah ke masjid lagi semenjak dia sering keluar masuk klub malam. Harap jangan dicontoh ya Adik-adik yang manis, dia tidak baik dijadikan panutan.