NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lingkaran Hitam

Di bawah lampu penerang jalan, segerombolan laron terpesona oleh cahaya. Mengitari lampu dengan semangat yang menggebu, menjelma sebagai penari yang anggun, terpikat oleh kilauan cahaya. Namun, di bawah sadarnya nasib bercerita tentang harapannya yang terancam.

"Sudah setengah tahun lebih, kita selalu bersama. Tapi, kamu hanya bisa mengatakan, jangan khawatir - tenang - sabar." Nadanya mengejek. "Realistis dong ... . Kita sudah bukan anak kecil lagi, Raka. Semuanya butuh ongkos." Riana memantapkan ucapannya.

"Jadi, mau kamu, aku harus bagaimana?" tanyaku.

"Coba kamu perhatikan orang-orang di sekitar kamu, atau teman-teman kamu. Mereka semua sudah mandiri, banyak dari mereka yang sudah sukses. Punya rumah sendiri, punya kendaraan sendiri, lihat diri kamu sekarang!" seru Riana menggurui. "Bisa apa dengan keadaan kamu yang seperti ini. Maaf, terpaksa aku harus mengatakan ini," ungkapnya Riana.

"Apa karena itu, kamu berubah keyakinan?" tanyaku setengah kecewa. 

"Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, lebih baik, kita lupakan semua janji-janji kita." Riana mengeluarkan isi tasnya, surat yang pernah aku berikan dari waktu ke waktu, dia kembalikan padaku. Iya, itu artinya, dia sudah mempersiapkannya, jauh hari.

Riana kembali berkata. "Maaf, aku sudah nggak membutuhkan ini." Dengan tenang, dia berlalu pergi tanpa merasa iba sedikitpun.

Aku terdiam tak percaya. Jatuh berserakan lembaran surat yang telah usang, menyibak tabir cerita lama. Mungkinkah, ini sudah berlalu bersama redupnya senja. Aku bukan lagi yang dia puja. Tanpa angka, aku tak berguna.

Di bawah kolong langit, doa-doa satu per satu, aku punguti kembali. Mengelus hati yang kian mengganggu nurani. Hitamnya malam pasrah aku jilati.

Pagi kembali bersama amarah di hati. Aku bertandang ke rumahnya Tegar, dan bercerita tentang lingkaran hitam di kota kita. Aku langsung berterus terang padanya tentang bakatku.

"Benar, kamu bisa mencetak uang palsu dan surat tanda nomor kendaraan," tanyanya Tegar memastikan.

"Iya."  Aku mengangguk percaya diri.

"Kalau ini bisa kita realisasikan, kita bisa kaya mendadak, Raka," ujarnya.

"Tujuanku ke sini, memang seperti itu. Ingin merealisasikannya."

"Oke ... kita memulainya dari mana dulu nih," ucapnya.

"Sediakan aku, komputer dan mesin cetak injek. Detailnya nanti aku catat semua peralatan dan bahan yang aku butuhkan," ungkapku. 

"Bisa diatur Bos ... kalau urusan seperti ini, aku punya pemodal yang siap untuk mendanai," sahutnya.

"Jadi, kapan aku bisa memulainya?" Aku menatap dan mendesak Tegar.

"Secepatnya, Raka," responnya . "Tunggu sebentar, aku telepon orangnya dulu." Tegar mengeluarkan telepon genggamnya dan segera menelpon seseorang.

'Halo, Bos ... .' sapa Tegar dan berbicara tentang rencana, dan tujuan kami dengan pemodal via telepon, lama.

"Raka, ia minta pembagiannya, enam puluh - empat puluh, kita hanya dapat jatah empat puluh persen, bagaimana?" tanya Tegar padaku.

"Oke, deal," jawabku cepat.

Tegar kembali menelponnya. Kali ini, ia menelpon lebih lama.

"Raka, ini, si bos, mau bicara langsung dengan kamu." Memberikan telepon genggamnya padaku.

'Halo!' seruku.

'Raka ... ?' Suaranya dari balik telepon bertanya.

'Iya, saya sendiri. Kalau boleh tahu ini dengan siapa yah?' Aku balik bertanya.

'Indra Kuncoro,' sahutnya.

'Bagaimana, Pak Indra, dengan rencana dan tujuan kami, seperti tadi yang sudah di sampaikan oleh Tegar, apakah Pak Indra mau untuk membiayai oprasional kami?' tanyaku tidak sabar.

'Hahaha ... ." Tertawa dari balik telepon. 'Sabar dulu anak muda, kita masih punya banyak waktu. Bagaimana kalau uji cobanya gagal. Siapa yang mau menanggung kerugiannya?' tanyanya Pak Indra dengan nada ragu padaku.

'Saya yang jamin, Pak. Hasil produksi cetakan saya pasti tingkat kemiripannya sembilan puluh sembilan persen mendekati aslinya. Kalau misalkan saya gagal, kasih saya waktu untuk mengembalikan modalnya Pak Indra,' tegasku meyakinkan.

'Hahaha ... ' Kembali tertawa dari balik telepon. 'Oke-oke ... nanti malam kita ketemuan saja dulu. Tegar tahu di mana tempat favorit saya.' Pak Indra mematikan teleponnya.

Aku mengembalikan telepon genggam pada Tegar seiring dengan menghembuskan nafas panjang.

"Bagaimana?" Tegar bertanya penasaran.

Aku menyeringai, mengiyakan. "Pak Indra mau ketemu dengan kita, malam ini, di tempat favoritnya."

"Hahaha... ." Tegar tertawa. "Yes ... !" Merasa senang. 

Malam harinya kita bertemu di tempat yang sudah ditentukan. Kami masuk ke dalam ruangan yang serba hitam, dinding, sofa dan beberapa aksesoris lainnya berwarna gelap. Begitu semua lampu dinding dan lampu lantai dinyalakan, cahaya langsung membanjiri ruangan. Seketika suasana menjadi meng-highlight, menimbulkan bayangan di sekitar.

Asap putih menggulung naik.

"Silakan duduk," suruhnya Pak Indra yang sedari tadi ternyata sudah duduk di atas kursi sofa.

Aku dan Tegar menghampiri, duduk di kursi yang saling berhadapan hanya bersekat meja. 

"Ambilkan minuman." Tepuk Pak Indra pada seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya.

"Jadi, bagaimana? Apa kalian sudah memikirkannya dengan serius sebelum datang ke sini," lanjut Pak Indra bertanya pada kami.

"Seribu persen, kita serius," jawabku

Disusul suaranya Tegar memantapkan. "Mana pernah saya main-main sama Pak Indra."

"Hahaha ... , baik, baik, saya percaya pada kalian. Saya senang ada anak muda yang pemberani seperti kalian. Hahaha ... ." Tawa liarnya membumbung di langit-langit atap.

Aku meletakkan selembar kertas yang berisi catatan peralatan dan bahan-bahan yang aku butuhkan. "Kapan saya bisa memulainya." Mendesak.

"Hahaha ... ." Pak Indra kembali tertawa.

Aku merasa diremehkan, dengan keadaanku yang sudah nekat, kalau saja aku tidak punya kepentingan di sini, mungkin sudah aku terjang.

"Bantu kami lah, Bos ... ," ucapnya Tegar memohon. 

"Oke, secepatnya akan saya kondisikan semuanya. Tapi, ingat! Kalau ada apa-apa jangan bawa-bawa nama saya. Bagaimana?" Mengumpulkan asap rokok di mulutnya seiring dibiarkan keluar begitu saja dari hidungnya yang besar.

"Setuju." Tegar menyambar.

Aku mengangguk sembari menjemput segelas air di atas meja dan mengantarkannya ke tepi bibirku. Pak Indra bercerita history kelompoknya. Sejenak berbasa-basi.

Kami dibawa ke tempat lain. Malam ini juga kami memulainya, ternyata Pak Indra sudah mempunyai peralatan komplit beserta bahan-bahan yang aku butuhkan. Aku memantapkan diri, memproses dan mencetak.

Sebelum sang fajar tiba. Semua lembaran uang pecahan, dua puluh ribu, lima puluh ribu dan seratus ribu tergeletak bertumpuk-tumpuk. Menunggu untuk di potong rapi-rapi.

Paginya Pak Indra datang menengok kami. "Haha ... haha ... haha ... ." Tertawa jahat seiring memperhatikan dengan teliti di setiap sisi lembaran uang. "Nggak sia-sia saya bertemu dengan kalian." Menepuk pundak kami. "Tempat ini jadi berfungsi, dan kalian bisa menjadi sukses tanpa harus bersusah payah."

Kami menyeringai.

"Ganti pakaian kalian, habiskan ini semua untuk membeli keperluan pribadi kalian. Dan kembali lagi ke sini, dengan wajah baru." Pak Indra menyodorkan segepok uang asli. "Saya nggak suka dengan penampilan kumuh dan bau badan kalian," pungkasnya sembari mendorong kami, mengusir keluar.

1
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!