sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Bintang di Perusahaan Oma
Pagi itu gedung Rosmawati Group berdiri menjulang dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari. Bintang berdiri di depan pintu putar, menatap bayangannya sendiri di kaca—rapi, profesional, tapi matanya menyimpan gugup yang tak bisa disembunyikan.
Ini bukan gedung asing. Sejak kecil ia sering ikut Oma ke sini. Tapi hari ini berbeda. Hari ini, ia datang bukan sebagai cucu yang ikut makan siang, melainkan sebagai karyawan.
Sebagai orang yang akan dinilai.
Bintang menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.
Aroma kopi dan pendingin ruangan langsung menyambutnya. Karyawan lalu-lalang dengan langkah cepat, wajah serius, masing-masing membawa dunia mereka sendiri. Beberapa pasang mata sempat melirik ke arahnya—ada yang sekadar penasaran, ada pula yang terlalu sadar siapa dia sebenarnya.
Cucu Oma Rosmawati.
Label itu terasa berat di pundaknya.
Di lantai atas, ruang kerja yang disiapkan untuknya sudah rapi. Meja minimalis, komputer baru, dan papan nama kecil bertuliskan Yolanda Bintang – Business Development Trainee. Bukan jabatan istimewa, setidaknya di atas kertas.
Sekretaris Oma, Bu Ratna, tersenyum tipis. “Selamat datang, Nona Bintang. Hari ini Anda akan mengikuti beberapa rapat dan pengenalan divisi. Oma Rosmawati ingin Anda mulai dari bawah.”
Bintang mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
Ia duduk, membuka laptop, dan mencoba fokus. Tapi tekanan datang lebih cepat dari yang ia kira.
Dalam rapat pertama, seorang manajer senior memandangnya dengan senyum datar. “Ide Anda menarik, tapi apakah ini hasil analisis pribadi atau arahan keluarga?”
Kalimat itu terdengar sopan. Tapi maknanya tajam.
Bintang menegakkan punggung. “Analisis pribadi, Pak. Data dan proyeksinya saya buat sendiri.”
Ia menjelaskan dengan suara tenang, meski jantungnya berdegup kencang. Beberapa orang mengangguk. Beberapa lainnya tetap ragu. Ia tahu, kepercayaan tidak akan datang dalam sehari.
Menjelang siang, kepalanya mulai terasa berat. Rapat demi rapat, pertanyaan yang diuji, dan tatapan yang seolah menunggu ia tergelincir. Saat jeda makan siang, ia memilih duduk sendiri di pantry, hanya ditemani segelas air putih.
Ponselnya bergetar.
Bio: Gimana hari pertamamu? Jangan lupa makan.
Bintang menatap layar itu lebih lama dari seharusnya. Sudut bibirnya terangkat tipis. Di tengah tekanan yang dingin, pesan itu terasa hangat.
Ia membalas singkat. Capek, tapi aku baik-baik aja. Kamu gimana di kedai?
Beberapa detik kemudian, balasan masuk. Masih sepi. Tapi aku bikin kopi favoritmu. Nanti aku ceritain.
Bintang tersenyum kecil. Untuk sesaat, gedung tinggi ini tidak terasa terlalu menakutkan.
Sore hari, Oma memanggilnya ke ruangannya.
Ruangan itu selalu sama—luas, rapi, dan dingin. Oma Rosmawati berdiri di dekat jendela, membelakangi Bintang.
“Kamu kelihatan lelah,” kata Oma tanpa menoleh.
“Sedikit, Oma.”
“Bagus. Berarti kamu bekerja.”
Bintang terdiam, menunggu.
Oma berbalik. “Di tempat ini, kamu tidak boleh bergantung pada nama keluarga. Kesalahan kecil saja bisa jadi bahan pembicaraan. Dan satu hal lagi…” Pandangannya mengeras. “Jangan biarkan urusan pribadi mengganggu fokusmu.”
Bintang tahu maksudnya.
“Aku bisa membagi semuanya, Oma.”
“Kita lihat saja,” jawab Oma singkat.
Saat Bintang keluar dari ruangan itu, langkahnya terasa lebih berat. Ia baru sadar, bekerja di sini bukan hanya soal kemampuan—tapi juga pembuktian yang tidak pernah selesai.
Malamnya, ketika ia akhirnya duduk di mobil, ia menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Lalu ia mengambil ponsel lagi.
Bintang: Hari ini berat. Tapi aku pengin ke kedai kamu besok. Aku butuh kopi buatanmu.
Balasan Bio datang cepat. Datanglah. Aku tunggu.
Bintang tersenyum lelah.
Di antara gedung tinggi yang menuntut kesempurnaan dan kedai kecil yang menawarkan ketenangan, ia tahu—perjalanannya baru saja dimulai. Dan ia harus cukup kuat untuk berjalan di dua dunia itu sekaligus.
...****************...