"Kak Akesh, bisa nggak pura-pura aja nggak tahu? Biar kita bisa bersikap kaya biasanya."
"Nggak bisa. Gua jijik sama lo. Ngejauh lo, dasar kelainan!" Aku didorong hingga tersungkur ke tanah.
Duniaku, Nalaya seakan runtuh. Orang yang begitu aku cintai, yang selama ini menjadi tempat ‘terangku’ dari gelapnya dunia, kini menjauh. Mungkin menghilang.
Akesh Pranadipa, kenapa mencintaimu begitu sakit? Apakah karena kita kakak adik meski tak ada ikatan darah? Aku tak bisa menjauh.
Bagaimana bisa ada luka yang semakin membuatmu sakit malah membuatmu mabuk? Kak Akesh, mulai sekarang aku akan menimpa luka dengan luka lainnya. Aku pun ingin tahu sampai mana batasku. Siapa tahu dalam proses perjalanan ini, hatimu goyah. Ya, siapa tahu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mooty moo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Kesempatan Khusus
Pagi hari terasa lebih istimewa jika orang yang disayang berada di samping kita. Nalaya menatap wajah Akesh di pagi hari yang seperti malaikat. Bak bayi yang lembut. Ia merapikan surai rambutnya yang menutupi mata orang yang lebih tua.
Ia tengok jam beker yang menunjukkan pukul delapan. Oh ini hari libur, bukan ide buruk jika digunakan untuk bersantai di kamar. Perlahan ia turun dari ranjang, meminimalkan gerakannya. Ia sengaja tidak membuka tirai jendela agar tidak mengganggu tidur Akesh.
Wanita itu mengecek kulkas mininya yang ternyata hanya ada susu cair, nugget, dan beberapa sayuran. Akhirnya ia hanya merebus pokcoy yang kemudian disiram dengan saus dan bawang putih goreng beserta minyaknya. Setelah itu ia menggoreng nugget. Setelah selesai, tinggal menuangkan susu ke dalam gelas.
Nalaya pun menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, meregangkan otot lehernya yang tegang. Ia berencana mandi, namun saat balik badan ternyata Akesh sudah bangun. Ia duduk sambil mengecek ponselnya.
“Kak sarapan dulu, aku udah masak. Aku mau mandi dulu.”
“Nggak usah, gue udah ada janji sarapan sama Rachel.”
Ia berkata demikian tanpa menoleh, masih fokus mengirim pesan kepada pacarnya itu. Sementara Nala menunduk. Ia memaksakan senyum sebelum akhirnya mengangkat kepalanya kembali.
“Ya udah kalau gitu, minimal minum susunya ya?”
Akhirnya Akesh menoleh. Namun Nala bergegas ke kamar mandi usai menyambar handuk. Rupanya ia takut mendengar kalimat balasan selanjutnya. Ia takut ditolak. Hatinya tidak kuat menanggung beban lagi. Rasanya teramat berat.
Usai membuka pintu, ia tidak langsung mandi. Diam sejenak dan mengatur pernapasannya. Bersiap menghadapi apa yang akan terjadi nanti.
Namun berbeda dengan dugaannya, Akesh ternyata masih mendengarkan hati nuraninya. Buktinya saat ini ia sudah duduk di meja kecil berisi sarapan itu. Ia duduk lesehan.
“Hmm ini enak,” ucapnya saat menyuapkan pokcoy ke mulutnya dengan sumpit.
Tak terasa, ia bahkan hanya menyisakan sayur itu kurang dari setengah piring. Ia juga sudah mengunyah empat biji nugget. Merasa kenyang, ia meneguk susu sampai habis segelas. Ah, mungkin ia tidak bisa makan banyak lagi saat sarapan bersama Rachel nanti.
Akesh menatap ke arah kamar mandi. Ia mendengar suara gemericik air. Sebelum berada di suasana yang tidak mengenakkan keduanya, ia memilih untuk segera keluar dari kamar itu.
Sementara itu, Nala akhirnya sudah selesai mandi. Ia juga telah mengenakan pakaian bersih, sebelumnya ia ganti di kamar mandi. Namun saat keluar, kamarnya sudah kosong. Ia pun berjalan perlahan sambil menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil. Bulir-bulir air menetes melalui ujung rambutnya, membasahi pundaknya.
Saat ia melihat meja kecil, ia tersenyum. Hatinya yang panas seolah disiram sehari semalam. Hanya tersisa kesejukan. Bibirnya melengkung. Ia senang Akesh memakan masakannya. Ia begitu bahagia bisa memasak sarapan untuk pujaan hatinya meski makanan sederhana.
***
Keesokan harinya.
Masih pukul enam pagi, Agas sudah menggedor-gedor pintu Nalaya. Orang yang tinggal di sebelah gedung Nalaya ini memang sering bikin heboh sampai kadang membuat kepala Nalaya pening.
Setelah dibukakan pintu, ia nyelonong masuk dan duduk di samping ranjang. “Udah mandi kan? Cepetan siap-siap.”
Agas menatap sahabatnya itu yang nampak sudah berganti baju rapi. Hanya saja rambutnya belum ditata rapi. Wajahnya juga masih polos belum tersentuh skin care dan lip tint.
Meski dengan muka cemberut, toh nyatanya Nalaya menurut. Ia segera duduk di depan rias, mengambil kotak ‘tempurnya’. Bagian inilah yang memakan waktu lama. Apalagi ia harus mencepol rambutnya dulu baru pede pergi kuliah. Mereka harus bersiap untuk kelas jam setengah delapan. Setelah siap semuanya mereka berangkat menuju kampus.
Ketika sampai di kelas, Akesh menatap keduanya dengan tatapan sedikit kaget, tapi tak berkomentar apa pun.
“Lah, ngapain si dermawan di sini? Mau ngintilin Akesh juga?” Ical memanggil Agas dermawan karena kemarin malam ia ikut patungan nraktir di club.
“Mau ikut main aja sama kalian. Lagian sepi juga kalo nggak ada Nalaya. Nalaya lebih sering ke kelas Sasing (Sastra Inggris) sih. Gue jadi kesepian.”
Nalaya diam saja dijadikan tameng. Toh kalau ada Agas, ia jadi tak begitu canggung di tongkrongan.
Akhirnya kelas pun dimulai. Mereka duduk di satu baris deret ketiga dari depan. Dari ujung kanan adalah Bina, Agas, Ical, Nalaya, dan Akesh. Tiga orang menyimak penjelasan dosen, Agas membaca novel Olenka yang dipinjam dari Sekre BEM, sementara Nalaya mengambar.
Kali ini bukan sketsa muka seseorang, ia menggambar padang ilalang. Akesh yang sempat melirik gambar itu pun heran. Pasalnya tak biasanya Nalaya melukis ilalang.
Nalaya tak begitu sadar kenapa ia melukis ilalang. Barangkali karena terpesona dengan lukisan-lukisan di Sekre BEM? Meskipun benci Marvin, ia mengakui jika lukisan kating itu memang menakjubkan. Dan rasanya sedikit memikat mata siapapun yang memandangnya.
“Kak Akesh, gimana gambarku kali ini?”
Akesh hanya mengacungkan jempol. Kelas belum selesai, Nalaya bisa mengerti jika orang di sampingnya ini tak ingin menarik perhatian.
Seperti biasa, selesai menggambar, ia memfotonya dan mengunggah ke Instagram. Ia hanya memiliki satu akun dan itu khusus untuk mengabadikan karyanya. Pengikutnya sudah cukup banyak, sekitar sepuluh ribuan.
Jika di dunia nyata Nalaya introvert, di dunia maya ia cukup aktif. Ia selalu membalas komentar-komentar warganet baik berupa pujian atau kritikan pedas.
Ia sangat terbuka menerima semua pendapat. Bukan demi kemajuan kemampuannya. Hal ini lebih kepada kritikan bahkan terkadang hinaan itu tak membebaninya sama sekali. Ia akan mengikuti jika hal itu memungkinkan, tapi apabila di luar kemampuannya, ia biarkan saja.
Ya karena ia hanya menganggap menggambar hanya hobi, sesuatu untuk menghilangkan stres. Kalau bikin stres, bukan hobil lagi dong namanya?
Tumben gambar pemandangan, NAS? Lo pernah nyoba ngelukis di kanvas pake cat nggak sih?
Itu salah satu komentar warganet setelah lima menit Nalaya mengunggah gambarnya di akun nas.painting. Itulah mengapa teman dunia mayanya memanggilnya NAS, seperti yang tertera di bionya. Ia ingin membalas komentar itu, tapi tak jadi setelah melihat user name-nya.
Orang yang berkomentar adalah pemilik akun masutha. Saat Nalaya klik akun profilnya, terpampang banyak foto Marvin Agra Sutha. Nalaya pun segera mematikan layar ponselnya.
Di sisi lain, Agas berhenti membaca dan mengeluarkan binder dan bolpoin. Ia menulis siapa yang menginspirasi lo nulis, Kak Bina? Setelah itu ia taruh buku dan bolpoin itu ke Bina. Si Monster Es melirik sejenak. Tapi Agas memang pantang menyerah. Ia terus menatap Bina dengan mata memohon seperti anak anjing.
Nggak ada. Balas Bina singkat. Sepertinya perjalanan Agas untuk dekat dengan Bina masih jauh.
Tak lama kemudian, kelas berakhir. Mereka memutuskan pergi ke kantin. Di tengah perjalanan, hape Akesh berbunyi, ada pesan masuk. Ia mengerutkan kening saat membaca pesan itu.
“Papa sama adek gue balik ke rumah. Gue disuruh balik. Cal, gue nitip tanda tangan buat dua hari ya.”
“Aku ikut ya Kak?”
“Oke.”
Momen saat papa dan adik Akesh pulang bukanlah hal yang menyenangkan. Untuk itu ia ingin berada di sampingnya. Sekaligus berbaikan dengannya. Kesempatan ini seperti diciptakan khusus untuknya karena Rachel tak akan bisa menembus keluarga Akesh. Mungkin belum?