Akibat mengintai sang ayah yang dicurigai selingkuh, Freya justru berakhir di kamar hotel bersama seorang Pria. Namun, siapa sangka jika semua ini hanya jebakan agar Freya menerima perjodohan bisnis dari keluarganya. Lantas, bagaimanakah Freya menjalani pernikahannya, sedangkan Freya sedang memperjuangkan teman satu kampusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bolos Yuk!
Rangkaian kata yang diucapkan oleh Rama terus terngiang di telinga Freya. Berkeliaran dalam pikiran yang tak menentu kemana arahnya. Freya menatap lekat wajah manis pria yang ada di hadapannya itu. Dia mulai resah karena Rama tak kunjung menjelaskan ucapannya.
"Maksudnya bagaimana, Ram?" tanya Freya setelah cukup lama menunggu penjelasan Rama.
"Sebenarnya sudah lama aku menyukaimu, Fee."
Freya terkesiap mendengar rangkaian kalimat yang sudah lama dinanti. Pernyataan cinta dari pemuda asal Surabaya itu nyatanya mampu menyihir Freya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana, mengingat pernikahannya sudah ditentukan oleh keluarga.
"Kenapa kamu tidak berterus terang sejak awal?" tanya Freya setelah menetralkan degup jantungnya.
"Aku terlalu takut karena aku hanya pria biasa. Bukan anak konglomerat ataupun pejabat. Aku sengaja menyimpan perasaan ini sampai tiba saatnya aku pantas menjadi kekasihmu. Akan tetapi, sekarang keadaannya berbeda. Jadi, aku ingin mengungkapkan isi hatiku sebelum kamu menjadi istri orang."
Rasanya Freya ingin pingsan mendengar pengakuan Rama. Debaran hati semakin tak menentu. Segala rasa berkecamuk di dalam dada. Ada rasa bahagia sekaligus sedih yang membaur di dalam hati. "Aku bisa membatalkan pernikahan ini, Ram, jika memang kamu mau. Ayo kita kabur," ucap Freya tanpa berpikir panjang.
Sementara Rama hanya mengembangkan senyum tipis setelah mendengar ucapan Freya. Dia maju satu langkah mengikis jarak dengan Freya. Lantas, dia menepuk bahu Freya dengan lembut.
"Tidak bisa, Fee. Hidup ini tidak sesimpel apa yang kamu pikirkan. Jangan melakukan tindakan bodoh yang bisa mendatangkan bahaya," jawab Rama kalem.
"Masalahnya aku juga suka sama kamu, Ram." Akhirnya Freya mengutarakan perasaan yang sudah lama dipendam.
"Ya, aku tahu itu," balas Rama dengan diiringi senyum tipis, "banyak perbedaan di antara kita, Fee. Selain status ekonomi, keyakinan kita pun berbeda. Tembok kita terlalu tinggi, Fee," jelas Rama dengan tatapan lekat.
"Lalu kita harus bagaimana? Bukankah dengan mengetahui perasaan satu sama lain semakin membuat kita terluka, Ram? Untuk apa kamu mengungkapkan, jika kita tidak bisa bersatu?" cecar Freya.
"Cinta tidak harus saling memiliki. Aku hanya tidak mau menyesal dengan memendam perasaan ini selamanya. Kita bisa menjadi teman seperti biasanya, Fee. Aku akan hadir di pernikahanmu nanti,"' ujar Rama.
"Hah? Hubungan macam apa ini? Kamu ingin kita jadi TTM? HTS? Atau bagaimana sih, Ram?" Freya sangat bingung dengan keadaan ini.
"Kita tetap akan menjadi teman seperti biasanya, Fee. Bukan TTM ataupun HTS. Intinya pagi ini aku berdiri di hadapanmu hanya untuk mengungkapkan perasaanku sebelum kamu menikah. Aku ingin kamu hidup bahagia dengan suamimu nanti. Perasaan ini jangan sampai mempengaruhi pernikahanmu."
Freya menghela napas setelah mendengar penjelasan Rama. Dia semakin bingung menyimpulkan bagaimana hubungan yang diminta oleh Rama. Freya kembali bersandar di dinding sambil memikirkan langkah yang akan diambil setelah ini.
"Baiklah. Aku menerimanya. Akan tetapi aku ada satu permintaan yang harus kamu lakukan," ujar Freya.
"Katakan saja. Jika aku mampu pasti aku akan melakukannya," jawab Rama tanpa ragu.
"Mari kita bolos kuliah hari ini. Aku ingin bersenang-senang denganmu. Kita tidak harus berdua saja kok. Kita bisa mengajak Sherly dan yang lain agar tidak ketahuan keluargaku," pinta Freya dengan tatapan penuh harap.
"Memangnya mau kemana?" tanya Rama lagi.
"Aku ingin kita bolos ke Bangkok. Kita bisa pulang sore atau malam. Please," ucap Freya dengan manja. "Aku yang akan menanggung seluruh biayanya. Jangan khawatir dengan paspormu. Aku yang akan menyelesaikannya sebelum kita berangkat," lanjut Freya setelah melihat ekspresi wajah Rama.
Tanpa menunggu jawaban Rama, Freya segera menghubungi Sherly dan beberapa teman sekelasnya. Tak lupa dia memesan tiket penerbangan ke Bangkok. Entah apa yang akan dilakukan di sana. Satu hal yang pasti, mereka tidak membutuhkan visa untuk berlibur di sana. Seringkali Freya dan beberapa temannya bolos kuliah ke luar negeri.
******
Bangkok, Thailand.
Siluet jingga mulai hadir di cakrawala. Keindahan senja menambah syahdunya suasana di tempat wisata yang ada di pinggiran sungai Chav Picchraya, Bangkok. Banyak turis yang menghabiskan waktu sore di tempat ini. Begitupun dengan Freya dan beberapa teman kuliahnya. Mereka duduk santai di sana menikmati waktu bersama. Senyum manis tak henti mengembangkan dari kedua sudut bibir Freya saat memandang Rama dari baik kacamata hitamnya.
"Dari tadi senyum mulu. Gak capek, Fee?" bisik Sherly setelah mengamati Freya.
"Aku sedang bahagia. Jangan merusak suasana hatiku, Se," jawab Freya tanpa mengalihkan pandangan dari Rama yang sedang sibuk dengan laptopnya. "Lihatlah. Dia tetap sibuk belajar meski sekarang kita sedang bersenang-senang di sini," gumam Freya.
"Dia itu mahasiswa unggulan. Bukan seperti kita, Fee. Biarkan saja dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Kita cukup menjadi pengamatnya saja," ujar Sherly.
Tempat ini menjadi tujuan pertama Freya dan teman-temannya setelah sampai di Bangkok. Entah, kemana lagi mereka akan pergi setelah ini. Satu hal yang pasti mereka akan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di kota ini.
"Fee, ada telfon tuh!" ujar Sherly seraya menepuk lengan Freya.
Freya mengalihkan pandangannya dari objek indah yang tak jauh darinya. Dia segera menggeser icon hijau di layar ponsel setelah tahu jika Yamato yang menghubungi. Freya mengatur napas sebelum berbicara dengan ayahnya.
"Berani sekali kamu ke Thailand dengan Rama tanpa izin dari Papa. Pulang sekarang!"
Freya menjauhkan ponselnya sesaat, setelah mendengar suara keras Yamato. Lantas, dia mendengarkan kembali rangkaian kalimat panjang yang diucapkan oleh orangtuanya itu. "Aku pasti pulang, Pa. Nanti malam aku udah sampai Jakarta kok," jawab Freya santai.
"Dasar anak nakal! Pulang sekarang juga, Freya Deandra!"
"Pa, please. Kali ini biarkan aku bersenang-senang. Toh, setelah ini aku akan menikah dengan si Alex. Anggap saja ini sebagai imbalan atas pernikahan yang papa inginkan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama di sini. Bukan kabur ataupun yang lain, Pa."
Setelah memberikan penjelasan panjang kepada ayahnya, Freya memutuskan panggilan begitu saja. Dia menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang mengganggu momen emas ini. Dia menyimpan ponsel ke dalam tas tatkala Rama kembali ke tempat asal.
"Sudah selesai tugasnya?" tanya Freya seraya mengembangkan senyum tipis.
"Sudah. Oh ya, Fee. Aku tidak bisa menginap. So, nanti malam kita harus kembali ke Jakarta. Besok pagi aku harus bertemu Prof. Mahfud," jelas Rama.
"Semua bisa diatur. Kita bisa pulang dengan penerbangan terakhir. Lebih baik sekarang kita menikmati waktu yang ada, Ram." Freya melepas kacamata hitamnya.
Pada akhirnya mereka bercengkrama hingga rona jingga hilang ditelan gelapnya malam. Mereka berenam segera pergi dari sana dan mencari restoran untuk makan malam. Freya dan Rama bergandeng tangan di sepanjang jalan menuju restoran. Mereka benar-benar menikmati setiap detik yang mereka lewati.
"Eh, ada makanan halal 'kan di sini?" celetuk Rama setelah berada di dalam restoran. Pasalnya hanya dia yang muslim di antara kelima temannya.
*****
Nih Freya pas lagi memandang Rama😃
Takut Freya terus barengan sama Rama dan g bisa mengawasi jarak dekat
Pasti berkesan dan g bisa di lupakan
Freya tetap jaga hati ya,,si Alex masih punya kekasih lain
tumben