Izinkan Aku Menjadi Orang Ketiga

Ckittt..

"Nah, kita sudah sampai." Ucap seseorang memberhentikan mobilnya yang tak lain adalah Dimas.

"Ayah, apa ibu akan memarahiku?" Tanya Amelia dengan kepala menunduk.

Dimas pun langsung mengusap surai Amelia untuk menenangkan hatinya. "Gak, ibu gak bakal marah lagi sama kamu, percayalah pada ayah."

Gadis kecil tersebut langsung mengangguk cepat dan tersenyum dengan senang. "Ayo kita keluar, ayah."

"Siap tuan putriku." Pekiknya sambil memberi hormat pada Amelia.

Ceklek.

Mereka berdua pun langsung turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah. "Eh, tumben pintunya terbuka?" Gumam Dimas.

"Ada apa, ayah?" Tanyanya sambil menggenggam tangan Dimas dengan erat.

"Tidak, ayo kita masuk!"

Amelia pun mengangguk dan Dimas dengan pelan berjalan masuk ke dalam rumah yang pintunya sudah terbuka sejak tadi.

"Kami pulang--"

Ucapan Dimas terhenti saat melihat Vina dan mertuanya sedang berbincang di ruang tamu. "Ah, rupanya ada mamah." Gumam Dimas

Dimas merogoh ponselnya berniat untuk mengirim pesan pada Vina untuk jangan mengatakan tentang kemarin. "Sial, bagaimana jika mamah bertanya aku ini habis darimana, gak mungkin kan aku menjawab habis berselingkuh." Gumamnya hatinya yang panik seketika.

"Eh, ayah. Itu nenek kan?" Pekiknya senang.

Saat Amelia dan Dimas melangkahkan kakinya kembali, tiba-tiba dia mendengar sesuatu yang tak terduga.

"S-sebentar, apa maksudmu nak? Mamah dulu hanya menyuruh dia untuk tak lagi dekat denganmu, kau tau kan? Kalau kamu dan si Revan itu beda kasta, mamah gak mau punya menantu miskin!"

Langkah Dimas pun terhenti saat mendengar ucapan mertuanya yang cukup lantang. "Revan? Apa maksudnya?" Gumam bingung.

"Ayah, ay--"

"Apa mamah tahu, kalau Amelia itu bukan anak kandung Dimas, dia putriku dan Revan!" Teriak Vina yang membuat Dimas seketika mematung.

Degh.

Tuk!

Vina dan sang mertua pun menoleh bersama ke arah Dimas. Mereka terkejut dengan kedatangan Dimas dan Amelia.

Dimas menjatuhkan ponselnya saat itu juga, tangannya mengepal, bahkan rahangnya pun mengeras menahan amarah.

"Apa kau bilang?!" Teriak Dimas.

"D-dimas..." Gumamnya terkejut. "S-sejak kapan kalian pulang?" Seketika langsung berdiri dari duduknya.

Sorot mata tajam Dimas fokus pada Vina, saat ini dia benar-benar marah, bahkan genggaman Amelia pun dia lepaskan dan berjalan mendekati Vina. "Apa maksudnya ini, Hah?!"

"D-dimas, kau pasti salah dengar, nak. Vina barusan salah berbicara, jangan dengarkan ucapannya." Ucap Fani sang mertua yang mencoba untuk menenangkan menantunya.

Dimas tak menggubris ucapan mertuanya tersebut, dia terus berjalan mendekat ke arah Vina dengan perasaan penuh amarah.

"Jawab dengan benar, apa Amelia benar-benar bukan putri kandungku, hah?!" Teriaknya sambil meremat tangan Vina.

"Hiks. Ayah.." Amelia menangis ketakutan ketika melihat ayahnya marah.

Dengan sigap Fani pun berlari ke arah Amelia, dia mencoba untuk menenangkan cucunya dengan membawanya ke lantai dua.

"Sayang, jangan nangis. Ayo sama nenek dulu." Menggendong Amelia yang sedang menangis.

"Hu.. Hu.. Hu... Ayah! Aku tidak mau dengan nenek, aku mau sama ayah." Memberontak.

Setelah Fani membawa Amelia ke kamarnya, perdebatan Dimas dan Vina pun masih berlangsung. "Kau membuat putri kita menangis, Dimas!" Pekik Vina dengan kesal.

"Hahaha.. Putri kita? Bukannya beberapa menit yang lalu kau mengatakan kalau dia bukan putri kandungku?" Terkekeh mendengar ucapan Vina.

Vina pun terdiam sesaat, dia memang sudah melakukan kesalahan. Yang pertama, dia tidak jujur bahwa dia sudah hamil oleh pria lain. Dan yang kedua, membuat Dimas harus bertanggung jawab dan menjadi ayah untuk anak orang lain.

"Jawab aku, sialan. Apa benar Amelia bukan anak kandungku?!" Meremat semakin kuat.

"Shht..." Vina meringis kesakitan saat Dimas meremat tangannya dengan kuat. "L-lepaskan tanganku. Sakit, Dimas!!" Pekiknya dan mencoba menarik tangannya kembali.

Srettt..

Tangan Dimas beralih ke wajah Vina, dia bahkan meremat wajahnya dengan sorot mata tajam. "Berani-beraninya kau berbohong selama enam tahun ini. Kau pikir enam tahun adalah waktu sedikit? Selama itu aku berperan menjadi ayah bagi anak orang lain!" Mendorong Vina ke sofa.

"Akh.." Terjatuh ke sofa. "Memang apa bedanya denganmu, hah? Kau bahkan berselingkuh dengan wanita jalangg itu saat statusmu masih menjadi suamiku. Kau juga salah, Dimas." Teriaknya.

"Ah, sepertinya benar. Ini adalah karma, bukankah aku berselingkuh karena kau yang berbohong padaku, menjebakku dan berpura-pura hamil anakku. Hahaha.. Ini benar-benar membuatku gila." Memijit pelipisnya.

Degh.

"J-jadi benar, kau berselingkuh dengan wanita itu? Kau mendatangkan orang ketiga dalam rumah tangga kita, mas?" Ucapnya pelan dengan tatapan sayu.

Dimas pun menyugarkan rambutnya ke belakang. "Berhenti merasa paling sedih dan paling terluka. Saat ini kau mendapatkan balasan dari ulahmu sendiri, Vina!"

Saat itu juga Vina meremat ujung bajunya, meski ucapan Dimas semuanya benar, tapi tetap saja Vina enggan mengalah. "Mas, sudahi saja pertengkaran ini, kita bisa bicarakan lagi nan--"

"Aku akan menceraikanmu, Vina."

Bersambung.