Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terapi Fan servis
Setelah malam penuh kejujuran itu, Leni dan Jae duduk berdua di sofa ruang tamu, masih terasa hangat oleh sisa-sisa keterusterangan yang mereka bagi. Mereka mencoba mencari cara agar kondisi Jae tidak kembali memburuk. Energi Resonansi dalam tubuh Jae memang stabil untuk saat ini, tetapi Leni tahu itu hanya sementara.
“Kau harus punya tempat untuk membuang energi itu,” kata Leni pelan, memegang tangan Jae. “Kalau tidak, tubuhmu akan ketarik lagi.”
Jae menghela napas, menyandarkan kepala di bahu Leni, suaranya setengah bercanda, setengah menyerah. “Jadi aku harus kerja terus? Sibuk sampai lupa napas?”
“Tidak cuma kerja,” jawab Leni sambil tersenyum kecil. “Kau harus berbagi. Berinteraksi. Fan meeting besar akan membantu. Energimu akan mengalir ke banyak orang… itu bisa membuatmu stabil.”
Jae memutar bola matanya, tapi senyum tipis muncul juga. “Kau CEO paling aneh yang pernah ada.”
“Dan kau idol paling keras kepala di dunia ini,” balas Leni, mencium puncak kepalanya.
Beberapa hari berikutnya, Leni mengerahkan semua pengaruhnya di J-Cosmetic untuk mensponsori fan meeting besar Jae. Ia sibuk, lelah, tapi hatinya hangat—Jae kembali bernafas dengan baik, kembali padat, kembali nyata.
Malam sebelum acara, Jae muncul dengan ekspresi gelisah yang tak biasa. Ia duduk di sebelah Leni, membuka kotak kecil beludru hitam. Di dalamnya ada dua cincin perak sederhana.
“Ini bukan cincin mahal,” kata Jae pelan, jemarinya sedikit gemetar. “Aku beli dari uangku sendiri. Tapi… aku ingin memberi ini sebelum apapun terjadi.”
Leni menatapnya, dada terasa seperti ditarik lembut.
“Ini cincin janji,” lanjut Jae. “Kalau suatu hari kau merasa aku mulai memudar… kau punya ini untuk mengingat bahwa aku memilihmu. Bahwa aku nyata di dunia ini.”
Leni mengangkat tangannya, membiarkan Jae memasangkan cincin itu di jari manisnya. Leni kemudian melakukan hal yang sama pada Jae, menahan napas saat kulitnya menyentuh kulit Jae yang hangat.
“Aku mencintaimu,” kata Leni, suaranya hampir pecah. “Dan apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan gema ini hilang.”
Ciuman yang mereka bagi setelah itu terasa damai, bukan terburu-buru—seperti mereka sedang menetapkan fondasi baru yang lebih kokoh daripada sebelumnya.
Keesokan harinya, studio besar tempat fan meeting berlangsung penuh sesak dengan suara teriakan dan tawa penggemar. Jae terlihat segar, memancarkan energi yang membuat Leni ikut tersenyum. Setiap kali Jae tertawa atau melambaikan tangan, cincin kecil di jari manisnya berkilat, membuat Leni merasa anehnya… aman.
Acara terasa berjalan lancar sampai antrean paling akhir. Dari kejauhan, ada seorang pria muda yang tidak menonjol, nyaris membaur. Namun ada sesuatu pada sorot matanya—terlalu tenang, terlalu tajam. Leni merinding tanpa alasan yang jelas.
Saat pria itu duduk di hadapan Jae, perubahan itu terlihat jelas. Senyum ramah Jae memudar sedikit. Bahunya menegang. Dan udara di ruangan menurun beberapa derajat, seolah seseorang membuka pintu menuju musim dingin.
“Aku mengagumi pekerjaanmu, Lee Jae-Yoon-ssi,” ujar pria itu dengan nada datar yang terlalu rapi. “Aku harap energimu stabil.”
Jae hanya mengangguk, gerakannya cepat, seperti ingin menyelesaikan interaksi itu secepat mungkin. Ketika pria itu berdiri untuk pergi, tangannya menyentuh bahu Jae sekilas.
Jae tersentak kecil. Leni langsung berdiri dari kursinya di area VIP.
Pria itu tidak menoleh ke Jae, melainkan ke arah Leni. Senyum yang ia berikan… terlalu mengetahui. Terlalu sadar. Seolah ia bisa melihat lebih dalam daripada manusia seharusnya.
Seketika itu juga, cincin di jari Leni berdenyut halus—bukan sakit, tapi seperti getaran peringatan.
Pria tersebut keluar dari studio dengan santai, dan udara kembali normal. Namun Jae tiba-tiba melepas pena, tangannya gemetar halus. Ia berdiri, meminta break darurat, dan pergi ke belakang panggung tanpa menunggu siapapun.
Leni langsung menyusul. Ia menemukannya bersandar pada dinding, wajah pucat, napas berat, tapi tubuhnya tidak transparan.
“Jae, kenapa? Kau sakit lagi?” Leni panik memegang kedua pipinya.
“Aku… cuma lelah,” bohong Jae, menarik napas panjang seolah ingin menelan rasa sakitnya.
Tapi Leni bisa melihat kemarin malam dalam tatapan Jae—ketakutan yang ia sembunyikan.
Jae memeluk Leni tiba-tiba. Erat. Terlalu erat. Seolah ia takut sesuatu akan direbut paksa darinya.
Leni balas memeluk, mengusap punggungnya. “Kita pulang sekarang. Kau harus istirahat.”
Jae mengangguk, tapi pikirannya bukan tentang istirahat. Interaksi singkat tadi meninggalkan informasi aneh di kepalanya—sebuah kesadaran yang tidak mungkin ia miliki tanpa sentuhan entitas lain. Pria itu bukan manusia biasa. Bukan penggemar. Dia seseorang… atau sesuatu… yang bisa membuka jalan ke dunia tempat Leni berasal.
Seseorang yang bisa mengambil Leni kapan pun ia mau.
Dan Jae memutuskan di detik itu juga.
Ia tidak akan memberitahu Leni.
Tidak soal pria itu. Tidak soal Gerbang Realitas. Tidak soal ancaman itu.
Karena jika Leni tahu… mungkin ia akan memilih pulang.
Dan Jae—yang baru saja mendapatkannya—tidak sanggup membayangkan itu.
...****************...