[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy
Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.
Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.
Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.
-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Gelora
..."Ada manusia yang dibekali dengan otak, tetapi tidak dengan akal. Ada juga yang seakan tidak memiliki akal namun, berproses pelan. Ada juga yang mengelus surai sedangkan, bagian lain menangis." - Surai....
Semalaman melawan kata gerah. Berbagi oksigen dengan penghuni kasur lainnya sudah Coin rasakan mulai malam kemarin. Sedikitnya suara langkah juga pintu terbuka menganggu penglihatannya.
Senyuman mana yang sudah direnggut? Suasana dingin mencekam ikut hadir dalam merenggut senyuman manis gadis dibawa menuju ke lain ruang.
Coin membenahi posisi tidurnya. Menoleh ketika sedikitnya derap langkah membuyarkan mimpinya. Ada dua orang yang membawa gadis kecil bernama Ara. Matanya enggan melek, hanya melihat sekilas lalu kembali tertidur.
Tidurlah kalian, wahai penganut nutrisi.
Teriakan tidak mampu dilontarkan. Sedikit air mata tidak akan berpengaruh kepada semua lelaki jahat. Dibaringkannya gadis itu dalam meja. Terpaksa diikat kuat karena memberontak.
Membuka dada gadis yang sudah sepenuhnya disayat sedemikian rupa hingga membentuk sebuah jaringan berbentuk insang ikan.
Menciptakan manusia ikan, katanya.
“Wala, kalau begini sepertinya gagal.” Lelaki yang dikenal Ara sebagai Poppin merutuki.
“Yah, sepertinya. Tapi kita harus mencobanya.”
Seorang lelaki tinggi, memakai jas putih panjang hanya meringis. Ketika melihat Ara, gadis malang menjadi korban eksperimen ayah juga sahabatnya. Berambisi untuk menciptakan dunia penuh manusia mutan agar bisa berguna sebagai pertahanan militer.
Lelaki dengan nama dada Idris Morf P hanya memalingkan wajahnya. Melihat gadis itu dimasukkan ke dalam akuarium besar lalu menutup atasnya dengan baja kuat. Dari kaca tipis itu manik berwarna cyan melihat semuanya. Bagaimana tangan menggapai atas akuarium. Berteriak teredam oleh gelembung udara menipis.
“Sangat mengecewakan.”
Idris melenggang meninggalkan ruangan. Ayahandanya melirik kepergian putra semata wayangnya.
“Idris,” panggil ayahandanya.
“Aku pulang. Capek.” Hanya begitulah jawaban ketika lelah melanda tubuh Idris.
Setelah sejam berlalu tangan kecil putih pucat kini berhenti menggapai tepian akuarium. Dengan mati lemas hanya bertahan selama satu jam.
“Sepertinya aku salah perhitungan.” Tuan Poppin memiliki rambut keribo unik mengusap kasar.
“Bawakan anak berikutnya,” pesan Tuan Poppin kepada anak buahnya. Setelahnya meninggalkan ruangan bersama dengan Tuan Bond.
Dengan kursi rodanya didorong menuju rumah megah, mewah tiada tanding. Tempat rumah yang sangat nyaman, bagi dirinya yang sudah dimakan usia.
Tuan Bond masih melihat putranya itu menutup pintu kasar. “Suasana hatinya sangat buruk,” lirih Tuan Bond.
Begitu dimanja, begitu disayang, begitu dituruti apa kemauannya. Walau tidak bekerja selama setahun pun masih dia rawat dengan baik.
Tuan Bond tidak akan pernah bersedih melihat semua anak mati dalam genggaman. Tidak akan pernah goyah hatinya melihat ratusan tangisan. Yang dia takutkan adalah ketika Idris marah kepada dirinya.
Perlahan menemui putranya itu, meringkuk dalam hangatnya selimut berwarna hitam juga corak bunga Lily.
“Idris, apakah ada yang salah?”
“Bisakah jika tidak melakukan hal gila ini lagi?” Nada sedikit meninggi membuat Tuan Bond yakin jika putranya marah.
“Ayah tidak akan melakukannya lagi.”
Pada akhirnya siapa yang mengangguk terhadap kehendak putranya. Semenjak menemukan bayi, kekayaan datang begitu cepat. Hanya berbekal merawat lelaki yang ditinggalkan dalam kebun Opium. Tuan Bond menjadi pemasok opium terbesar di Pulau Arahis, letak Kerajaan Eudoria paling maju perekonomian juga obat biusnya.
Opium sangat sulit ditanam di tanah mana pun. Beberapa kali dikembangkan tetapi menghasilkan obat bius lemah. Dan disinilah peran Tuan Bond berada. Entah opium siapa yang ditanam di atas bukit, penduduk sekitar pun tidak pernah mengetahuinya.
Tuan Bond menekan nomor telepon yang sudah dia hafal sepanjang hidupnya. “Tuan Poppin, sepertinya kita harus menghentikan manusia ikan. Ada yang lebih menarik.”
Senyuman di wajah Idris tidak pernah mampir lagi. Walau begitu kehebatannya dalam meracik obat dan mendiagnosa penyakit tidak perlu dipertanyakan. Hanya mengangguk pasrah kepada ayahnya lalu berbalik dan tertidur.
Pagi menjelang siang ketika banyaknya anak beramai berebut makanan. Sarapan sedikit terlambat karena pagi mengurusi sesuatu hal, katanya.
Perawat Paula bertepuk tangan, memisahkan kedua anak yang bertengkar. “Kalian jangan berebut ya,” Paula berujar lirih sembari mengecup dua anak kembar.
Coin mengedarkan pandangannya. Dari sudut ke sudut. Siapa yang dia cari adalah anak dengan tabung oksigen. Menjadi pertanyaan semata di dalam benaknya. Pada akhirnya, hanya mengacuhkan segala pertanyaan dan berakhir pada siang yang tanpa kerjaan.
Anak-anak panti memiliki pekerjaan unik, mereka memiliki perkebunan yang dikelola oleh Tian Bond. Ditanam, dipanen, dan dirawat oleh anak panti. Beberapa dari mereka yang memiliki kelebihan seperti menyanyi akan selalu berlomba pada ajang lokal.
Sungguh indah pemandangan Panti Asuhan Tangan Tuhan.
Coin mengikuti ke mana perawat Paula membawa mereka menuju kebun. Hari ini acara memanen strawberry dan melon.
Sejenak menelisik ke dalam kebun luas seluas satu hektare. Ada bangunan kecil yang berada di ujung hektare.
“Nona Paula, di sana ada rumah untuk apa?”
“Ah itu, tempat Tuan Idris biasa menyimpan barang-barang tidak terpakai.”
Coin mengernyit. “Siapa Tuan Idris?”
“Apakah kamu belum tahu? Dia putra Tuan Bond. Biasanya setiap pagi ke sini. Namun, akhir-akhir ini banyak pekerjaan.”
Putra Tuan Bond? Apakah dia juga tahu ayahnya melalukan pembelian manusia melalui pelelangan ilegal.
Coin melihat seorang lelaki yang menuruni kereta kudanya. Bermata cyan juga rambut senada. Bertatapan ramah juga dengan jas putihnya. Sedikit terburu memasuki panti asuhan. Cukup sebentar sampai keluar lalu menemui Paula.
Tanpa sengaja tatapan Coin beradu keadaan seorang yang kemungkinan menjadi putra Tuan Bond.
“Apakah dia anak baru?” tanya lelaki tinggi itu. Melihat dari atas sampai bawah penampilan Coin. Terpaku pada tutup mata yang dipakai lelaki itu.
“Matamu?”
“Terluka,” jawab Coin cepat.
“Namaku Idris, putra Tuan Bond.”
“Salam kenal Tuan Idris,” Coin menunduk hormat.
“Tuan Idris, ada apa gerangan Anda menemui saya?”
Idris hanya melirik perawat itu lalu melenggang pergi. Nona Paula hanya tertawa kecut.
“Ada apa dengan lelaki itu?”
Nona Paula menggeleng. “Tidak, dia hanya menanyakan kabarmu.”
“Apakah itu cara dia bersapa dengan orang?”
Nona Paula menghela nafasnya. “Dia memang sulit ditebak.”
Coin hanya mengangguk. Lalu melihat Nona Paula. “Nona Paula,” panggil Coin dengan suara rendah.
“Ya?” wanita yang sedang memotong melon itu mendongak. Meliat Coin masih menggunakan sarung tangannya.
“Apakah Ara pergi?”
Nona Paula terkejut. Sudah banyak yang menanyakan dimana teman-teman mereka, dan Coin salah satunya. “Ah itu ya. Ara sudah dipindahkan di Panti Asuhan lain karena penyakitnya.”
Coin berjongkok. Mengikuti gerakan Nona Paula. “Mengapa tiba-tiba?”
“Kondisinya semakin melemah. Hanya ini satunya jalan untuk menyelamatkannya.”
“Bukankah Tuan Idris dokter? Apakah dia tidak bisa menyelamatkannya?”
Sedikit menaikkan alis terheran. “Apakah kamu kenal dengan Tuan Idris? Bagaimana bisa kamu tahu dia bekerja sebagai dokter?”
Coin terkekeh. “Siapa yang bodoh tidak mengenali jasnya itu.”
“Dia bekerja disalah satu rumah sakit. Sebagai dokter forensik, Tuan Idris kadang membantu pengobatan umum. Kerajaan kita saja kekurangan dokter, memperkerjakan dua tanggungjawab mungkin pilihan terbaik Raja Azalea saat ini.”
Coin mengangguk mendengar penjelasan itu. Sejenak keheningan menyapa diantaranya. Terfokus pada pekerjaan masing-masing.
“Oh ya, apakah kamu bisa merawat kuda?”
Coin menggeleng. “Akh tidak pandai merawat, tetapi aku pernah diajarkan.”
“Ikut aku.”
Terletak di belakang gedung menjulang yang menjadi tempat berteduhnya kuda-kuda indah. Surai yang sedikit keperakan, coklat, hitam pekat, semua ada di sana memakan rumput kesukaan mereka. Ada setidaknya 5 kuda.
Coin mendekati satu per satu, mengelus kepala mereka halus. “Mereka sangat menurut kepada manusia,” puji Coin.
“Mereka kuda yang dibawa oleh Tuan Idris.”
“Benarkah? Apakah mereka disewakan?”
“Iya, jika ada pertandingan kuda di sekitar sini akan disewakan. Hanya satu yang tidak disewakan.” Paula berhenti pada kuda bersurai perak sepenuhnya. “Kuda ini tidak bisa berlari. Walau begitu menjadi kesayangan Tuan Idris.”
“Dia sepertinya jarang diajak jalan-jalan.”
“Begitu,” jawab Nona Paula. “Biasanya akan diajak Tuan Idris. Jika kamu mau ajak jalan-jalan saja tidak masalah. Kami juga sering melakukannya.”
“Biar aku saja,” suara berat sedikit arogan terdengar. Coin hanya melihat Tuan Idris menatap mereka dengan tatapan tidak suka. Tipikal orang yang sangat sulit memiliki teman.
Tuan Idris membuka kandang, melepaskan kuda itu lalu membawanya ke padang rumput dekat dengan perkebunan.
Coin melihat dari kejauhan. Bagaimana lelaki itu bermain dengan kuda Surai perak yang unik.
Idris sangat terganggu dengan tatapan mata sebelah yang memicing terus-menerus kepada dirinya. Segera dia memanggil lelaki bertutup mata satu itu.
“Nona Paula, sepertinya aku dipanggil oleh Tuan Idris.”
“Pergilah,” jawab Nona Paula.
Coin berlari riang. Memang sangat penasaran dengan kuda bersurai perak. Tidak ada yang memiliki kuda itu selain Tuan Idris.
“Mengapa kamu melihatnya terus-menerus?”
Tuan Idris berkata ketus. Sebagai seorang dokter lebih mengherankan jika Tuan Idris tidak bekerja diwaktu pagi.
“Aku hanya heran mengapa kuda ini sangat berbeda dengan kuda lainnya.”
“Karena dia tidak memiliki ibu.”
Coin termenung. “Kuda ini dilahirkan, jelas saja memiliki ibu.”
“Dia aku temukan terdampar di pesisir pantai. Dia tidak memilikinya.”
“Mungkin ibunya sudah meninggal. Mengapa kamu mengatakan tidak memiliki. Dia dilahirkan. Jelas memiliki. Hanya saja ibundanya tidak berada di dunia.”
Tuan Idris termenung. “Kamu ini kenapa? Mengapa sangat marah ketika aku mengatakan dia tidak memiliki ibu?”
Coin baru saja menyadari rasa emosionalnya sudah tidak pernah stabil saat itu. Detik dikala dia mendengar lelaki mengatakan tidak memiliki ibu. "Maafkan aku," pinta Coin. Sesaat harus mengontrol perasaan agar tenang. Hanya tundukan yang dia lakukan utnuk Tuan Muda Idris.
"Lupakan."
Duduk ditepian perkebunan tiada jauh mata memandang. Idris juga sangat menyukai perkebunan. Rasanya hijau matanya berasal dari sana.
"Mengapa kamu menamainya Surai?" Kuda perak memakan rumput lahap. Juga terkadang duduk karena lelahnya membawa badannya."Dengan kata yang sangat sederhana."
"Jawabanya mudah. Kuda itu hanya berputar-putar dalam kegiatan yang sama secara sederhana. Aku mengambil namanya karena semua kuda memiliki surai. Sama seperti halnya yang akan dikenal dengan banyak orang."
Coin tertawa. "Sangat rumit."
"Aku hanya merasa itu alasan yang logis."
Idris melihat bagaimana senyum itu disinari oleh mentari pagi menjelang siang. Pukul 10 pagi ketika dia akan segera bekerja untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Hanya saja ada pertanyaan yang mengganjal, bagaimana dia sangat marah mengenai ibunda.
Idris juga tidak tahu siapa yang dimaksud ibunda? Seperti apa sosoknya? Yang dia pelajari ibunda adalah mereka yang mengajari segala emosional anak. Mengelola mereka juga mengajari mereka menemukan hal baru. Tetapi, Idris merasa jika ayahnya sudah memenuhi semua itu.
"Apakah kamu juga tidak memilikinya?"
Coin menoleh. "Siapa yang kamu maksud?"
"Ibu," jawab Idris.
Coin mengalihkan pandang, masih kepada kuda bersurai perak yang berjalan mendekati keduanya Menundukkan kepalanya manja lalu berbaring dalam rumput, seakan nimbrung dalam pembicaraan.
"Aku memilikinya, tetapi dia menjualku."
Sejenisnya Idris merasa kasihan dengan lelaki itu. "Menjual? Mengapa dia melakukannya? Bagaimana dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu siapa ayahku. Yang aku miliki selama ini hanya sosok ibu yang selalu membentak akan makian."
Angin badai gemas selalu bergemuruh di dalam benak Idris. Mengapa dunia begitu tidak adil memperlakukan seseorang. Ada yang terus menindas, ada yang terus memaki, ada yang terus memaafkan. Semua itu bak roda berputar. Berjalan namun dalam lingkaran setan.
“Pada usiaku yang ke 7 tahun aku bekerja sebagai penjaja musik. Dan akhirnya aku di sini. Aku berharap akan memiliki kehidupan yang lurus tanpa badai.”
Sebuah harapan paling indah dalam pagi itu sudah Idris dengar.
“Aku pun juga tidak tahu siapa ayah dan ibuku sesungguhnya.”
“Bukankah Tuan Bond adalah ayahmu?”
“Aku hanya diasuh olehnya.”
Coin tahu ada raut wajah kecewa berat dalam sorot matanya.
“Karena aku ditemukan sejak bayi.”
“Apakah kalian tercatat dalam sipil?”
Idris mengangguk. “Iya, tentu saja. Tapi dengan nama masing-masing.”
Coin tersenyum lega. “Baguslah. Sedangkan aku pernah diangkat menjadi anak selama satu hari di kediaman Tuan Bon." Coin mendongak, melihat langit cerah. "Ini pertama kalinya aku menemukan orang yang sama sepertiku.”
“Maksudnya?”
Coin terkesiap. “Tidak. Maksudku kita sama-sama tidak memiliki sosok siapapun.”
“Hm, mungkin.”
Manik cyan nya memandang jam tangan. Menghela nafas panjang ketika melihat jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. “Aku harus bekerja. Sampai jumpa nanti, Coin.”
Lelaki itu beranjak lalu melambaikan tangan. Dibalas oleh Coin. Menuju kereta kudanya terparkir rapi di depan bangunan yang dia sebut sebagai rumah. Menikmati sepanjang perjalanan akhirnya menuju rumah sakit.
Idris bekerja sebagai dokter umum, walau begitu dipandang memiliki sertifikat forensik. Dirinya sering dilibatkan dalam sebuah kasus. Seperti halnya sekarang, dia bekerja sama dengan kepolisian perihal penanganan mutilasi belakangan ini.
Pagi ini hanya mengambil sejumlah dokumen lalu beranjak menuju kantor kepolisian.
Kasus mutilasi yang dia tangani sejak tiga hari lalu masih menuai tanda tanya. Perlahan Idris membaca dokumen terburu sembari terus berjalan menuju kereta kudanya kembali.
Melangkahkan kaki menuju rumah sakit kepolisian untuk memeriksa mayat terakhir kali tim membawanya.
“Jasad yang diketahui bernama Mavelos ditemukan didaerah perkebunan milik warga.”
“Idris,” seseorang dengan rambut hitam dengan manik senada berjalan mendekati lelaki yang bersuara pelan membaca laporannya.
“Aku baru saja membaca ulang pemeriksaan.”
“Aku ingin kamu mengulangi autopsi.” Lelaki diketahui bernama Mallory Lorenzo, salah satu anggota unit investigasi. Dia yang dipanggil ‘Tuan Keberuntungan’. Alasan sederhana disematkan kepada gelar yang menjadi kepala detektif, sejenisnya selalu berhasil menyelesaikan tugas dengan baik.
“Tuan Lorenzo berpikir demikian?”
“Aku ingin kamu memastikannya lagi.”
Menyetujui perihal demikian. Idris berjalan menuju ruang mayat. Memindahkan potongan tubuh yang akan dikebumikan segera setelah satu kali dua puluh empat jam tidak menemui keluarganya. Lama bagi mereka untuk mencari keluarga korban. Sedangkan, pelaku masih dalam pengejaran.
“Saksi yang aku wawancarai dia melihat kereta kuda berhenti di dekat lokasi kejadian. Setelahnya terdengar suara peluru. Namun, dari autopsimu tidak ada laporan tertembak.” Tuan Lorenzo menyandarkan dirinya di ambang pintu autopsi. Memakai seragam sterile untuk menemani Idris.
“Aku memang tidak menemukan bekas peluru ditubuhnya. Kita bahkan sudah memeriksanya berulang kali. Jika demikian, mungkin aku mengasumsikan jika itu bukan tembakan yang mengenai korban.”
Idris menyatukan kembali potongan tubuh Mavelos. “Bagaimana dengan lokasi kejadian?”
“Kami menemukan fakta jika Mavelos bekerja disalah satu rumah bangsawan.”
Idris mengangguk. “Siapa namanya?”
“Bon Abermia.”
Seketika tangan Idris berhenti. “Tuan Bon?”
“Apakah kamu mengenalnya?”
“Tidak, tetapi seseorang yang aku kenal mengenalnya. Mungkin aku bisa berbicara dengannya nanti.”
“Itu adalah kesempatan emas. Tuan Bon jarang muncul dilayar kaca.”
Idris mengangguk.
Sedikit ada perasaan aneh menjalar. Mungkin seperti ada keterikatan di antara lelaki berbagai kecacatan dengan sebuah penghinaan.
Hanya saja, Idris mengakui sesuatu. Segala hal yang berhubungan dengan kekerasan tidak akan membohongi mayat. Seperti apa dunia yang dialami lelaki itu sehingga berakhir dengan cara yang tragis.
Idris menatap lekat lelaki yang sudah sepenuhnya terpotong. Potongan tidak rapi, sangat berantakkan seakan dipaksa lepas. Semua itu adalah hasil kengerian seorang manusia.
...***...
Bersambung....